Sabtu, 02 Maret 2013

Agama dan Problem Kebangsaan


Agama dan Problem Kebangsaan
Nafisatul Husniah ;  Aktivis Laskar Ambisius Aliansi Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) dan Mahasantri Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 01 Maret 2013


Mengutip sila pertama ideologi bangsa, Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, sangat jelas menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara atheis tetapi negara yang mempercayai adanya Tuhan. Penjelasan lebih konkritnya terdapat pada butir pertama Pancasila yaitu, percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Esensi dari bangsa yang beragama prinsipnya adalah bangsa yang mematuhi perintah dan menjauhi larangan menurut agama yang dianutnya. Agama bukan hanya suatu identitas yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau tanda pengenal lainnya. Mengakuinya hanya untuk kepentingan memenuhi persyaratan administrasi di Indonesia jelas bukan hal yang benar. Namun, jika melihat kondisi bangsa Indonesia sekarang ini, seakan esensi dari beragama itu sudah tidak ada implementasinya.

Memang benar khutbah-khutbah keagamaan masih sering diselenggarakan, do'a bersama kerap dikumandangkan, perayaan hari besar tidak pernah ditinggalkan dan kegiatan-kegiatan bernuansa religius masih pula memenuhi negeri ini. Namun bersama itu, kriminalitas yang tidak berkemanusiaan juga terus meningkat. Mulai dari kasus perampokan, pencuriaan, pemerkosaan, penganiayaan, bahkan sampai pembunuhan tidak pernah absen dari liputan media masa. Ditambah lagi kasus korupsi yang semakin menjadi-jadi di kalangan elite negara. Kementerian Agama sebagai lembaga yang menaungi agama di negeri ini pun masuk dalam lingkaran hitam korupsi.

Masih segar dalam ingatan kita peristiwa meninggalnya RI akibat pemerkosaan oleh ayah kandungnya sendiri. Selanjutnya kasus penyalahgunaan narkoba oleh seorang public figure, Raffi Ahmad beserta kawan-kawannya. Kemudian pristiwa terbunuhnya satu keluarga di Madiun pada Januari 2013 lalu. Diikuti pula dengan semakin terkuaknya skandal korupsi dikalangan elite pemerintah. Semua itu hanya sebagian kecil dari kriminalitas yang terjadi di Indonesia. Jika hal tersebut terus berkelanjutan, masih bisakah bangsa kita disebut sebagai bangsa yang beragama?

Masih maraknya kriminalitas di kalangan masyarakat yang beragama ini, hanya menunjukkan pemaknaan yang masih sempit terhadap agama. Kesolehan hanya diberikan kepada mereka yang rajin berangkat ketempat peribadatan atau pada mereka yang nampak tidak pernah absen menjalankan ibadah wajibnya. Padahal bentuk kesolehan ritual itu jelas tidak bermakna tanpa implementasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Meskipun itu nampaknya lebih baik daripada hanya mencantumkan agama pada KTP.

Disfungsi Agama

Agama yang sering digambarkan dalam bentuk ritualitas harusnya bisa membawa efek pada kehidupan sosial. Prof Dr H Jalaluddin, dalam bukunya, Psikologi Agama memaparkan bahwa fungsi agama diantaranya adalah sebagai kontrol sosial. Maksudnya, ajaran agama membentuk penganutnya makin peka terhadap masalah-masalah sosial seperti, kemaksiatan, kemiskinan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Kepekaan ini juga mendorong untuk tidak bisa berdiam diri menyaksikan kebatilan yang merasuki kehidupan masyarakat.

Mencermati masyarakat kita, nampaknya agama selama ini telah mengalami disfungsi. Diakui ataupun tidak hal tersebut selama ini menjadi problem bangsa. Dari kemaksiatan, kemiskinan, keadilan, kesejahteraan, dan problem kemanusiaan semuanya tidak pernah satupun tertinggal dalam pemberitaan media.

Selain itu, agama juga berfungsi memupuk rasa solidaritas. Bila fungsi solidaritas ini dibangun secara serius dan tulus, maka persaudaraan yang kokoh akan berdiri tegak menjadi pilar civil society (masyarakat sipil) yang memukau. Inilah sepertinya yang ditinggalkan bangsa Indonesia, sehingga mengakibatkan negara semakin semrawut dalam tatanan kehidupan. Solidaritas bangsa seperti tak ada nilainya lagi, karena semua orang mengejar kepentingannya masing-masing. Keegoisan dengan bebas diumbar dimana-mana, tanpa mempedulikan manusia lain disekitarnya.

Jika memang Indonesia adalah negara yang percaya adanya Tuhan, seharusnya bukan seperti ini keadaannya sekarang. Swedia saja yang menurut survei Euro Barometer, 235 persen penduduknya adalah atheis, bisa mendapatkan peringkat ketiga negera terbersih dari korupsi menurut survei Transparansi Internasional edisi 2011, dari 182 negara. Lalu, kenapa Indonesia yang 100 persen penduduknya beragama (dilihat dari KTP yang dimiliki) malah mendapatkan peringkat ke seratus?

Sekarang, antara tingkat religius dengan tingkat kriminalitas seakan menunjukkan integrasi yang kuat, padahal dalam kitab agama manapun, keduanya jelas merupakan hal yang berlawanan. Dari sini nampak ada yang salah dari cara kita menjalankan sistem keagamaan selama ini. Jika cara kita sudah benar, tentu kekacauan demi kekacauan tidak akan terjadi, karena pada dasarnya agama adalah penangkal dari kerusakan-kerusakan yang ada.

Mengamati kehidupan dalam masyarakat dewasa ini, terjadi ketidakseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia. Kebanyakan orang di negeri ini terlalu fokus pada hubungannya dengan Tuhan tanpa memperhatikan hubungan dengan sesama manusia. Padahal, dalam menjalankan agama kedua hal tersebut harusnya bisa berjalan beriringan, dan tidak ada yang ditinggalkan. Inilah hal yang harus menjadi bahan refleksi dan introspeksi diri kita sebagai bangsa yang beragama. Setidaknya itu bisa menumbuhkan kesadaran diri paling dasar dari dalam jiwa kita.

Agama bukan memerintahkan untuk tekun beribadah ritual saja, tetapi agama juga mengatur dan memerintahkan hubungan yang baik antar sesama manusia. Menghargai setiap hak orang yang hidup di dunia, sebagai usaha untuk memanusaikan manusia. Dengan begitu agama dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu menghapuskan segala bentuk kedzoliman tidak hanya di negeri kita tetapi di muka bumi ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar