Selasa, 12 Agustus 2014

Tim Transisi dan Ancaman Politik Transaksi

Tim Transisi dan Ancaman Politik Transaksi

J Kristiadi  ;   Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 12 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

GAGASAN yang didorong niat baik politik Joko Widodo membentuk tim transisi pantas dihargai. Tujuannya adalah memuluskan proses transisi kekuasaan dari Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono ke Joko Widodo-Jusuf Kalla. Terutama pasangan tersebut bertekad membuktikan kesungguhan untuk segera dapat bekerja keras menghasilkan kebijakan yang dirasakan masyarakat.

Niat itu semakin mendapatkan dukungan publik dengan penegasan Jokowi yang menyatakan akan kukuh berpegang teguh pada konstitusi dan hanya tunduk dengan kemauan rakyat. Itu berarti, ia tidak akan mengalah kepada tuntutan kepentingan yang melanggar konstitusi dan tidak memihak rakyat. Termasuk partai politik pendukung yang agendanya lebih mementingkan kepentingan partai daripada masyarakat.

Terobosan itu, yang merupakan bagian dari proses peralihan pemerintahan, atau sering disebut pula presidential interregnum, dapat menjadi tradisi baru yang akan menjamin kesinambungan pengelolaan pemerintahan. Praktik di negara lain biasanya periode transisi, mulai dari presiden terpilih sampai dengan inaugurasi. Inovasi politik tersebut mempunyai beberapa urgensi. Dalam jangka pendek, setelah pelantikan 20 Oktober, Jokowi-JK harus siap melakukan sejumlah pertemuan puncak, seperti KTT ASEAN, ASEAN + 3, KTT APEC, East Asia Summit, hingga G-20. Dalam jangka lebih panjang, gagasan ini diharapkan dapat memperlancar proses peralihan pemerintahan. Hal itu karena beragam model demokrasi sudah dipraktikkan sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga kini, tetapi proses peralihan pemerintahan berjalan jauh dari mulus.

Proses transisi kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto (1966) diawali dengan ”perang saudara” tahun 1965 yang mengorbankan ratusan jiwa manusia. Penyerahan kekuasaan dilakukan melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Dari Presiden Soeharto kepada BJ Habibie (1998), dipicu huru-hara peristiwa Mei 1998. Berikutnya, transisi dari Presiden BJ Habibie ke Abdurrahman Wahid (1999) melalui sidang MPR yang mayoritas menghendaki BJ Habibie harus diberhentikan, antara lain karena dianggap bertanggung jawab atas lepasnya Provinsi Timor Timur dari kekuasaan Indonesia.

Sementara itu, Presiden Abdurrahman Wahid berhenti di tengah jalan melalui Sidang MPR 2001 karena membubarkan DPR/MPR dan Partai Golkar. Ia digantikan oleh Megawati. Demikian pula transisi dari Presiden Megawati kepada SBY (2004) dirasakan kurang mulus. Penyebabnya, konon, dalam perspektif Megawati, proses pencalonan SBY, saat itu adalah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan serta salah satu kepercayaan Megawati, menjadi capres dirasakan kurang gentleman.

Tugas utama tim transisi Jokowi adalah menjabarkan visi-misi Jokowi-JK ke dalam rencana dan program konkret, mempercepat pelaksanaan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, mempersiapkan APBN 2015, serta konsep kelembagaan pemerintahan, termasuk merancang arsitektur kabinet, sektor, dan beragam kebijakan lain. Jokowi dan anggota tim mencoba meyakinkan publik bahwa tim ini steril dari kepentingan transaksi politik, terutama mengenai pengusulan calon menteri dan pejabat tinggi lain.

Namun, mengingat tim ini adalah tim yang tidak hanya bersentuhan dengan kekuasaan, tetapi bagian dari pusat kekuasaan, hampir dapat dipastikan daya goda dan daya pikat kekuasaan akan menyihir para penikmat politik berdesak dan berjejal-jejal untuk merapat. Terlebih kelompok-kelompok yang gede rasa karena menganggap memberikan kontribusi terhadap kemenangan Jokowi-JK. Masing-masing merasa paling berhak menjadi lingkaran terdalam. Kontroversi mengenai ditunjuknya Rini Soemarno menjadi kepala staf tim merupakan bagian dari dinamika tersebut (Tempo, Edisi 11-17 Agustus 2014). Mungkin benar yang dikatakan John F Kennedy: Kemenangan banyak ayah, kekalahan adalah yatim piatu (Victory has a thousand fathers, but defeat is an orphan).

Kecenderungan tersebut semakin tidak mudah dicegah mengingat praktik politik selama lebih kurang 15 tahun terakhir, ranah politik bergelimang dalam kubangan tawar-menawar kekuasaan yang berkiblat pada self-interest. Kapital menjadi pengendali politik, terutama dalam melakukan perekrutan jabatan publik. Oleh karena itu, tantangan yang lebih berat adalah menebas politik balas budi dan warisan politik transaksi yang sudah ”menubuh” dalam bodi politik. Kapital menjadi variabel yang dominan dalam kehidupan politik. Kedaulatan rakyat nyaris sudah digantikan dengan kedaulatan kapital. Tawar-menawar memperoleh jabatan publik sudah dilakukan dengan kasatmata, amat transparan tanpa sedikit pun merasa melakukan perbuatan aib.

Senjata paling ampuh memitigasi ancaman politik transaksi adalah transparansi, resep manjur yang sudah dipraktikkan Jokowi, baik sebagai Wali Kota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta. Keterbukaan harus menjadi prinsip pengelolaan pemerintahan Jokowi-JK. Ke depan, proses peralihan pemerintahan, termasuk pembentukan tim transisi, sebaiknya dilakukan melalui undang-undang. Dalam regulasi itu, diatur rinci, jelas, tegas, dan transparan mengenai ruang lingkup, agenda, dan biaya pemerintahan transisi. Baik juga dipikirkan pengaturan mengenai transisi pemerintahan juga dilakukan di tingkat lokal. Sebagai komparasi, Amerika Serikat mempunyai undang-undang mengenai pemerintahan transisi yang disebut The Presidential Transition Act yang telah diamandemen beberapa kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar