Antara
Nasionalisme dan Keadilan
Saratri Wilonoyudho ; Ketua Koalisi Kependudukan,
Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 16 Agustus 2014
“Pemerintah tidak bisa
serta-merta menghakimi jihadis untuk Islamic State dari kalangan muda kita”
PELAJARAN apa yang bisa kita petik barkait nasionalisme
sebagian remaja kita yang menyatakan siap îberjihadî demi Islamic State (IS)?
Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 2014, pertanyaan ini menjadi
menarik mengingat paham nasional terkait dengan kesepakatan bernegara.
Pemerintah tidak bisa serta-merta menghakimi jihadis untuk IS dari kalangan
muda kita, juga pada kasus ‘terorisme’ yang lain, tanpa mengaitkan dengan
kondisi demografis kaum muda kita.
Ambil contoh saja Jawa Tengah, menurut BPS (2011), Sensus
Penduduk 2010 menunjukkan lebih dari 25% (sekitar 8 juta jiwa) penduduk
provinsi ini adalah remaja. Mereka tengah tumbuh kembang sehingga andai salah
didik, jangan harap kita mendapatkan calon pemimpin yang paham arti
pembentukan negara.
Fakta lain, juga dari Sensus Penduduk 2010, lebih dari 60%
penduduk Jateng ’’maksimal’’ baru berpendidikan tamat SD. Wajar bila sebanyak
itu pula lapangan kerja yang mereka geluti adalah sektor informal dan
pertanian yang tidak banyak menghasilkan kesejahteraan. Jam kerja panjang,
namun penghasilan tetap rendah.
Desa-desa di Jateng sudah tidak bisa lagi dijadikan basis
mencari pekerjaan, sektor pertanian terpuruk ditandai tiga hal: alih fungsi
lahan subur secara masif, menurunnya kontribusi PDRB sektor pertanian, dan
meningkatnya jumlah petani berlahan sempit. Akibatnya, urbanisasi menjadi
pilihan, sebagaimana kita saksikan dalam arus balik lalu.
Wajarkah bila kondisi itu memunculkan sekelompok orang
frustrasi yang mudah îdididikî dalam bingkai tindakan negatif? Di sisi lain,
pengajaran mengenai nasionalisme di sekolah, kering, melulu hafalan, dan
tanpa keteladanan. Ditambah, pengajaran agama berkutat pada masalah fikih
yang beku, dengan dogma yang tak membawa pencerahan. Semua itu menyebabkan
kaum muda yang beragama tak bisa menemukan medan perjuangan sosialnya.
Dengan kata lain, berbicara nasionalisme tanpa keadilan adalah
omong kosong. Negara tanpa keadilan malah memunculkan nasionalisme semu. Hal
itu mengingat salah satu nilai penting dari nasionalisme adalah rasa senasib
sepenanggungan. Jika rasa ini tidak bisa tumbuh dari tiap individu, apalagi
di hati pejabat negara maka nasionalisme menjadi nihil. Pejabat negara yang
tidak menjalankan tugas dengan berkeadilan pada dasarnya sedang melunturkan
nasionalisme.
Ketidakadilan adalah sikap mau enak atau menang sendiri dengan
mengkhianati orang lain. Ketidakadilan menggerogoti pilar-pilar negeri ini,
dan berarti cepat atau lambat akan meruntuhkannya. Meskipun simbol negara
masih lengkap dan tegak berdiri, andai ketidakadilan tumbuh subur maka
nasionalisme pun tergerus. Negara hanya sebatas deretan angka dan peta
administratif, namun nirkedaulatan. Karena itu, untuk menegakkan nasionalisme
maka hukum yang tegak harus menjadi kunci.
Pemikiran dan perjuangan dr Wahidin Soedirohoesodo dan
kawan-kawan yang kemudian dikenal sebagai Kebangkitan Nasional merupakan
tonggak penting bagi keterwujudan cikal bakal paham nasional kita. Saat itu,
mereka menyerukan persatuan kepada pemimpin suku-suku untuk membentuk nation
yang terbebas dari penjajahan. Dengan membentuk negara maka jalan untuk
menyejahterakan rakyat makin terbuka.
Hukum dan Ketidakadilan
Berbagai kasus hukum yang tidak secara terang-benderang
terkuak menunjukkan ketidakadilan masih lekat di negeri ini. Lihat saja kasus
BLBI, Century, Gayus, Hambalang, SKK Migas, rekening gendut, sampai korupsi
Wisma Atlet SEA Games. Fakta ini menunjukkan bangsa ini masih belum terbebas
dari kepentingan politik dan kekuasaan.
Andai rasa keadilan itu hilang maka kepercayaan masyarakat
meluntur dan situasi chaos bisa sewaktu-waktu muncul. Titik kulminasinya
adalah gerakan separatis untuk memisah dari NKRI, dan itu mengoyak
nasionalisme. Situasi seperti itu akan menghabiskan energi yang mestinya bisa
banyak dicurahkan guna membangun ekonomi demi menyejahterakan bangsa.
Perjalanan sejarah ini secara implisit mengajarkan
nasionalisme meyakini kebenaran mutlak, bahwa untuk mewujudkan kejayaan
bersama maka nasionalisme perlu kembali digelorakan. Pemerintah tidak perlu
bersusah-susah mengajari melalui berbagai proyek mercusuar seperti penataran
P4, ketahanan nasional, budi pekerti, atau penataran lainnya mengingat rakyat
lebih nasionalis ketimbang mereka yang mengaku ”ahli’’ nasional.
Dengan kata lain, kata kunci untuk kembali membangkitkan
nasionalisme: hancurkan koruptor, tegakkan keadilan, dan sejahterakan rakyat.
Jika koruptor tumbuh subur dan ketidakadilan merajalela maka berbicara
tentang nasionalisme menjadi sia-sia karena pada hakikatnya negara telah
tiada.
Nasionalisme adalah raga dari universalitas nilai kemakhlukan
manusia, dengan demikian nasionalisme adalah dataran terendah hakiki
kemanusiaan. Modal sosial tersebut akan sia-sia bila tidak diimbangi
kepemimpinan yang kuat. Kita pernah memiliki Bung Karno-Bung Hatta, di India
ada Mahatma Gandhi, di Turki ada Kemal Attaturk, di Prancis ada Napoleon, di
Afsel ada Nelson Mandela. Lalu kita berharap dari presiden baru? Kita
sama-sama menunggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar