Meneguhkan
Solidaritas Kebangsaan
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogya
|
KORAN
JAKARTA, 01 Agustus 2014
Setiap usai Lebaran, tradisi halalbihalal mengakar kuat dalam
kebudayaan Indonesia. Gemuruh pulang kampung yang telah berlangsung tak lain
merupakan manifestasi manusia Indonesia untuk mengunjungi keluarga dan
kerabat dengan saling memaafkan kesalahan dan kekhilafan. Petuah guru bijak
mengajarkan bahwa perumpamaan dua saudara bagaikan dua tangan yang saling
membersihkan satu dengan lainnya.
Tak ada ruang pertengkaran karena hanya merugikan diri sendiri.
Begitu pentingnya silaturahim, Nabi berkata, “Sesungguhnya orang yang tidak
menyambung tali silaturahim, tidak mendapat kasih sayang.” Kuatnya saling
sayang yang terjalin dalam tradisi halalbihalal sangat strategis untuk merefl
eksikan kondisi sosial kebangsaan yang masih terkoyak dengan berbagai krisis
solidaritas antarsesama. Konfl ik antarsesama masih sangat kentara dalam
kehidupan. Dunia kebangsaan sebenarnya lahir dari persatuan dan solidaritas
sejati. Ini terbukti dengan tonggak kemerdekaan.
Namun, dalam perjalanan waktu, masyarakat menodai etos
perjuangan yang diwariskan para leluhur. Ramadan mengajarkan cara menahan
hawa nafsu dan meningkatkan kepedulian sosial. Mari menjadikan nilai dan
kebajikan Ramadan sebagai bekal membangun kebangsaan. Jangan kembali
berseteru, bertikai, dan bertengkar demi memuaskan nafsu yang hanya
melahirkan kebohongan dan kehancuran. Nafsu mendorong manusia berbuat tanpa
nalar. Nafsu mengakibatkan tumpul rasionalitas, hati keruh, dan emosi. Nafsu
kerap mengobrak-abrik tata kelola kehidupan yang telah ditata dengan kearifan
dan kebajikan.
Solidaritas kebangsaan gampang terkoyak dengan nafsu politik dan
ekonomi yang gampang menghalalkan segala cara. Nafsu politik menjadikan gerak
langkah begitu getol meraih dan mempertahankan kekuasaan. Saudara sendiri
sekalipun akan dikorbankan demi meraih kekuasaan agar dapat dipegang
selamanya. Padahal, mereka tahu bahwa kekuasaan bersifat sementara, tetapi
nafsu mendorong untuk menjadikannya kekal dan abadi.
Demikian juga nafsu ekonomi yang menjadikan manusia berbuat
seenaknya demi meraih keuntungan kekayaan, tanpa memedulikan nasib saudara
yang miskin dan telantar. Padahal, rakyat tentu ingat proklamator republik
ini mengajarkan untuk menjernihkan mata batin di tengah gejolak zaman ini.
Bung Karno terus mengobarkan semangat politik yang mandiri dan mengayomi seluruh
warga. Politik “berdikari” berdiri di atas kaki sendiri) yang diajarkan Bung
Karno menitahkan gerak politik untuk memajukan negeri dengan landasan yang
mengakar dalam bumi Nusantara, bukan menjiplak atau mengekor dengan tradisi
politik instan.
Demikian juga kesederhanaan Bung Hatta yang mengajarkan ekonomi
Indonesia haruslah berpihak kepada kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan
kaum kaya. Bung Hatta tak rela kaum rakyat jelata telantar di republik ini,
karenanya dia menitahkan ekonomi Pancasila sebagai jalan menuju kesejahteraan
rakyat. Merajut Merajut solidaritas kebangsaan dalam halalbihalal harus
menjadi tonggak umat dalam cinta tanah air. SM Jamaluddin melihat tingkat
persaudaraan dengan memberi dari kelebihan harta. Ini tingkatan paling rendah.
Saudara adalah sama dengan diri sendiri. Seseorang mengalahkan
diri demi orang lain. Inilah tingkatan persaudaraan saling mencintai
antarsesama. Ini sesuai dengan kehendak Allah. Keteladanan persaudaraan dalam
konteks kebangsaan ditunjukkan Nabi Muhammad yang mengorbankan apa pun demi
kesejahteraan umat. Solidaritas kebangsaan ini tak terbatas kepada umat
Islam, tetapi juga kepada kaum Yahudi, Nasrani, dan suku-suku Arab lainnya.
Umar bin Khattab juga melakukannya. Bahkan, khalifah yang satu ini terkenal adil
dalam mengelola negara. Misalnya, saat melihat rakyat didera kelaparan, dia
langsung memberi beras. Ketika ajudannya mau membawa karung beras itu, Umar
menolaknya karena melihatnya sebagai tanggung jawabnya.
Semua dilakukan demi sebuah solidaritas kebangsaan untuk menjaga
negeri tetap damai sejahtera. Dia menandaskan jangan menjadikan cinta sebagai
beban, juga jangan membuat kebencian merusak dan hendaknya engkau mencintai
kekurangan sahabatmu. Solidaritas kebangsaan inilah yang dibutuhkan bersama
di negeri ini. Momentum menjalin silaturahim bisa dimanfaatkan seluruh elemen
bangsa, khususnya kaum elite pejabat negara guna meneguhkan kembali
solidaritas kebangsaannya dalam menjaga nilai luhur warisan pendiri bangsa.
Para guru bijak mengajarkan kekuatan persaudaraan dilandasi
kesesuaian ucapan, perbuatan, dan kasih sayang. Perbuatan harus sesuai
ucapan. Kalau berucap harus dilandasi dengan semangat ilmu dan hati nurani.
Jangan sampai asal bicara, tanpa dasar ilmiah, dan jauh dari hati nurani.
Ilmu dan hati nurani dilengkapi kasih sayang sebab kasih sayang merupakan
inti manusia beragama. Tanpa kasih sayang, akal, dan hati nurani manusia tak
bisa digunakan untuk kebaikan sesama.
Orang yang hanya mencintai diri sendiri, melahirkan egoisme yang
bukan saja merusak diri, tetapi juga saudara dan peradaban umat manusia.
Wujud cinta adalah etos kemanfaatan dan keberkahan bagi sesama. Ukuran sukses
seseorang tergantung pada kesungguhannya meneguhkan dan menjalankan etos
kemanfaatan bagi orang lain. Sebanyak apa pun harta seseorang, setinggi
berapa pun jabatan, seluas apa pun ilmu, tetapi andai tidak bermanfaat bagi
orang lain, sia-sia belaka.
Seberapa pun pemberian Tuhan, bila digunakan sebesar-besarnya
untuk membantu sesama, sangat berkenan kepada-Nya. Inilah cikal bakal
kelahiran peradaban agung: cinta sesama paling hakiki. Manusia berguna bagi
sesamanya. dia ada untuk orang lain sebab orang lain itu citra-Nya. Mencintai
sesama berarti mencintai-Nya sebab setiap orang lain adalah citra-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar