JENDERAL David Petraeus, bos CIA, punya 12 aturan yang dijadikan
panduan dalam kehidupan. Dalam buku biografinya yang ditulis Paula
Broadwell, All In: The Education of General
David Petraeus, aturan nomor lima jenderal tersebut berbunyi, "Kita semua membuat kesalahan-kesalahan.
Kuncinya adalah (kita) menyadari kesalahan-kesalahan itu dan mengakuinya,
belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut, serta melangkah lagi dan
berusaha tidak membuat kesalahan-kesalahan itu lagi."
Jenderal top itu tidak
asal omong. Saat terungkap skandal seksnya dengan penulis biografinya
tersebut pada November 2012, dia pun langsung mengajukan pengunduran diri
kepada Presiden Obama. Mantan panglima tertinggi AS di Iraq dan kemudian
Afghanistan itu mengatakan, antara lain, "Setelah menikah selama lebih dari
37 tahun, saya menunjukkan pikiran yang sangat buruk dengan melakukan
hubungan di luar nikah. Sikap demikian itu tidak bisa diterima, baik
sebagai seorang suami ataupun pemimpin sebuah organisasi (CIA, Red) kita
ini. Sore ini presiden dengan baik menerima pengunduran diri saya."
Tidak ada kata-kata bias
dalam pesannya itu. Juga tidak ada isyarat dari sang jenderal untuk
menyalahkan siapa pun atau main tuduh kepada orang-orang tertentu sebagai
orang-orang yang sengaja menjatuhkan dirinya. Sikap Petraeus adalah sikap
khas kekesatriaan (chivalry).
Kisah lain tentang
kekesatriaan seorang militer ditunjukkan oleh Randall Harold
Cunningham, veteran dan pahlawan perang Vietnam yang kemudian menjadi
anggota DPR AS sejak 1991 hingga 2005. Saat terbukti menerima suap USD 2,4
juta dari kontraktor pertahanan dan menggelapkan pajak, wakil rakyat
Republikan Negara Bagian California itu meminta maaf.
Sebelum
diadili, dia mengatakan telah membohongi keluarga, staf, kawan-kawan dan
koleganya, publik, serta diri sendiri. Veteran penyandang Purple Heart,
bintang penghargaan tertinggi militer AS, itu mengatakan, "Dalam hidup saya, saya telah
mengalami kegembiraan yang luar biasa dan penderitaan yang besar pula. Dan
sekarang saya menghadapi rasa malu yang besar. Tapi, saya belajar di
Vietnam bahwa ukuran sejati seorang laki-laki adalah bagaimana dia
menghadapi kesulitan. Saya tidak dapat mengubah apa yang telah saya
lakukan. Tetapi, saya dapat bertobat. Saya sekarang berusia hampir 66 tahun
dan saat saya memasuki masa senja kehidupan saya, saya akan berusaha
menggunakan sisa waktu yang diberikan Tuhan kepada saya untuk bertobat."
Di negeri lain
lagi, Korea Selatan, misalnya, pengakuan bersalah adalah etika dasar bagi
politikus, pemimpin, atau pejabat yang dinilai atau merasa bersalah dalam
tanggung jawabnya. Presiden Korsel Lee Myung-bak pada 24 Juli 2012 meminta
maaf kepada rakyatnya karena kakaknya ditangkap penegak hukum akibat
menerima suap. Sang presiden menyatakan, "Semua sebagai akibat ketidakmampuan saya. Saya akan menerima
segala akibatnya."
Ketinggian etik
juga dijunjung mantan presiden Korsel lainnya, Roh Moo-hyun, yang malah
bunuh diri saat sedang diselidiki dalam kasus korupsi. Dia terjun ke jurang
pada 23 Mei 2009. Dan pada era 1990-an Presiden Chun Doo-hwan serta
Presiden Roh Tae-woo, dua-duanya jenderal Angkatan Darat, juga meminta maaf
karena melakukan korupsi.
Beda benar
dengan di Indonesia. Ada banyak kasus di negeri ini yang menyangkut
pemimpin, baik sipil maupun militer. Tetapi, jarang terdengar ada pengakuan
kesalahan dari para pemimpin, yang menunjukkan tanggung jawabnya. Apa yang
sering terdengar adalah pernyataan-pernyataan yang tampak cenderung
menyalahkan orang lain.
Seorang tokoh
politik yang menjadi tersangka korupsi cenderung menyalahkan orang lain.
Dia berdalih hanya jadi korban, yang katanya memang tidak disukai sejak
lama. Sama sekali tidak ada isyarat yang menunjukkan pengakuan atas
kekurangan, kelemahan, atau kesalahan. Dia bahkan menuduh orang dekatnya
dalam partai menerima dana haram. Menurut laporan, saat wawancara dengan
stasiun-stasiun TV, sang tokoh itu juga terkesan sibuk melindungi diri
dengan memasang foto sesepuh keluarganya, tokoh terhormat. Orang-orang
dekat sang tokoh tersebut mengatakan, foto itu sengaja dipajang untuk
menunjukkan "siapa dia dan dari mana dia berakar". Oh, betapa
tragisnya.
Ketika puluhan
prajurit militer dari suatu kesatuan menyerbu sebuah kantor polres di
Sumatera Selatan sepekan lalu, pernyataan beberapa pemimpin juga kurang
menunjukkan sikap arif. Ada kesan lebih menyalahkan pihak lembaga yang
diserang. Apa yang ditekankan juga menunjukkan kesalahan para prajurit.
Padahal,
seperti dikatakan Napoleon Bonaparte, kaisar Prancis yang juga seorang
jenderal hebat, "Pas de soldats stupides, incompétents que le commandant (Tak ada prajurit yang bodoh. Yang ada adalah komandan yang tidak
kompeten)."
Ya, memang
tidak ada prajurit yang bodoh. Kalau dalam suatu tugas militer terjadi
ketidakberesan atau kegagalan, sang komandanlah yang bertanggung jawab. Mestinya
begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar