Minggu, 17 Agustus 2014

Antara Nasionalisme dan Keadilan

                           Antara Nasionalisme dan Keadilan

Saratri Wilonoyudho  ;  Ketua Koalisi Kependudukan,
Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 16 Agustus 2014
                                                


“Pemerintah tidak bisa serta-merta menghakimi jihadis untuk Islamic State dari kalangan muda kita”

PELAJARAN apa yang bisa kita petik barkait nasionalisme sebagian remaja kita yang menyatakan siap îberjihadî demi Islamic State (IS)? Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 2014, pertanyaan ini menjadi menarik mengingat paham nasional terkait dengan kesepakatan bernegara. Pemerintah tidak bisa serta-merta menghakimi jihadis untuk IS dari kalangan muda kita, juga pada kasus ‘terorisme’ yang lain, tanpa mengaitkan dengan kondisi demografis kaum muda kita.

Ambil contoh saja Jawa Tengah, menurut BPS (2011), Sensus Penduduk 2010 menunjukkan lebih dari 25% (sekitar 8 juta jiwa) penduduk provinsi ini adalah remaja. Mereka tengah tumbuh kembang sehingga andai salah didik, jangan harap kita mendapatkan calon pemimpin yang paham arti pembentukan negara.

Fakta lain, juga dari Sensus Penduduk 2010, lebih dari 60% penduduk Jateng ’’maksimal’’ baru berpendidikan tamat SD. Wajar bila sebanyak itu pula lapangan kerja yang mereka geluti adalah sektor informal dan pertanian yang tidak banyak menghasilkan kesejahteraan. Jam kerja panjang, namun penghasilan tetap rendah.

Desa-desa di Jateng sudah tidak bisa lagi dijadikan basis mencari pekerjaan, sektor pertanian terpuruk ditandai tiga hal: alih fungsi lahan subur secara masif, menurunnya kontribusi PDRB sektor pertanian, dan meningkatnya jumlah petani berlahan sempit. Akibatnya, urbanisasi menjadi pilihan, sebagaimana kita saksikan dalam arus balik lalu.

Wajarkah bila kondisi itu memunculkan sekelompok orang frustrasi yang mudah îdididikî dalam bingkai tindakan negatif? Di sisi lain, pengajaran mengenai nasionalisme di sekolah, kering, melulu hafalan, dan tanpa keteladanan. Ditambah, pengajaran agama berkutat pada masalah fikih yang beku, dengan dogma yang tak membawa pencerahan. Semua itu menyebabkan kaum muda yang beragama tak bisa menemukan medan perjuangan sosialnya.

Dengan kata lain, berbicara nasionalisme tanpa keadilan adalah omong kosong. Negara tanpa keadilan malah memunculkan nasionalisme semu. Hal itu mengingat salah satu nilai penting dari nasionalisme adalah rasa senasib sepenanggungan. Jika rasa ini tidak bisa tumbuh dari tiap individu, apalagi di hati pejabat negara maka nasionalisme menjadi nihil. Pejabat negara yang tidak menjalankan tugas dengan berkeadilan pada dasarnya sedang melunturkan nasionalisme.

Ketidakadilan adalah sikap mau enak atau menang sendiri dengan mengkhianati orang lain. Ketidakadilan menggerogoti pilar-pilar negeri ini, dan berarti cepat atau lambat akan meruntuhkannya. Meskipun simbol negara masih lengkap dan tegak berdiri, andai ketidakadilan tumbuh subur maka na­sionalisme pun tergerus. Negara hanya sebatas deretan angka dan peta administratif, namun nirkedaulatan. Karena itu, untuk menegakkan nasionalisme maka hukum yang tegak harus menjadi kunci.

Pemikiran dan perjuangan dr Wahidin Soediro­hoesodo dan kawan-kawan yang kemudian dikenal sebagai Kebangkitan Nasional merupakan tonggak penting bagi keterwujudan cikal bakal paham nasional kita. Saat itu, mereka menyerukan persatuan kepada pemimpin suku-suku untuk membentuk nation yang terbebas dari penjajahan. Dengan membentuk negara maka jalan untuk menyejahterakan rakyat makin terbuka.

Hukum dan Ketidakadilan

Berbagai kasus hukum yang tidak secara terang-benderang terkuak menunjukkan ketidakadilan masih lekat di negeri ini. Lihat saja kasus BLBI, Century, Gayus, Hambalang, SKK Migas, rekening gendut, sampai korupsi Wisma Atlet SEA Games. Fakta ini menunjukkan bangsa ini masih belum terbebas dari kepentingan politik dan kekuasaan.

Andai rasa keadilan itu hilang maka kepercayaan masyarakat meluntur dan situasi chaos bisa sewaktu-waktu muncul. Titik kulminasinya adalah gerakan separatis untuk memisah dari NKRI, dan itu mengoyak nasionalisme. Situasi seperti itu akan menghabiskan energi yang mestinya bisa banyak dicurahkan guna membangun ekonomi demi menyejahterakan bangsa.

Perjalanan sejarah ini secara implisit mengajarkan nasionalisme meyakini kebenaran mutlak, bahwa untuk mewujudkan kejayaan bersama maka nasionalisme perlu kembali digelorakan. Pemerintah tidak perlu bersusah-susah mengajari melalui berbagai proyek mercusuar seperti penataran P4, ketahanan nasional, budi pekerti, atau penataran lainnya mengingat rakyat lebih nasionalis ketimbang mereka yang mengaku ”ahli’’ nasional.

Dengan kata lain, kata kunci untuk kembali membangkitkan nasionalisme: hancurkan koruptor, tegakkan keadilan, dan sejahterakan rakyat. Jika koruptor tumbuh subur dan ketidakadilan merajalela maka berbicara tentang nasionalisme menjadi sia-sia karena pada hakikatnya negara telah tiada.

Nasionalisme adalah raga dari universalitas nilai kemakhlukan manusia, dengan demikian nasionalisme adalah dataran terendah hakiki kemanusiaan. Modal sosial tersebut akan sia-sia bila tidak diimbangi kepemimpinan yang kuat. Kita pernah memiliki Bung Karno-Bung Hatta, di India ada Mahatma Gandhi, di Turki ada Kemal Attaturk, di Prancis ada Napoleon, di Afsel ada Nelson Mandela. Lalu kita berharap dari presiden baru? Kita sama-sama menunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar