Pembaruan
Kabinet
Asvi Warman Adam ;
Peneliti
Senior LIPI
|
KOMPAS,
12 Agustus 2014
PRESIDEN baru akan dilantik 20 Oktober 2014 dan paling lambat
dua pekan setelah itu kabinet sudah harus terbentuk. Tentu kabinet baru itu
akan bekerja dengan semangat baru, model koalisi yang baru, dan ideologi yang
lebih memihak kepada rakyat. Dalam kondisi kebaruan itu, yang tak kalah
penting adalah pembaruan dalam nomenklatur kementerian serta peningkatan
efektivitasnya dalam menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Syafii Maarif dalam artikel ”Kabinet
Jokowi” (Kompas, 4/8),
mengusulkan agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dipecah dua. Pertama
untuk perguruan tinggi dan riset-teknologi. Kedua, kementerian yang mengurus
SMA ke bawah. Upaya pemecahan dan penggabungan ini tidak menambah jumlah
kementerian seperti disyarakatkan UU (maksimal 34).
Gagasan senada sebetulnya sudah dilontarkan Ketua DPD Irman
Gusman dalam pertemuan Forum Rektor Indonesia di Universitas Sebelas Maret,
30 Januari 2014. Menurut Irman, paling tidak ada tiga sasaran penggabungan
itu. Pertama, mengoptimalkan penggunaan 20 persen APBN untuk fungsi
pendidikan sebagaimana diamanatkan UUD 1945 hasil amandemen.
Kedua, dengan dikeluarkannya Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi dari Kemdikbud, kementerian ini dapat lebih fokus mengurus pendidikan
dasar dan menengah dengan sasaran utama pembentukan karakter bangsa yang
merupakan tujuan pendidikan nasional.
Ketiga, untuk meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sangat perlu dilakukan sinergi fungsi riset, ilmu pengetahuan, dan
teknologi dengan fungsi pendidikan tinggi yang dapat diwujudkan melalui
pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. Kementerian
itu, menurut hemat saya, merupakan penggabungan Ditjen Dikti, Kementerian
Ristek, LIPI, BPPT, Lapan, dan Batan.
Azyumardi Azra dalam artikel ”Kontroversi
Kemendikti-Ristek” (Kompas, 26 Februari 2014) mengungkapkan bahwa rencana
penggabungan itu bukan gagasan baru. Pada 2008-2009, Wakil Presiden Jusuf
Kalla pernah mengumpulkan berbagai pakar untuk mendiskusikan dan merumuskan
pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Hasilnya adalah naskah akademis tentang pembentukan kementerian ini bagi
pemerintahan setelah Pemilu 2009. Namun, karena Jusuf Kalla gagal dalam
Pemilihan Presiden 2009, rencana pembentukan kementerian itu tidak
terlaksana.
Anggaran riset
Penguasaan iptek sangat vital bagi Indonesia agar bisa bertransformasi
dari bangsa konsumen jadi bangsa produsen. Sebagai negara besar dengan
penduduk nomor empat terbanyak di dunia, hingga saat ini Indonesia oleh
negara-negara industri maju hanya dianggap sebagai pasar karena tidak mampu
memproduksi barang teknologi dan industri yang dapat diandalkan.
Menurut catatan Kementerian Ristek, dalam kurun 2001-2010, kita
kalah jauh dari negara tetangga Malaysia dan Thailand dalam jumlah karya
ilmiah yang dipublikasi jurnal internasional dan jumlah paten internasional.
Kondisi itu terkait pula dengan alokasi anggaran riset yang minimal. Dana
penelitian di Indonesia hanya 0,8 persen dari produk domestik bruto (sekitar
Rp 15 triliun). Thailand mengalokasikan anggaran riset 4 kali lipat dan
Jepang 45 kali lipat Indonesia. Malaysia mengalokasikan 30 persen anggaran
pendidikan untuk kegiatan riset.
Semula saya berpandangan, akar permasalahannya bisa ditelusuri
pada UUD 1945 tentang pendidikan dan kebudayaan, yakni Pasal 31 Ayat (5) yang
berbunyi ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi…”. Untuk menjalankan tugas memajukan iptek tersebut, tentu
diperlukan dana yang besar. Oleh karena itu, Pasal 31 Ayat (4) berbunyi ”Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta APBD…”.
Untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, tentu tidak
cukup melalui pendidikan, tetapi juga harus dengan penelitian. Pendidikan dan
penelitian adalah dua unsur yang bisa dibedakan, tetapi sebetulnya tidak bisa
dipisahkan dan saling mendukung. Oleh karena itu, seyogianya UUD 1945 Pasal
31 Ayat (4) diamandemen menjadi ”Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan dan penelitian sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari APBN serta APBD…”.
Namun, apabila pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset,
dan Teknologi dapat dilaksanakan, tidak perlu lagi amandemen pasal tersebut
karena peningkatan anggaran riset tentu terealisasi. Yang paling penting
dicatat, pemerintah memang bertugas memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagaimana diatur dalam konstitusi. Jadi, pembentukan kementerian ini dalam
rangka melaksanakan amanat UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar