SURVEI politik sekarang ini menjelma menjadi kekuatan yang
sangat menentukan. Elektabilitas partai atau tokoh menjadi komoditas
politik yang di-publish-kan lembaga survei. Tanpa bantuan lembaga
survei, elektabilitas tidak bisa diramalkan untuk bertarung dalam kompetisi
politik. Seorang Abu Rizal Bakrie (ARB) yang awalnya dalam survei menempati
posisi buncit kini menjadi tokoh papan atas dalam survei politik. ARB
menembus lima besar ''mengalahkan'' tokoh-tokoh lainnya.
Politik survei juga menggoda seorang Jokowi. Beberapa lembaga survei
menempatkan dia sebagai figur utama untuk maju dalam Pilpres 2014. Satu
sisi, Jokowi bisa saja diuntungkan. Tetapi, di sisi lain, kerja Jokowi
untuk Jakarta yang lebih baik bisa terganggu. Padahal, Jokowi sudah
mendapat amanat warga Jakarta untuk memimpin hingga 2017.
Politik survei, dengan demikian, sudah menjadi medan kreativitas ekonomi
politik. Sebab, sajian survei selalu menjadi komoditas industri media.
Lembaga survei politik mestinya bukan sekadar lembaga yang menyajikan
survei untuk komoditas industri media, melainkan menjadi kontrol demokrasi
bagi kemajuan negara. Sayangnya, lembaga survei di Indonesia justru
terkesan berlomba menjadi agen industri media. Tidak sedikit juga lembaga
survei yang justru dipesan untuk memenangkan partai politik atau tokoh tertentu.
Bila demikian, lembaga survei sudah tidak lagi menjadi bagian proses
demokratisasi, melainkan agen industri dan agen politik yang saling
menguntungkan.
Karena bergerak menjadi bagian komoditas politik, lembaga survei justru
menghadirkan beragam problem. Pertama,
rakyat sesungguhnya menjadi pemilih yang sejati dan cerdas. Rakyat bukanlah
suporter yang dijadikan korban dalam mobilisasi politik. Karena sudah
diorder, lembaga survei akhirnya menggiring opini kepada rakyat. Partai
atau tokoh yang selama ini tidak memihak rakyat kemudian oleh berbagai
survei dipersepsikan sebagai tokoh yang dermawan dan dekat dengan rakyat.
Kedua, dengan tema-tema surveinya, lembaga survei seharusnya
menghadirkan harapan kepada rakyat. Sayangnya, lembaga survei selama ini
justru menghadirkan pesimisme bagi rakyat karena hasil dan tema survei
sering elitis, pesanan, dan tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami
rakyat.
Ketiga, survei politik sering menghadirkan persaingan politik yang
tidak sehat. Partai politik atau tokoh kemudian melakukan cara-cara
kampanye dan strategi pemenangan yang tidak cerdas dan tidak beradab.
Akhirnya, yang terjadi adalah money
politics yang menggila
dalam setiap pemilu dan pilkada. Karena survei politiknya rendah, money politics menjadi cara untuk kemenangan.
Tragisnya, lembaga survei menggiring opini semua menjadi pemenang. Apa pun
dilakukan untuk menjadi pemenang.
Keempat, survei politik telah mematikan satu titik langkah menuju
demokrasi. Karena perannya yang makin besar, lembaga survei kemudian
dijadikan alat politik untuk memenangkan. Partai politik dan elite enggan
dan malas bekerja untuk rakyat. Mereka lebih memilih bekerja untuk mendapat
apresiasi lembaga survei. Ini jelas menghabat demokratisasi sehingga rakyat
yang menjadi korban.
Anomali Demokrasi
Ketika survei politik mengalami distorsi dengan polanya sendiri, terjadilah
anomali dalam berdemokrasi. Demokrasi ditentukan oleh lembaga survey.
Sebab, lembaga survei memainkan hasil survei bersamaan dengan kalkulasi
politik yang dimainkan. Anomali lahir ketika lembaga survei
memproduksi fakta yang sesuai ''pesanan'' kepada rakyat melalui beragam
cara yang telah diprogramkan. Jebakan demokrasi berlangsung karena
''pesanan politik'' sering menjadi industri politik, baik dilakukan partai politik,
lembaga survei, maupun industri media.
Anomali demokrasi berada dalam perangkap politik survei ini dalam konsep
representasi Stuart Hall (1997: 25) dipandang sebagai makna yang dibuat
oleh si pembuatnya sehingga menghasilkan makna yang dikehendaki. Makna yang
lahir dari hasil survei politik berada di tangan lembaga survei, kemudian
direpresentasikan sebagai survei (di tangan) rakyat. Rakyat seolah menjadi
pemain utama dalam survei itu dan hasilnya seolah keinginan rakyat.
Karena melakukan reproduksi dan representasi makna, menurut Donny Gahral
Adian (2012), lembaga survei sebenarnya mirip dengan selecting committee yang merekayasa fakta suara, bukan
merekam suara rakyat. Mereka membangun opini publik, tidak merekam opini
publik. Bagi Donny, itu sangat berbahaya karena demokrasitisasi dilakukan
secara manipulatif, sesuai keinginan lembaga survei, karena lembaga survei
memaksakan patokan sendiri.
Manipulasi berdemokrasi jelas menjadi indikasi runtuhnya jati diri
kerakyatan. Demokrasi kemudian menjadi elitokrasi, hanya suara kaum elite
yang dijadikan pegangan dalam kebijakan publik. Salah satu bumpernya, bisa
jadi, adalah lembaga survei.
Pertarungan politik menjelang 2014 akan menjadi ajang kompetisi lembaga
survei untuk melakukan kongkalikong politik dengan partai dan industri
media. Bersyukur, kalau lembaga survei mampu menjadi penjaga keseimbangan
berdemokrasi. Sangat menyesal, kalau lembaga survei makin memanfaatkan
kebobrokan sistem politik ini untuk mengais keuntungan dan kekayaan.
Survei politik sebenarnya sangat berguna membangun demokrasi sehingga
rakyat mendapat pencerahan politik untuk membangun demokrasi yang gagah
bagi Indonesia masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar