Minggu, 03 Maret 2013

Teknologi Hujan Buatan


Teknologi Hujan Buatan
Asril  ;  PNS BPPT, Kepala Bidang Mitigasi Perubahan Iklim Kemenko Kesra
SUARA KARYA, 02 Maret 2013


Hujan buatan di Indonesia sudah dikembangkan sejak tahun 1978. Penerapan teknologi yang kini disebut TMC (Teknologi Modifikaksi Cuaca) dalam penanggulangan kebakaran hutan dimulai tahun 1997. Pada periode itu, hutan Indonesia mengalami kebakaran terburuk sepanjang catatan sejarah. Selain kerugian berupa kekayaan hayati, sosial dan ekonomi bernilai miliaran dolar AS, negara-negara tetangga juga menyampaikan protesnya karena asap dari kebakaran hutan di Indonesia telah menyelimuti kawasan lintas negara. Sejak itu, hujan buatan beberapa kali diterapkan untuk mengatasi kabut asap serta kebakaran lahan dan hutan (karlahut).

Meskipun tidak lagi sebesar kejadian di periode 1997/1998, namun karlahut selalu terjadi pada tiap musim kemarau. Tren kebakaran pada beberapa tahun terakhir tidak lagi didominasi oleh kebakaran di kawasan hutan. Kebakaran di kawasan lahan yang dalam peta kehutanan disebut sebagai kawasan APL (Area Penggunaan Lain) belakangan ini telah mendominasi (sekitar 70%) karlahut.

Penerapan hujan buatan khususnya mengatasi kabut asap dan karlahut, baru-baru ini dilakukan di beberapa wilayah Sumatera dan Kalimantan. Secara prinsip masih sama dengan teknologi yang digunakan tahun 1997. Bahkan, sesungguhnya teknologi penaburan bahan semai dalam kegiatan hujan buatan untuk penanggulangan asap maupun karlahut masih sama dengan teknologi yang digunakan sekitar 30 tahun lalu.

Bahan semai berupa bubuk garam yang sangat halus ditaburkan ke awan target melalui lubang yang ada di lantai pesawat penyemai. Penabur manusia merobek kantong plastik berisi bahan semai dengan pisau atau arit, kemudian menumpahkan bubuk garam ke corong di lantai pesawat. Dengan kata lain, penaburan bahan semai yang menggunakan teknologi CD (Cut and Dump Technology) ini nyaris tidak mengalami evolusi dalam kurun waktu sepertiga abad. Walau demikian, kegiatan hujan buatan sekarang ini telah didukung oleh peralatan canggih seperti radar, GPS dan komputer keluaran terbaru.

Penerapan hujan buatan dalam penanggulangan kabut asap dan karlahut mempunyai dampak yang luas. Hujan yang terjadi setelah awan disemai akan memadamkan api pada titik kebakaran serta akan 'mencuci' asap dari udara. Selain itu, terjadinya hujan akan meningkatkan kelembaban/kebasahan bahan bakar dan menurunkan suhu lingkungan sehingga menghambat penyebaran kebakaran dan memperkecil potensi terjadinya kebakaran baru.

Hanya saja, dari pengamatan di lapangan, sebagian masyarakat menyambut rencana dan pelaksanaan hujan buatan dengan melakukan pembakaran secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya. Hal itu dilakukan oleh masyarakat karena tidak ingin kehilangan momentum dalam menyambut masa tanam ketika musim hujan tiba.

Perubahan Iklim

Karlahut merupakan sumber utama emisi karbondioksida (CO2) di Indonesia. CO2 merupakan salah satu dari gas-gas rumah kaca (GRK) yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global hingga mengarah terjadinya perubahan iklim di bumi. 
Menggunakan data tahun 2005, emisi GRK Indonesia mencapai 2,1 Gt CO2e (Gigaton setara karbondioksida, 1 Gt = 1 miliar ton) di mana lebih dari dua per tiganya berasal dari sektor kehutanan, pertanian dan gambut. Gara-gara emisi GRK dari karlahut, Indonesia pernah 'ditempatkan' sebagai negara pengemisi GRK terbesar ketiga di dunia.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer bumi telah naik dari 278 ppm (parts-per-million) pada masa pra-industri menjadi 379 ppm pada tahun 2005 dan suhu udara rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 1 0.18 0C selama seratus tahun terakhir. Diproyeksikan pula bahwa sampai tahun 2100 suhu udara rata-rata global akan meningkat sebesar 1.1 - 6.40C bergantung pada skenario tingkat pengurangan GRK yang dijalankan.

Presiden SBY pada 2009 telah mengemukakan komitmen Indonesia pada dunia untuk melakukan pengurangan emisi GRK secara sukarela sebagai bentuk keikutsertaan dalam pengendalian perubahan iklim global. Dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN GRK), Indonesia menargetkan pengurangan emisi GRK sampai tahun 2020 dengan usaha sendiri sebesar 26% dari tingkat emisi BAU (business as usual), atau sebesar 0,767 Giga ton setara karbondioksida (Gt CO2e). Sekitar 89% dari target pengurangan emisi tersebut diharapkan berasal dari sektor kehutanan, gambut dan pertanian.

Keterlibatan hujan buatan dalam menanggulangi karlahut dalam sisi lain dapat dilihat dari sisi mitigasi perubahan iklim yaitu pengurangan emisi CO2. Untuk itu, pakar-pakar BPPT perlu melakukan perhitungan secara kuantitatif terkait besaran manfaat penerapan hujan buatan dalam mengurangi emisi GRK dari karlahut.

Penanggulangan kabut asap dan karlahut dengan hujan buatan sudah berlangsung sejak 15 tahun lalu. Hal itu membuktikan bahwa teknologi hujan buatan telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam penanggulangan kabut asap dan karlahut. Hal ini pantas menjadi kebanggaan bagi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai satu-satunya institusi yang memiliki teknologi hujan buatan. Teknologi hujan buatan telah menjadi bukti kontribusi BPPT untuk kehidupan masyarakat Indonesia dan dunia khususnya dalam aspek pengendalian emisi GRK.

Sebetulnya, sejak pertama diujicobakan, hujan buatan sudah terlibat dalam penanggulangan dampak fenomena iklim, yaitu untuk meningkatkan jumlah hujan agar reservoar air seperti waduk dan danau tidak kekurangan air. Agar hujan buatan lebih handal, barangkali perlu dilakukan pembaruan dan pengembangan pada teknologi penaburan bahan semai, yang merupakan teknologi inti dalam kegiatan penyemaian awan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar