Keindahan alam Indonesia
seirama dengan pluralisme budaya dan kerukunan beragama masyarakatnya.
Memang, budaya toleransi masyarakat muslim RI sungguh luar biasa. Sebagai
salah satu bukti, hal itu tecermin jelas pada penggunaan banyak nama dalam
bahasa Sansekerta sebagai identitas diri mereka sehari-hari.
Saya terkejut ketika banyak
warga negara Indonesia (WNI) terbiasa menggunakan nama-nama dewa Hindu,
seperti Wisnu atau Krisna. Hal yang sama belum tentu dapat diterima dengan
baik di kalangan muslim di negara lain. Ini bisa menjadi model dan teladan.
Merujuk sejarah, seperti dikemukakan
rekan saya, Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Chaider S Bamualim, ternyata hal itu
tidak mengherankan. Karena, umat Islam RI sudah lama menerapkan toleransi
dan pluralisme, bahkan sejak era kerajaan. Sebagai contoh, Raja Mataram
Sultan Agung tidak mengubah nilai asli masyarakat Nusantara yang sudah lama
mengadopsi nilai-nilai Hindu.
Namun, perlu diluruskan,
persepsi mengenai pluralisme kerap disalahartikan. Selama ini, orang
berpikir pluralisme itu berarti pencampuran beberapa kepercayaan menjadi
satu. Itu pemahaman yang keliru. Padahal, pluralisme adalah sistem nilai
untuk menerjemahkan perbedaan. Kaum muslim dapat menerima dan menghormati
perbedaan yang ada di kehidupan sosial. Itulah makna sebenarnya pluralisme.
Kaum muslim RI sudah terbiasa hidup berdampingan di tengah perbedaan yang
ada di masyarakat karena hal itu juga termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an.
Nah, terkait hal itu, saya
juga ingin berbagi kabar gembira tentang toleransi. Dalam sebuah diskusi
yang dibuka oleh Dubes AS untuk RI Scot Marciel tentang Islam di AS, saya
menjelaskan, selama 11 tahun belakangan, jumlah muslim di AS terus
meningkat. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Antara lain, banyak warga
telah mendapatkan makna Islam yang sesungguhnya, yakni agama yang toleran
dan bukan terorisme. Bahkan, mereka menemukan keindahan dalam Islam yang
penuh kasih sayang (rahmatan li al
'alamin).
Selain itu, salah satu
alasannya, banyak orang penasaran ingin mempelajari Islam sebelum
memberikan penilaian dan mereka merasa cocok. Kemudian, tidak sedikit
imigran muslim di AS yang sukses karena kesadaran untuk melanjutkan
pendidikan setinggi-tingginya.
Islam mengajarkan pluralisme.
Wahyu yang diterima Rasulullah SAW juga berisi tentang pengakuan terhadap
kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur'an pun menjadi penyempurna firman-firman
Tuhan sebelumnya. Islam juga menempatkan nabi-nabi sebelumnya pada posisi
yang mulia. Dan, Al-Qur'an pun menegaskan konsep Ahli Kitab.
Muslim, sebagai "umat terakhir",
didefinisikan sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap kemaslahatan
alam semesta, bukan sekadar memiliki keistimewaan (khalifah). Dan, Nabi
Muhammad SAW adalah rahmat universal bagi seluruh umat manusia.
Berbagai pemahaman yang
mencerahkan tentang Islam inilah yang mendorong saya mendirikan sebuah
dewan pendidikan Islam pada 1990 di AS. Itu sebuah lembaga nirlaba yang
sekarang bernama Institute Nilai-Nilai Keagamaan dan Kewarganegaraan atau Institute on Religion and Civic Values
(IRCV) yang berbasis di Fountain Valley.
Saya mendirikan IRCV untuk
mengambil bagian dalam diskusi dan meningkatan kemajuan pendidikan Amerika,
bukan untuk mengampanyekan agenda tertentu. Lembaga itu telah bekerja sama
dengan para pendidik, penerbit, dan pembuat kebijakan untuk memberikan
perspektif yang benar terkait materi-materi edukasi yang berhubungan dengan
semua agama dunia, terutama Islam yang damai, penuh kasih, dan toleran.
Keindahan alam Indonesia
seirama dengan pluralisme budaya dan kerukunan beragama masyarakatnya.
Memang, budaya toleransi masyarakat muslim RI sungguh luar biasa. Sebagai
salah satu bukti, hal itu tecermin jelas pada penggunaan banyak nama dalam
bahasa Sansekerta sebagai identitas diri mereka sehari-hari.
Saya terkejut ketika banyak
warga negara Indonesia (WNI) terbiasa menggunakan nama-nama dewa Hindu,
seperti Wisnu atau Krisna. Hal yang sama belum tentu dapat diterima dengan
baik di kalangan muslim di negara lain. Ini bisa menjadi model dan teladan.
Merujuk sejarah, seperti
dikemukakan rekan saya, Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Chaider S Bamualim,
ternyata hal itu tidak mengherankan. Karena, umat Islam RI sudah lama
menerapkan toleransi dan pluralisme, bahkan sejak era kerajaan. Sebagai
contoh, Raja Mataram Sultan Agung tidak mengubah nilai asli masyarakat
Nusantara yang sudah lama mengadopsi nilai-nilai Hindu.
Namun, perlu diluruskan,
persepsi mengenai pluralisme kerap disalahartikan. Selama ini, orang
berpikir pluralisme itu berarti pencampuran beberapa kepercayaan menjadi
satu. Itu pemahaman yang keliru. Padahal, pluralisme adalah sistem nilai
untuk menerjemahkan perbedaan. Kaum muslim dapat menerima dan menghormati
perbedaan yang ada di kehidupan sosial. Itulah makna sebenarnya pluralisme.
Kaum muslim RI sudah terbiasa hidup berdampingan di tengah perbedaan yang
ada di masyarakat karena hal itu juga termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an.
Nah, terkait hal itu, saya
juga ingin berbagi kabar gembira tentang toleransi. Dalam sebuah diskusi
yang dibuka oleh Dubes AS untuk RI Scot Marciel tentang Islam di AS, saya
menjelaskan, selama 11 tahun belakangan, jumlah muslim di AS terus
meningkat. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Antara lain, banyak warga
telah mendapatkan makna Islam yang sesungguhnya, yakni agama yang toleran
dan bukan terorisme. Bahkan, mereka menemukan keindahan dalam Islam yang
penuh kasih sayang (rahmatan li al
'alamin).
Selain itu, salah satu
alasannya, banyak orang penasaran ingin mempelajari Islam sebelum memberikan
penilaian dan mereka merasa cocok. Kemudian, tidak sedikit imigran muslim
di AS yang sukses karena kesadaran untuk melanjutkan pendidikan
setinggi-tingginya.
Islam mengajarkan pluralisme.
Wahyu yang diterima Rasulullah SAW juga berisi tentang pengakuan terhadap
kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur'an pun menjadi penyempurna firman-firman
Tuhan sebelumnya. Islam juga menempatkan nabi-nabi sebelumnya pada posisi
yang mulia. Dan, Al-Qur'an pun menegaskan konsep Ahli Kitab.
Muslim, sebagai "umat
terakhir", didefinisikan sebagai makhluk yang bertanggung jawab
terhadap kemaslahatan alam semesta, bukan sekadar memiliki keistimewaan
(khalifah). Dan, Nabi Muhammad SAW adalah rahmat universal bagi seluruh
umat manusia.
Berbagai pemahaman yang
mencerahkan tentang Islam inilah yang mendorong saya mendirikan sebuah
dewan pendidikan Islam pada 1990 di AS. Itu sebuah lembaga nirlaba yang
sekarang bernama Institute Nilai-Nilai Keagamaan dan Kewarganegaraan atau
Institute on Religion and Civic Values (IRCV) yang berbasis di Fountain
Valley.
Saya mendirikan IRCV untuk
mengambil bagian dalam diskusi dan meningkatan kemajuan pendidikan Amerika,
bukan untuk mengampanyekan agenda tertentu. Lembaga itu telah bekerja sama
dengan para pendidik, penerbit, dan pembuat kebijakan untuk memberikan
perspektif yang benar terkait materi-materi edukasi yang berhubungan dengan
semua agama dunia, terutama Islam yang damai, penuh kasih, dan toleran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar