Jumat, 15 Maret 2013

Tidak Ada Prajurit yang Bodoh


Tidak Ada Prajurit yang Bodoh
Djoko Pitono  ;  Jurnalis dan Editor Buku
JAWA POS, 15 Maret 2013

  
JENDERAL David Petraeus, bos CIA, punya 12 aturan yang dijadikan panduan dalam kehidupan. Dalam buku biografinya yang ditulis Paula Broadwell, All In: The Education of General David Petraeus, aturan nomor lima jenderal tersebut berbunyi, "Kita semua membuat kesalahan-kesalahan. Kuncinya adalah (kita) menyadari kesalahan-kesalahan itu dan mengakuinya, belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut, serta melangkah lagi dan berusaha tidak membuat kesalahan-kesalahan itu lagi." 

Jenderal top itu tidak asal omong. Saat terungkap skandal seksnya dengan penulis biografinya tersebut pada November 2012, dia pun langsung mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Obama. Mantan panglima tertinggi AS di Iraq dan kemudian Afghanistan itu mengatakan, antara lain, "Setelah menikah selama lebih dari 37 tahun, saya menunjukkan pikiran yang sangat buruk dengan melakukan hubungan di luar nikah. Sikap demikian itu tidak bisa diterima, baik sebagai seorang suami ataupun pemimpin sebuah organisasi (CIA, Red) kita ini. Sore ini presiden dengan baik menerima pengunduran diri saya." 

Tidak ada kata-kata bias dalam pesannya itu. Juga tidak ada isyarat dari sang jenderal untuk menyalahkan siapa pun atau main tuduh kepada orang-orang tertentu sebagai orang-orang yang sengaja menjatuhkan dirinya. Sikap Petraeus adalah sikap khas kekesatriaan (chivalry). 

Kisah lain tentang kekesatriaan seorang militer ditunjukkan oleh Randall Harold Cunningham, veteran dan pahlawan perang Vietnam yang kemudian menjadi anggota DPR AS sejak 1991 hingga 2005. Saat terbukti menerima suap USD 2,4 juta dari kontraktor pertahanan dan menggelapkan pajak, wakil rakyat Republikan Negara Bagian California itu meminta maaf.

Sebelum diadili, dia mengatakan telah membohongi keluarga, staf, kawan-kawan dan koleganya, publik, serta diri sendiri. Veteran penyandang Purple Heart, bintang penghargaan tertinggi militer AS, itu mengatakan, "Dalam hidup saya, saya telah mengalami kegembiraan yang luar biasa dan penderitaan yang besar pula. Dan sekarang saya menghadapi rasa malu yang besar. Tapi, saya belajar di Vietnam bahwa ukuran sejati seorang laki-laki adalah bagaimana dia menghadapi kesulitan. Saya tidak dapat mengubah apa yang telah saya lakukan. Tetapi, saya dapat bertobat. Saya sekarang berusia hampir 66 tahun dan saat saya memasuki masa senja kehidupan saya, saya akan berusaha menggunakan sisa waktu yang diberikan Tuhan kepada saya untuk bertobat."

Di negeri lain lagi, Korea Selatan, misalnya, pengakuan bersalah adalah etika dasar bagi politikus, pemimpin, atau pejabat yang dinilai atau merasa bersalah dalam tanggung jawabnya. Presiden Korsel Lee Myung-bak pada 24 Juli 2012 meminta maaf kepada rakyatnya karena kakaknya ditangkap penegak hukum akibat menerima suap. Sang presiden menyatakan, "Semua sebagai akibat ketidakmampuan saya. Saya akan menerima segala akibatnya."

Ketinggian etik juga dijunjung mantan presiden Korsel lainnya, Roh Moo-hyun, yang malah bunuh diri saat sedang diselidiki dalam kasus korupsi. Dia terjun ke jurang pada 23 Mei 2009. Dan pada era 1990-an Presiden Chun Doo-hwan serta Presiden Roh Tae-woo, dua-duanya jenderal Angkatan Darat, juga meminta maaf karena melakukan korupsi.

Beda benar dengan di Indonesia. Ada banyak kasus di negeri ini yang menyangkut pemimpin, baik sipil maupun militer. Tetapi, jarang terdengar ada pengakuan kesalahan dari para pemimpin, yang menunjukkan tanggung jawabnya. Apa yang sering terdengar adalah pernyataan-pernyataan yang tampak cenderung menyalahkan orang lain. 

Seorang tokoh politik yang menjadi tersangka korupsi cenderung menyalahkan orang lain. Dia berdalih hanya jadi korban, yang katanya memang tidak disukai sejak lama. Sama sekali tidak ada isyarat yang menunjukkan pengakuan atas kekurangan, kelemahan, atau kesalahan. Dia bahkan menuduh orang dekatnya dalam partai menerima dana haram. Menurut laporan, saat wawancara dengan stasiun-stasiun TV, sang tokoh itu juga terkesan sibuk melindungi diri dengan memasang foto sesepuh keluarganya, tokoh terhormat. Orang-orang dekat sang tokoh tersebut mengatakan, foto itu sengaja dipajang untuk menunjukkan "siapa dia dan dari mana dia berakar". Oh, betapa tragisnya.

Ketika puluhan prajurit militer dari suatu kesatuan menyerbu sebuah kantor polres di Sumatera Selatan sepekan lalu, pernyataan beberapa pemimpin juga kurang menunjukkan sikap arif. Ada kesan lebih menyalahkan pihak lembaga yang diserang. Apa yang ditekankan juga menunjukkan kesalahan para prajurit.

Padahal, seperti dikatakan Napoleon Bonaparte, kaisar Prancis yang juga seorang jenderal hebat, "Pas de soldats stupides, incompétents que le commandant (Tak ada prajurit yang bodoh. Yang ada adalah komandan yang tidak kompeten)." 

Ya, memang tidak ada prajurit yang bodoh. Kalau dalam suatu tugas militer terjadi ketidakberesan atau kegagalan, sang komandanlah yang bertanggung jawab. Mestinya begitu. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar