DALAM diskusi interaktif antara pengasuh dan pemirsa,
baru-baru ini salah satu stasiun televisi di Semarang menurunkan tema
''Presiden RI atau presiden parpol?'' Tema itu agaknya ditujukan kepada
kesibukan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dalam menangani dinamika
Partai Demokrat (PD) belakangan ini. Yudhoyono memang banyak dikritik oleh
berbagai kalangan terkait keterlibatannya dalam urusan partai yang
didirikan. Setiba dari umrah beberapa waktu lalu, SBY mengumpulkan petinggi
Demokrat di kediamannya, Cikeas. Di situ selaku ketua majelis tinggi partai
ia menyatakan mengambilalih kendali partai dari tangan Anas Urbaningrium
kendati tetap ketua umum. Sebelum itu selagi masih di Tanah Suci SBY juga
sibuk berkirim SMS kepada sejumlah kader Demokrat dalam rangka konsolidasi.
Jauh sebelum itu, banyak waktu, tenaga, dan pikiran SBY tercurah untuk
kepentingan partainya. Agaknya, keterlibatan dia dalam urusan partai
belum akan surut, terlebih setelah Anas resmi menyatakan mundur dari
jabatan ketua umum menyusul keputusan KPK menetapkannya sebagai tersangka
korupsi proyek Hambalang.
Apalagi dalam pidato pengunduran diri, Anas berkesan menebar sejumlah
ancaman. Ibarat buku, katanya, pengunduran diri itu baru halaman
pertama. Akan ada halaman-halaman berikutnya yang kelak dapat dibaca
bersama, kata dia waktu itu.
Sebagai mantan ketua umum partai, boleh jadi Anas memiliki banyak informasi
dan data penting tentang berbagai persoalan besar yang belum jelas bagi
publik. Seperti kasus Bank Century, dan tentu masih banyak lagi. Publik
menunggu, isi halaman-halaman lain buku Anas.
Seabrek kegiatannya di partai tentu sangat kontras dengan imbauan SBY
selaku presiden kepada para menteri anggota kabinet, yang
mengingatkan para menteri tetap fokus pada tugas-tugas kenegaraan meminta
meski Pemilu 2014 sudah dekat.
Dalam kapasitas sebagai ketua dewan kehormatan, ketua majelis tinggi, ketua
dewan pembina, dan ketua dewan pengawas partai, SBY memang harus berbuat
untuk kepentingan partainya. Apalagi dia penggagas dan pendiri. Tetapi
untuk itu tentu diperlukan tenaga, pikiran, dan waktu yang tidak sedikit.
Langkah-langkah yang diambil akhir-akhir ini disebutnya untuk, penataan dan
penertiban partai.
SBY juga bukannya tidak tahu ada kritik seperti itu. Dia menjelaskan, untuk
tidak menyebut membela diri, tetap fokus pada tugas-tugas kenegaraan.
Bahwa seorang presiden mengurus partai dikatakan, beberapa presiden
sebelumnya juga begitu. Memang Pak Harto ketika menjadi presiden,
menjabat ketua Dewan Pembina (Partai) Golkar. Beberapa yang lain malah
menjadi ketua umum, seperti Gus Dur dan Megawati. Sampai di sini SBY
betul. Tetapi tidak semua presiden RI menjadi pengurus/ memegang jabatan
struktural partai.
Bung Karno adalah pendiri partai (Partai Nasional Indonesia/ PNI),
sekaligus penggali dan perumus ideologi yang dijadikan dasar partai itu,
marhaenisme. Tetapi ketika menjadi presiden, ia tidak memegang jabatan
struktural apa pun di partainya. Dia memang ìBapak Marhaenismeî tetapi
gelar itu pun bukan atas permintaannya. Gelar itu diberikan oleh DPP
PNI sebagai realisasi dari keputusan kongres partai tahun 1963. Bung Karno
bahkan tidak jarang mengritik fungsionaris partai jika melakukan hal-hal
yang dianggap tidak sesuai dengan jiwa dan semangat marhaenisme.
Demi Rakyat
Seorang presiden menjadi pengurus atau fungsionaris partai memang boleh dan
sah-sah saja karena tak ada undang-undang yang melarang. Tetapi bukan
persoalan boleh atau tidak. Kalau persoalan presiden menjadi fungsionaris
partai ini dipercakapkan oleh banyak orang, itu semata-mata terkait dengan
tugas dan tanggung jawab yang sangat besar.
Presiden adalah kepala negara, kepala pemerintahan, panglima tertinggi ABRI
sehingga tugas dan tanggung jawabnya sangat berat. Perlu waktu,
tenaga, dan pikiran yang cukup, ekstrakeras, dan terus-menerus. Semua
semata-mata demi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Bila perlu hari
Minggu pun harus tetap bekerja keras demi kepentingan rakyat.
Sesungguhnya setelah secara definitif seseorang terpilih menjadi presiden,
dia bukan lagi hanya milik partai tersebut tapi milik rakyat Indonesia.
Bagi parpol pengusung, anggap saja, sedang menghibahkan kader terbaiknya
kepada bangsa dan negara. Seandainya ada hubungan antara presiden terpilih
dan parpol itu sekadar bersifat historis atau ideologis, bukan
organisatoris.
Menarik untuk dipertanyakan, bersediakah Aburizal Bakrie melepas jabatan
ketua umum Partai Golkar bila kelak terpilih menjadi presiden? Pertanyaan
yang sama bisa ditujukan kepada Hatta Rajasa dengan PAN, atau Prabowo
Subianto dengan Gerindra. Atau siapa pun yang nanti diusung oleh PDIP,
Perjuangan, Partai Demokrat, PPP, PKB, PKS, Partai Hanura, dan Partai
Nasdem.
Negeri ini memerlukan pemimpin yang sepenuh-penuhnya berpikir, berbuat, dan
bekerja hanya demi rakyat, bangsa dan negara. Sebagai bangsa barangkali
kita merasa telah banyak berbuat guna mengejar berbagai ketertinggalan dari
bangsa lain. Tetapi kita harus mengakui sesungguhnya masih banyak
yang harus dikerjakan dan perjuangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar