Rabu, 06 Agustus 2014

Meneguhkan Solidaritas Kebangsaan

Meneguhkan Solidaritas Kebangsaan

Siti Muyassarotul Hafidzoh  ;   Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogya
KORAN JAKARTA, 01 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Setiap usai Lebaran, tradisi halalbihalal mengakar kuat dalam kebudayaan Indonesia. Gemuruh pulang kampung yang telah berlangsung tak lain merupakan manifestasi manusia Indonesia untuk mengunjungi keluarga dan kerabat dengan saling memaafkan kesalahan dan kekhilafan. Petuah guru bijak mengajarkan bahwa perumpamaan dua saudara bagaikan dua tangan yang saling membersihkan satu dengan lainnya.

Tak ada ruang pertengkaran karena hanya merugikan diri sendiri. Begitu pentingnya silaturahim, Nabi berkata, “Sesungguhnya orang yang tidak menyambung tali silaturahim, tidak mendapat kasih sayang.” Kuatnya saling sayang yang terjalin dalam tradisi halalbihalal sangat strategis untuk merefl eksikan kondisi sosial kebangsaan yang masih terkoyak dengan berbagai krisis solidaritas antarsesama. Konfl ik antarsesama masih sangat kentara dalam kehidupan. Dunia kebangsaan sebenarnya lahir dari persatuan dan solidaritas sejati. Ini terbukti dengan tonggak kemerdekaan.

Namun, dalam perjalanan waktu, masyarakat menodai etos perjuangan yang diwariskan para leluhur. Ramadan mengajarkan cara menahan hawa nafsu dan meningkatkan kepedulian sosial. Mari menjadikan nilai dan kebajikan Ramadan sebagai bekal membangun kebangsaan. Jangan kembali berseteru, bertikai, dan bertengkar demi memuaskan nafsu yang hanya melahirkan kebohongan dan kehancuran. Nafsu mendorong manusia berbuat tanpa nalar. Nafsu mengakibatkan tumpul rasionalitas, hati keruh, dan emosi. Nafsu kerap mengobrak-abrik tata kelola kehidupan yang telah ditata dengan kearifan dan kebajikan.

Solidaritas kebangsaan gampang terkoyak dengan nafsu politik dan ekonomi yang gampang menghalalkan segala cara. Nafsu politik menjadikan gerak langkah begitu getol meraih dan mempertahankan kekuasaan. Saudara sendiri sekalipun akan dikorbankan demi meraih kekuasaan agar dapat dipegang selamanya. Padahal, mereka tahu bahwa kekuasaan bersifat sementara, tetapi nafsu mendorong untuk menjadikannya kekal dan abadi.

Demikian juga nafsu ekonomi yang menjadikan manusia berbuat seenaknya demi meraih keuntungan kekayaan, tanpa memedulikan nasib saudara yang miskin dan telantar. Padahal, rakyat tentu ingat proklamator republik ini mengajarkan untuk menjernihkan mata batin di tengah gejolak zaman ini. Bung Karno terus mengobarkan semangat politik yang mandiri dan mengayomi seluruh warga. Politik “berdikari” berdiri di atas kaki sendiri) yang diajarkan Bung Karno menitahkan gerak politik untuk memajukan negeri dengan landasan yang mengakar dalam bumi Nusantara, bukan menjiplak atau mengekor dengan tradisi politik instan.

Demikian juga kesederhanaan Bung Hatta yang mengajarkan ekonomi Indonesia haruslah berpihak kepada kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan kaum kaya. Bung Hatta tak rela kaum rakyat jelata telantar di republik ini, karenanya dia menitahkan ekonomi Pancasila sebagai jalan menuju kesejahteraan rakyat. Merajut Merajut solidaritas kebangsaan dalam halalbihalal harus menjadi tonggak umat dalam cinta tanah air. SM Jamaluddin melihat tingkat persaudaraan dengan memberi dari kelebihan harta. Ini tingkatan paling rendah.

Saudara adalah sama dengan diri sendiri. Seseorang mengalahkan diri demi orang lain. Inilah tingkatan persaudaraan saling mencintai antarsesama. Ini sesuai dengan kehendak Allah. Keteladanan persaudaraan dalam konteks kebangsaan ditunjukkan Nabi Muhammad yang mengorbankan apa pun demi kesejahteraan umat. Solidaritas kebangsaan ini tak terbatas kepada umat Islam, tetapi juga kepada kaum Yahudi, Nasrani, dan suku-suku Arab lainnya. Umar bin Khattab juga melakukannya. Bahkan, khalifah yang satu ini terkenal adil dalam mengelola negara. Misalnya, saat melihat rakyat didera kelaparan, dia langsung memberi beras. Ketika ajudannya mau membawa karung beras itu, Umar menolaknya karena melihatnya sebagai tanggung jawabnya.

Semua dilakukan demi sebuah solidaritas kebangsaan untuk menjaga negeri tetap damai sejahtera. Dia menandaskan jangan menjadikan cinta sebagai beban, juga jangan membuat kebencian merusak dan hendaknya engkau mencintai kekurangan sahabatmu. Solidaritas kebangsaan inilah yang dibutuhkan bersama di negeri ini. Momentum menjalin silaturahim bisa dimanfaatkan seluruh elemen bangsa, khususnya kaum elite pejabat negara guna meneguhkan kembali solidaritas kebangsaannya dalam menjaga nilai luhur warisan pendiri bangsa.

Para guru bijak mengajarkan kekuatan persaudaraan dilandasi kesesuaian ucapan, perbuatan, dan kasih sayang. Perbuatan harus sesuai ucapan. Kalau berucap harus dilandasi dengan semangat ilmu dan hati nurani. Jangan sampai asal bicara, tanpa dasar ilmiah, dan jauh dari hati nurani. Ilmu dan hati nurani dilengkapi kasih sayang sebab kasih sayang merupakan inti manusia beragama. Tanpa kasih sayang, akal, dan hati nurani manusia tak bisa digunakan untuk kebaikan sesama.

Orang yang hanya mencintai diri sendiri, melahirkan egoisme yang bukan saja merusak diri, tetapi juga saudara dan peradaban umat manusia. Wujud cinta adalah etos kemanfaatan dan keberkahan bagi sesama. Ukuran sukses seseorang tergantung pada kesungguhannya meneguhkan dan menjalankan etos kemanfaatan bagi orang lain. Sebanyak apa pun harta seseorang, setinggi berapa pun jabatan, seluas apa pun ilmu, tetapi andai tidak bermanfaat bagi orang lain, sia-sia belaka.

Seberapa pun pemberian Tuhan, bila digunakan sebesar-besarnya untuk membantu sesama, sangat berkenan kepada-Nya. Inilah cikal bakal kelahiran peradaban agung: cinta sesama paling hakiki. Manusia berguna bagi sesamanya. dia ada untuk orang lain sebab orang lain itu citra-Nya. Mencintai sesama berarti mencintai-Nya sebab setiap orang lain adalah citra-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar