Mengutip sila pertama ideologi
bangsa, Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, sangat jelas menunjukkan
bahwa Indonesia bukanlah negara atheis tetapi negara yang mempercayai
adanya Tuhan. Penjelasan lebih konkritnya terdapat pada butir pertama Pancasila
yaitu, percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Esensi dari bangsa yang
beragama prinsipnya adalah bangsa yang mematuhi perintah dan menjauhi
larangan menurut agama yang dianutnya. Agama bukan hanya suatu identitas
yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau tanda pengenal
lainnya. Mengakuinya hanya untuk kepentingan memenuhi persyaratan
administrasi di Indonesia jelas bukan hal yang benar. Namun, jika melihat
kondisi bangsa Indonesia sekarang ini, seakan esensi dari beragama itu
sudah tidak ada implementasinya.
Memang benar khutbah-khutbah
keagamaan masih sering diselenggarakan, do'a bersama kerap dikumandangkan,
perayaan hari besar tidak pernah ditinggalkan dan kegiatan-kegiatan
bernuansa religius masih pula memenuhi negeri ini. Namun bersama itu,
kriminalitas yang tidak berkemanusiaan juga terus meningkat. Mulai dari
kasus perampokan, pencuriaan, pemerkosaan, penganiayaan, bahkan sampai
pembunuhan tidak pernah absen dari liputan media masa. Ditambah lagi kasus
korupsi yang semakin menjadi-jadi di kalangan elite negara. Kementerian
Agama sebagai lembaga yang menaungi agama di negeri ini pun masuk dalam
lingkaran hitam korupsi.
Masih segar dalam ingatan kita
peristiwa meninggalnya RI akibat pemerkosaan oleh ayah kandungnya sendiri.
Selanjutnya kasus penyalahgunaan narkoba oleh seorang public figure, Raffi
Ahmad beserta kawan-kawannya. Kemudian pristiwa terbunuhnya satu keluarga
di Madiun pada Januari 2013 lalu. Diikuti pula dengan semakin terkuaknya
skandal korupsi dikalangan elite pemerintah. Semua itu hanya sebagian kecil
dari kriminalitas yang terjadi di Indonesia. Jika hal tersebut terus
berkelanjutan, masih bisakah bangsa kita disebut sebagai bangsa yang
beragama?
Masih maraknya kriminalitas di
kalangan masyarakat yang beragama ini, hanya menunjukkan pemaknaan yang
masih sempit terhadap agama. Kesolehan hanya diberikan kepada mereka yang
rajin berangkat ketempat peribadatan atau pada mereka yang nampak tidak
pernah absen menjalankan ibadah wajibnya. Padahal bentuk kesolehan ritual
itu jelas tidak bermakna tanpa implementasi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Meskipun itu nampaknya lebih baik daripada hanya
mencantumkan agama pada KTP.
Disfungsi Agama
Agama yang sering digambarkan
dalam bentuk ritualitas harusnya bisa membawa efek pada kehidupan sosial.
Prof Dr H Jalaluddin, dalam bukunya, Psikologi Agama memaparkan bahwa
fungsi agama diantaranya adalah sebagai kontrol sosial. Maksudnya, ajaran
agama membentuk penganutnya makin peka terhadap masalah-masalah sosial
seperti, kemaksiatan, kemiskinan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan.
Kepekaan ini juga mendorong untuk tidak bisa berdiam diri menyaksikan
kebatilan yang merasuki kehidupan masyarakat.
Mencermati masyarakat kita,
nampaknya agama selama ini telah mengalami disfungsi. Diakui ataupun tidak
hal tersebut selama ini menjadi problem bangsa. Dari kemaksiatan,
kemiskinan, keadilan, kesejahteraan, dan problem kemanusiaan semuanya tidak
pernah satupun tertinggal dalam pemberitaan media.
Selain itu, agama juga
berfungsi memupuk rasa solidaritas. Bila fungsi solidaritas ini dibangun
secara serius dan tulus, maka persaudaraan yang kokoh akan berdiri tegak
menjadi pilar civil society
(masyarakat sipil) yang memukau. Inilah sepertinya yang ditinggalkan bangsa
Indonesia, sehingga mengakibatkan negara semakin semrawut dalam tatanan
kehidupan. Solidaritas bangsa seperti tak ada nilainya lagi, karena semua
orang mengejar kepentingannya masing-masing. Keegoisan dengan bebas diumbar
dimana-mana, tanpa mempedulikan manusia lain disekitarnya.
Jika memang Indonesia adalah
negara yang percaya adanya Tuhan, seharusnya bukan seperti ini keadaannya
sekarang. Swedia saja yang menurut survei Euro Barometer, 235 persen
penduduknya adalah atheis, bisa mendapatkan peringkat ketiga negera
terbersih dari korupsi menurut survei Transparansi Internasional edisi
2011, dari 182 negara. Lalu, kenapa Indonesia yang 100 persen penduduknya
beragama (dilihat dari KTP yang dimiliki) malah mendapatkan peringkat ke
seratus?
Sekarang, antara tingkat
religius dengan tingkat kriminalitas seakan menunjukkan integrasi yang
kuat, padahal dalam kitab agama manapun, keduanya jelas merupakan hal yang
berlawanan. Dari sini nampak ada yang salah dari cara kita menjalankan
sistem keagamaan selama ini. Jika cara kita sudah benar, tentu kekacauan
demi kekacauan tidak akan terjadi, karena pada dasarnya agama adalah
penangkal dari kerusakan-kerusakan yang ada.
Mengamati kehidupan dalam
masyarakat dewasa ini, terjadi ketidakseimbangan antara hubungan manusia
dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia. Kebanyakan orang di
negeri ini terlalu fokus pada hubungannya dengan Tuhan tanpa memperhatikan
hubungan dengan sesama manusia. Padahal, dalam menjalankan agama kedua hal
tersebut harusnya bisa berjalan beriringan, dan tidak ada yang
ditinggalkan. Inilah hal yang harus menjadi bahan refleksi dan introspeksi
diri kita sebagai bangsa yang beragama. Setidaknya itu bisa menumbuhkan
kesadaran diri paling dasar dari dalam jiwa kita.
Agama bukan memerintahkan
untuk tekun beribadah ritual saja, tetapi agama juga mengatur dan
memerintahkan hubungan yang baik antar sesama manusia. Menghargai setiap
hak orang yang hidup di dunia, sebagai usaha untuk memanusaikan manusia.
Dengan begitu agama dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu
menghapuskan segala bentuk kedzoliman tidak hanya di negeri kita tetapi di
muka bumi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar