Sabtu, 02 Maret 2013

Toleransi Islam di RI-AS


Toleransi Islam di RI-AS
Shabbir Mansuri ;  Cendekiawan Muslim AS, Pendiri IRCV 
SUARA KARYA, 01 Maret 2013


Keindahan alam Indonesia seirama dengan pluralisme budaya dan kerukunan beragama masyarakatnya. Memang, budaya toleransi masyarakat muslim RI sungguh luar biasa. Sebagai salah satu bukti, hal itu tecermin jelas pada penggunaan banyak nama dalam bahasa Sansekerta sebagai identitas diri mereka sehari-hari.

Saya terkejut ketika banyak warga negara Indonesia (WNI) terbiasa menggunakan nama-nama dewa Hindu, seperti Wisnu atau Krisna. Hal yang sama belum tentu dapat diterima dengan baik di kalangan muslim di negara lain. Ini bisa menjadi model dan teladan.
Merujuk sejarah, seperti dikemukakan rekan saya, Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Chaider S Bamualim, ternyata hal itu tidak mengherankan. Karena, umat Islam RI sudah lama menerapkan toleransi dan pluralisme, bahkan sejak era kerajaan. Sebagai contoh, Raja Mataram Sultan Agung tidak mengubah nilai asli masyarakat Nusantara yang sudah lama mengadopsi nilai-nilai Hindu.

Namun, perlu diluruskan, persepsi mengenai pluralisme kerap disalahartikan. Selama ini, orang berpikir pluralisme itu berarti pencampuran beberapa kepercayaan menjadi satu. Itu pemahaman yang keliru. Padahal, pluralisme adalah sistem nilai untuk menerjemahkan perbedaan. Kaum muslim dapat menerima dan menghormati perbedaan yang ada di kehidupan sosial. Itulah makna sebenarnya pluralisme. Kaum muslim RI sudah terbiasa hidup berdampingan di tengah perbedaan yang ada di masyarakat karena hal itu juga termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an.

Nah, terkait hal itu, saya juga ingin berbagi kabar gembira tentang toleransi. Dalam sebuah diskusi yang dibuka oleh Dubes AS untuk RI Scot Marciel tentang Islam di AS, saya menjelaskan, selama 11 tahun belakangan, jumlah muslim di AS terus meningkat. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Antara lain, banyak warga telah mendapatkan makna Islam yang sesungguhnya, yakni agama yang toleran dan bukan terorisme. Bahkan, mereka menemukan keindahan dalam Islam yang penuh kasih sayang (rahmatan li al 'alamin).

Selain itu, salah satu alasannya, banyak orang penasaran ingin mempelajari Islam sebelum memberikan penilaian dan mereka merasa cocok. Kemudian, tidak sedikit imigran muslim di AS yang sukses karena kesadaran untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya.

Islam mengajarkan pluralisme. Wahyu yang diterima Rasulullah SAW juga berisi tentang pengakuan terhadap kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur'an pun menjadi penyempurna firman-firman Tuhan sebelumnya. Islam juga menempatkan nabi-nabi sebelumnya pada posisi yang mulia. Dan, Al-Qur'an pun menegaskan konsep Ahli Kitab.

Muslim, sebagai "umat terakhir", didefinisikan sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap kemaslahatan alam semesta, bukan sekadar memiliki keistimewaan (khalifah). Dan, Nabi Muhammad SAW adalah rahmat universal bagi seluruh umat manusia.
Berbagai pemahaman yang mencerahkan tentang Islam inilah yang mendorong saya mendirikan sebuah dewan pendidikan Islam pada 1990 di AS. Itu sebuah lembaga nirlaba yang sekarang bernama Institute Nilai-Nilai Keagamaan dan Kewarganegaraan atau Institute on Religion and Civic Values (IRCV) yang berbasis di Fountain Valley.

Saya mendirikan IRCV untuk mengambil bagian dalam diskusi dan meningkatan kemajuan pendidikan Amerika, bukan untuk mengampanyekan agenda tertentu. Lembaga itu telah bekerja sama dengan para pendidik, penerbit, dan pembuat kebijakan untuk memberikan perspektif yang benar terkait materi-materi edukasi yang berhubungan dengan semua agama dunia, terutama Islam yang damai, penuh kasih, dan toleran.

Keindahan alam Indonesia seirama dengan pluralisme budaya dan kerukunan beragama masyarakatnya. Memang, budaya toleransi masyarakat muslim RI sungguh luar biasa. Sebagai salah satu bukti, hal itu tecermin jelas pada penggunaan banyak nama dalam bahasa Sansekerta sebagai identitas diri mereka sehari-hari.

Saya terkejut ketika banyak warga negara Indonesia (WNI) terbiasa menggunakan nama-nama dewa Hindu, seperti Wisnu atau Krisna. Hal yang sama belum tentu dapat diterima dengan baik di kalangan muslim di negara lain. Ini bisa menjadi model dan teladan.
Merujuk sejarah, seperti dikemukakan rekan saya, Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Chaider S Bamualim, ternyata hal itu tidak mengherankan. Karena, umat Islam RI sudah lama menerapkan toleransi dan pluralisme, bahkan sejak era kerajaan. Sebagai contoh, Raja Mataram Sultan Agung tidak mengubah nilai asli masyarakat Nusantara yang sudah lama mengadopsi nilai-nilai Hindu.

Namun, perlu diluruskan, persepsi mengenai pluralisme kerap disalahartikan. Selama ini, orang berpikir pluralisme itu berarti pencampuran beberapa kepercayaan menjadi satu. Itu pemahaman yang keliru. Padahal, pluralisme adalah sistem nilai untuk menerjemahkan perbedaan. Kaum muslim dapat menerima dan menghormati perbedaan yang ada di kehidupan sosial. Itulah makna sebenarnya pluralisme. Kaum muslim RI sudah terbiasa hidup berdampingan di tengah perbedaan yang ada di masyarakat karena hal itu juga termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an.

Nah, terkait hal itu, saya juga ingin berbagi kabar gembira tentang toleransi. Dalam sebuah diskusi yang dibuka oleh Dubes AS untuk RI Scot Marciel tentang Islam di AS, saya menjelaskan, selama 11 tahun belakangan, jumlah muslim di AS terus meningkat. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Antara lain, banyak warga telah mendapatkan makna Islam yang sesungguhnya, yakni agama yang toleran dan bukan terorisme. Bahkan, mereka menemukan keindahan dalam Islam yang penuh kasih sayang (rahmatan li al 'alamin).

Selain itu, salah satu alasannya, banyak orang penasaran ingin mempelajari Islam sebelum memberikan penilaian dan mereka merasa cocok. Kemudian, tidak sedikit imigran muslim di AS yang sukses karena kesadaran untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya.

Islam mengajarkan pluralisme. Wahyu yang diterima Rasulullah SAW juga berisi tentang pengakuan terhadap kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur'an pun menjadi penyempurna firman-firman Tuhan sebelumnya. Islam juga menempatkan nabi-nabi sebelumnya pada posisi yang mulia. Dan, Al-Qur'an pun menegaskan konsep Ahli Kitab.

Muslim, sebagai "umat terakhir", didefinisikan sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap kemaslahatan alam semesta, bukan sekadar memiliki keistimewaan (khalifah). Dan, Nabi Muhammad SAW adalah rahmat universal bagi seluruh umat manusia.
Berbagai pemahaman yang mencerahkan tentang Islam inilah yang mendorong saya mendirikan sebuah dewan pendidikan Islam pada 1990 di AS. Itu sebuah lembaga nirlaba yang sekarang bernama Institute Nilai-Nilai Keagamaan dan Kewarganegaraan atau Institute on Religion and Civic Values (IRCV) yang berbasis di Fountain Valley.

Saya mendirikan IRCV untuk mengambil bagian dalam diskusi dan meningkatan kemajuan pendidikan Amerika, bukan untuk mengampanyekan agenda tertentu. Lembaga itu telah bekerja sama dengan para pendidik, penerbit, dan pembuat kebijakan untuk memberikan perspektif yang benar terkait materi-materi edukasi yang berhubungan dengan semua agama dunia, terutama Islam yang damai, penuh kasih, dan toleran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar