Rabu, 20 Agustus 2014

Presiden Baru, APBN Lama

                                      Presiden Baru, APBN Lama

Iman Sugema  ;   Ekonom IPB
REPUBLIKA, 18 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Sudah bukan rahasia lagi bahwa kelak presiden baru akan menghadapi berbagai kesulitan di enam bulan pertama pemerintahannya. Pasalnya, di tiga bulan pertama praktis ia tidak bisa membuat program kerja baru dan di tiga bulan yang kedua ia akan sibuk menegosiasikan perubahan terhadap APBN 2015.

Pada bulan Oktober sampai Desember 2014, pemerintahan baru merupakan pemerintahan lama dengan orang baru. Pemerintahan baru mau tidak mau harus menjalankan agenda pemerintahan lama. Kalaupun ada agenda baru, maka hampir tidak mungkin untuk bisa menggunakan anggaran 2014 untuk agenda baru.

Selain anggaran yang tersisa dalam APBN 2014 mungkin relatif tipis, uang negara harus digunakan sesuai dengan rencana yang telah disusun oleh pemerintahan lama. Kalaupun ada "kegiatan baru", maka ia harus diselenggarakan tanpa menggunakan uang APBN. Rakyat harus paham mengenai hal ini dan karenanya harus puas bahwa sebagian besar waktu dari kabinet baru dicurahkan untuk menjalankan agenda pemerintahan lama.

Gebrakan-gebrakan baru memang akan terlihat, tetapi itu lebih bertitik berat kepada style of leadership, pesan-pesan moral dan etika, sosialisasi perubahan paradigma, langkah-langkah reorganisasi dan konsolidasi, serta pencanangan program aksi yang akan dilakukan pada APBN yang baru. Presiden baru memang akan berupaya keras untuk menunjukan bahwa ia akan tetap bisa efektif walaupun dengan hanya menggunakan anggaran yang tersisa.

Pada bulan Januari sampai dengan Maret 2015 akan merupakan waktu-waktu yang sangat menentukan apakah janji-janji presiden terpilih selama masa kampanye yang lalu akan terefleksikan dalam APBN 2015. Penggunaan APBN tidak hanya ditentukan oleh pemerintah, tetapi juga harus mendapatkan persetujuan dari DPR.

Masalahnya, postur RAPBN yang tertera dalam nota keuangan yang dibacakan oleh Presiden pada Jumat yang lalu kurang menyediakan ruang fiskal yang memadai. Tentu harus dimaklumi cara berpikir dan cara kerja pemerintah sekarang sangat berbeda dengan pemerintahan yang akan datang.

Postur RAPBN 2015 hampir mirip dengan postur 2014 dengan ruang fiskal yang lebih sempit tentunya. Dari Rp 2.019 triliun yang diusulkan, pemerintah pusat hanya memegang kendali terhadap 68 persen anggaran karena yang 32 persen digunakan oleh pemerintah daerah.

Dana sebesar itu pun tak bisa digunakan sepenuhnya karena telah terkunci oleh pembayaran bunga utang sebesar Rp 154 triliun dan subsidi sebesar Rp 433 triliun. Jadi, dana yang tersedia hanyalah sekitar 39 persen. Angka itu pun klop dengan APBN Perubahan 2014. Sebagai catatan, pemerintahan yang sekarang akan mewariskan subsidi 2014 yang di-carry over ke TA 2015 sebesar Rp 44,6 triliun.

Sisa dana yang tersedia masih harus dikurangi dengan gaji pegawai yang normanya sekitar 14 persen dari total anggaran. Praktis dana yang bisa diutak-atik oleh pemerintah baru adalah hanya 25 persen atau sekitar Rp 500 triliun saja. Dana sebesar itulah yang dapat dialokasikan untuk belanja modal dan belanja barang dan jasa. Kedengarannya sih besar, tetapi untuk ukuran sebuah negara seperti Indonesia, ternyata itu hanya secuil saja.

Sebagai gambaran, dana Rp 500 triliun hanya sekitar 4,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jadi setelah dikurangi untuk belanja rutin barang dan jasa, maka anggaran untuk membangun paling banter hanya sebesar 2,5 persen dari PDB atau hanya Rp 275 triliun saja.

Pada zaman Orde Baru, belanja modal atau anggaran pembangunan selalu berada di kisaran empat sampai dengan lima persen. Dengan perbandingan ini, format anggaran 2015 tidak akan bisa mengejar besaran norma Orde Baru. Saya tidak mengatakan kualitas pembangunan pada 2015 akan lebih jelek dibandingkan Orde Baru. Saya hanya mengatakan ruang gerak yang tersedia bagi pemerintahan yang akan datang akan jauh lebih sempit.

Karena itu, hanya satu opsi yang tersedia bagi pemerintah baru, yakni meningkatkan efektivitas belanja modal. Efektivitas sangat bergantung pada tiga hal. Yang pertama adalah dengan uang yang begitu sedikit, bagaimana kita dapat menghasilkan impact yang sebesar-besarnya dalam bentuk pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Kata kunci pertumbuhan dan pemerataan tidak boleh dipisahkan.

Tantangannya, sekarang ini pertumbuhan sedang melambat dan ketimpangan sedang melebar. Untuk itu, penggunaan anggaran harus difokuskan kepada program dan proyek yang berdampak besar terhadap pertumbuhan dan pemerataan. Mungkin pemerintahan yang akan datang harus fokus terhadap empat atau lima sektor saja, yakni logistik, energi, pangan, pendidikan, dan kesehatan. Itu bukan berarti hal lainnya harus ditinggalkan.

Yang kedua adalah bagaimana agar uang yang sedikit itu tidak dimakan oleh para koruptor. Sudah menjadi rahasia umum, belanja modal merupakan bagian anggaran yang palin rawan dikorupsi. Dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lainnya, selalu ada komitmen pemberantasan korupsi. Namun kenyataannya korupsi tetap merajalela. Kita berharap ada inovasi baru untuk mencegah korupsi.

Yang ketiga adalah bagaimana anggaran di luar belanja modal dapat diarahkan untuk menopang belanja modal. Misalkan, reformasi birokrasi yang sering diikuti dengan renumerasi atau program peningkatan kesejahteraan pegawai negeri harus memiliki dampak yang positif terhadap efektivitas anggaran. Ini juga merupakan pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh pemerintahan yang sekarang.

Semoga saja pemerintahan yang akan datang memiliki cara-cara baru untuk bisa membangun negeri ini walaupun dengan jumlah uang yang terbatas. Keberpihakan, teladan, kecerdasan, dan ketulusan seorang pemimpin sering kali lebih berharga dibandingkan jumlah uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar