Sabtu, 02 Maret 2013

Sejatinya Bukan Presiden Parpol


Sejatinya Bukan Presiden Parpol
Soetjipto ;  Anggota Dewan Kehormatan Daerah PWI Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 01 Maret 2013


DALAM diskusi interaktif antara pengasuh dan pemirsa, baru-baru ini salah satu stasiun televisi di Semarang menurunkan tema ''Presiden RI atau presiden parpol?'' Tema itu agaknya ditujukan kepada kesibukan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dalam menangani dinamika Partai Demokrat (PD) belakangan ini. Yudhoyono memang banyak dikritik oleh berbagai kalangan terkait keterlibatannya dalam urusan partai yang didirikan. Setiba dari umrah beberapa waktu lalu, SBY mengumpulkan petinggi Demokrat di kediamannya, Cikeas. Di situ selaku ketua majelis tinggi partai ia menyatakan mengambilalih kendali partai dari tangan Anas Urbaningrium kendati tetap ketua umum. Sebelum itu selagi masih di Tanah Suci SBY juga sibuk berkirim SMS kepada sejumlah kader Demokrat dalam rangka konsolidasi.

Jauh sebelum itu, banyak waktu, tenaga, dan pikiran SBY tercurah untuk kepentingan partainya. Agaknya, keterlibatan dia dalam urusan partai  belum akan surut, terlebih setelah Anas resmi menyatakan mundur  dari jabatan ketua umum menyusul keputusan KPK menetapkannya sebagai tersangka korupsi proyek Hambalang. 

Apalagi dalam pidato pengunduran diri, Anas berkesan menebar sejumlah ancaman.  Ibarat buku, katanya, pengunduran diri itu baru halaman pertama. Akan ada halaman-halaman berikutnya yang kelak dapat dibaca bersama, kata dia waktu itu. 
Sebagai mantan ketua umum partai, boleh jadi Anas memiliki banyak informasi dan data penting tentang berbagai persoalan besar yang belum jelas bagi publik. Seperti kasus Bank Century, dan tentu masih banyak lagi. Publik menunggu, isi halaman-halaman lain buku Anas.

Seabrek kegiatannya di  partai tentu sangat kontras dengan imbauan SBY selaku presiden  kepada para menteri anggota kabinet, yang mengingatkan para menteri tetap fokus pada tugas-tugas kenegaraan meminta meski Pemilu 2014 sudah dekat.

Dalam kapasitas sebagai ketua dewan kehormatan, ketua majelis tinggi, ketua dewan pembina, dan ketua dewan pengawas partai, SBY memang harus berbuat untuk kepentingan partainya. Apalagi dia penggagas dan pendiri. Tetapi untuk itu tentu diperlukan tenaga, pikiran, dan waktu yang tidak sedikit. Langkah-langkah yang diambil akhir-akhir ini disebutnya untuk, penataan dan penertiban partai. 

SBY juga bukannya tidak tahu ada kritik seperti itu. Dia menjelaskan, untuk tidak menyebut  membela diri, tetap fokus pada tugas-tugas kenegaraan. Bahwa seorang presiden mengurus partai dikatakan, beberapa presiden sebelumnya juga begitu. Memang Pak Harto ketika  menjadi presiden, menjabat ketua Dewan Pembina (Partai) Golkar. Beberapa yang lain malah menjadi ketua umum, seperti  Gus Dur dan Megawati. Sampai di sini SBY betul. Tetapi tidak semua presiden RI menjadi pengurus/ memegang jabatan struktural partai.

Bung Karno adalah pendiri partai (Partai Nasional Indonesia/ PNI), sekaligus penggali dan perumus ideologi yang dijadikan dasar partai itu, marhaenisme. Tetapi ketika menjadi presiden, ia tidak memegang jabatan struktural apa pun di partainya. Dia memang ìBapak Marhaenismeî tetapi gelar itu pun bukan atas permintaannya.  Gelar itu diberikan oleh DPP PNI sebagai realisasi dari keputusan kongres partai tahun 1963. Bung Karno bahkan tidak jarang mengritik fungsionaris partai jika melakukan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan jiwa dan semangat marhaenisme.

Demi Rakyat

Seorang presiden menjadi pengurus atau fungsionaris partai memang boleh dan sah-sah saja karena tak ada undang-undang yang melarang. Tetapi bukan persoalan boleh atau tidak. Kalau persoalan presiden menjadi fungsionaris partai ini dipercakapkan oleh banyak orang, itu semata-mata terkait dengan tugas dan tanggung jawab yang sangat besar. 

Presiden adalah kepala negara, kepala pemerintahan, panglima tertinggi ABRI sehingga  tugas dan tanggung jawabnya sangat berat. Perlu waktu, tenaga, dan pikiran yang cukup, ekstrakeras, dan terus-menerus. Semua semata-mata demi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Bila perlu hari Minggu pun harus tetap bekerja keras demi kepentingan rakyat. 
Sesungguhnya setelah secara definitif seseorang terpilih menjadi presiden, dia bukan lagi hanya milik partai tersebut tapi milik rakyat Indonesia. Bagi parpol pengusung, anggap saja, sedang menghibahkan kader terbaiknya kepada bangsa dan negara. Seandainya ada hubungan antara presiden terpilih dan parpol itu sekadar bersifat historis atau ideologis, bukan organisatoris.

Menarik untuk dipertanyakan, bersediakah Aburizal Bakrie melepas jabatan ketua umum Partai Golkar bila kelak terpilih menjadi presiden? Pertanyaan yang sama bisa ditujukan kepada  Hatta Rajasa dengan PAN, atau Prabowo Subianto dengan Gerindra. Atau siapa pun yang nanti diusung oleh PDIP,  Perjuangan, Partai Demokrat, PPP, PKB, PKS, Partai Hanura, dan Partai Nasdem.      

Negeri ini memerlukan pemimpin yang sepenuh-penuhnya berpikir, berbuat, dan bekerja hanya demi rakyat, bangsa dan negara. Sebagai bangsa barangkali kita merasa telah banyak berbuat guna mengejar berbagai ketertinggalan dari bangsa lain. Tetapi kita harus mengakui  sesungguhnya masih banyak yang harus dikerjakan dan perjuangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar