Rabu, 20 Maret 2013

Politik dalam Industri Survei


Politik dalam Industri Survei
Muhammadun  ;  Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Jogjakarta 
JAWA POS, 20 Maret 2013


SURVEI politik sekarang ini menjelma menjadi kekuatan yang sangat menentukan. Elektabilitas partai atau tokoh menjadi komoditas politik yang di-publish-kan lembaga survei. Tanpa bantuan lembaga survei, elektabilitas tidak bisa diramalkan untuk bertarung dalam kompetisi politik. Seorang Abu Rizal Bakrie (ARB) yang awalnya dalam survei menempati posisi buncit kini menjadi tokoh papan atas dalam survei politik. ARB menembus lima besar ''mengalahkan'' tokoh-tokoh lainnya. 

Politik survei juga menggoda seorang Jokowi. Beberapa lembaga survei menempatkan dia sebagai figur utama untuk maju dalam Pilpres 2014. Satu sisi, Jokowi bisa saja diuntungkan. Tetapi, di sisi lain, kerja Jokowi untuk Jakarta yang lebih baik bisa terganggu. Padahal, Jokowi sudah mendapat amanat warga Jakarta untuk memimpin hingga 2017. 

Politik survei, dengan demikian, sudah menjadi medan kreativitas ekonomi politik. Sebab, sajian survei selalu menjadi komoditas industri media.

Lembaga survei politik mestinya bukan sekadar lembaga yang menyajikan survei untuk komoditas industri media, melainkan menjadi kontrol demokrasi bagi kemajuan negara. Sayangnya, lembaga survei di Indonesia justru terkesan berlomba menjadi agen industri media. Tidak sedikit juga lembaga survei yang justru dipesan untuk memenangkan partai politik atau tokoh tertentu. Bila demikian, lembaga survei sudah tidak lagi menjadi bagian proses demokratisasi, melainkan agen industri dan agen politik yang saling menguntungkan.

Karena bergerak menjadi bagian komoditas politik, lembaga survei justru menghadirkan beragam problem. Pertama, rakyat sesungguhnya menjadi pemilih yang sejati dan cerdas. Rakyat bukanlah suporter yang dijadikan korban dalam mobilisasi politik. Karena sudah diorder, lembaga survei akhirnya menggiring opini kepada rakyat. Partai atau tokoh yang selama ini tidak memihak rakyat kemudian oleh berbagai survei dipersepsikan sebagai tokoh yang dermawan dan dekat dengan rakyat.

Kedua, dengan tema-tema surveinya, lembaga survei seharusnya menghadirkan harapan kepada rakyat. Sayangnya, lembaga survei selama ini justru menghadirkan pesimisme bagi rakyat karena hasil dan tema survei sering elitis, pesanan, dan tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami rakyat. 

Ketiga, survei politik sering menghadirkan persaingan politik yang tidak sehat. Partai politik atau tokoh kemudian melakukan cara-cara kampanye dan strategi pemenangan yang tidak cerdas dan tidak beradab. Akhirnya, yang terjadi adalah money politics yang menggila dalam setiap pemilu dan pilkada. Karena survei politiknya rendah, money politics menjadi cara untuk kemenangan. Tragisnya, lembaga survei menggiring opini semua menjadi pemenang. Apa pun dilakukan untuk menjadi pemenang.

Keempat, survei politik telah mematikan satu titik langkah menuju demokrasi. Karena perannya yang makin besar, lembaga survei kemudian dijadikan alat politik untuk memenangkan. Partai politik dan elite enggan dan malas bekerja untuk rakyat. Mereka lebih memilih bekerja untuk mendapat apresiasi lembaga survei. Ini jelas menghabat demokratisasi sehingga rakyat yang menjadi korban. 

Anomali Demokrasi 

Ketika survei politik mengalami distorsi dengan polanya sendiri, terjadilah anomali dalam berdemokrasi. Demokrasi ditentukan oleh lembaga survey. Sebab, lembaga survei memainkan hasil survei bersamaan dengan kalkulasi politik yang dimainkan. Anomali lahir  ketika lembaga survei memproduksi fakta yang sesuai ''pesanan'' kepada rakyat melalui beragam cara yang telah diprogramkan. Jebakan demokrasi berlangsung karena ''pesanan politik'' sering menjadi industri politik, baik dilakukan partai politik, lembaga survei, maupun industri media.

Anomali demokrasi berada dalam perangkap politik survei ini dalam konsep representasi Stuart Hall (1997: 25) dipandang sebagai makna yang dibuat oleh si pembuatnya sehingga menghasilkan makna yang dikehendaki. Makna yang lahir dari hasil survei politik berada di tangan lembaga survei, kemudian direpresentasikan sebagai survei (di tangan) rakyat. Rakyat seolah menjadi pemain utama dalam survei itu dan hasilnya seolah keinginan rakyat.

Karena melakukan reproduksi dan representasi makna, menurut Donny Gahral Adian (2012), lembaga survei sebenarnya mirip dengan selecting committee yang merekayasa fakta suara, bukan merekam suara rakyat. Mereka membangun opini publik, tidak merekam opini publik. Bagi Donny, itu sangat berbahaya karena demokrasitisasi dilakukan secara manipulatif, sesuai keinginan lembaga survei, karena lembaga survei memaksakan patokan sendiri.

Manipulasi berdemokrasi jelas menjadi indikasi runtuhnya jati diri kerakyatan. Demokrasi kemudian menjadi elitokrasi, hanya suara kaum elite yang dijadikan pegangan dalam kebijakan publik. Salah satu bumpernya, bisa jadi, adalah lembaga survei. 

Pertarungan politik menjelang 2014 akan menjadi ajang kompetisi lembaga survei untuk melakukan kongkalikong politik dengan partai dan industri media. Bersyukur, kalau lembaga survei mampu menjadi penjaga keseimbangan berdemokrasi. Sangat menyesal, kalau lembaga survei makin memanfaatkan kebobrokan sistem politik ini untuk mengais keuntungan dan kekayaan. 

Survei politik sebenarnya sangat berguna membangun demokrasi sehingga rakyat mendapat pencerahan politik untuk membangun demokrasi yang gagah bagi Indonesia masa depan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar