Hujan buatan di Indonesia sudah dikembangkan sejak tahun
1978. Penerapan teknologi yang kini disebut TMC (Teknologi Modifikaksi
Cuaca) dalam penanggulangan kebakaran hutan dimulai tahun 1997. Pada
periode itu, hutan Indonesia mengalami kebakaran terburuk sepanjang catatan
sejarah. Selain kerugian berupa kekayaan hayati, sosial dan ekonomi
bernilai miliaran dolar AS, negara-negara tetangga juga menyampaikan
protesnya karena asap dari kebakaran hutan di Indonesia telah menyelimuti
kawasan lintas negara. Sejak itu, hujan buatan beberapa kali diterapkan untuk
mengatasi kabut asap serta kebakaran lahan dan hutan (karlahut).
Meskipun tidak lagi sebesar
kejadian di periode 1997/1998, namun karlahut selalu terjadi pada tiap
musim kemarau. Tren kebakaran pada beberapa tahun terakhir tidak lagi
didominasi oleh kebakaran di kawasan hutan. Kebakaran di kawasan lahan yang
dalam peta kehutanan disebut sebagai kawasan APL (Area Penggunaan Lain)
belakangan ini telah mendominasi (sekitar 70%) karlahut.
Penerapan hujan buatan
khususnya mengatasi kabut asap dan karlahut, baru-baru ini dilakukan di
beberapa wilayah Sumatera dan Kalimantan. Secara prinsip masih sama dengan
teknologi yang digunakan tahun 1997. Bahkan, sesungguhnya teknologi
penaburan bahan semai dalam kegiatan hujan buatan untuk penanggulangan asap
maupun karlahut masih sama dengan teknologi yang digunakan sekitar 30 tahun
lalu.
Bahan semai berupa bubuk garam
yang sangat halus ditaburkan ke awan target melalui lubang yang ada di
lantai pesawat penyemai. Penabur manusia merobek kantong plastik berisi
bahan semai dengan pisau atau arit, kemudian menumpahkan bubuk garam ke
corong di lantai pesawat. Dengan kata lain, penaburan bahan semai yang
menggunakan teknologi CD (Cut and
Dump Technology) ini nyaris tidak mengalami evolusi dalam kurun waktu
sepertiga abad. Walau demikian, kegiatan hujan buatan sekarang ini telah
didukung oleh peralatan canggih seperti radar, GPS dan komputer keluaran
terbaru.
Penerapan hujan buatan dalam
penanggulangan kabut asap dan karlahut mempunyai dampak yang luas. Hujan
yang terjadi setelah awan disemai akan memadamkan api pada titik kebakaran
serta akan 'mencuci' asap dari udara. Selain itu, terjadinya hujan akan
meningkatkan kelembaban/kebasahan bahan bakar dan menurunkan suhu
lingkungan sehingga menghambat penyebaran kebakaran dan memperkecil potensi
terjadinya kebakaran baru.
Hanya saja, dari pengamatan di
lapangan, sebagian masyarakat menyambut rencana dan pelaksanaan hujan
buatan dengan melakukan pembakaran secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya.
Hal itu dilakukan oleh masyarakat karena tidak ingin kehilangan momentum
dalam menyambut masa tanam ketika musim hujan tiba.
Perubahan Iklim
Karlahut merupakan sumber
utama emisi karbondioksida (CO2) di Indonesia. CO2 merupakan salah satu
dari gas-gas rumah kaca (GRK) yang menjadi penyebab utama terjadinya
pemanasan global hingga mengarah terjadinya perubahan iklim di bumi.
Menggunakan data tahun 2005, emisi GRK Indonesia mencapai 2,1 Gt CO2e
(Gigaton setara karbondioksida, 1 Gt = 1 miliar ton) di mana lebih dari dua
per tiganya berasal dari sektor kehutanan, pertanian dan gambut. Gara-gara
emisi GRK dari karlahut, Indonesia pernah 'ditempatkan' sebagai negara
pengemisi GRK terbesar ketiga di dunia.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer bumi
telah naik dari 278 ppm (parts-per-million) pada masa pra-industri menjadi
379 ppm pada tahun 2005 dan suhu udara rata-rata global pada permukaan bumi
telah meningkat 0.74 1 0.18 0C selama seratus tahun terakhir. Diproyeksikan
pula bahwa sampai tahun 2100 suhu udara rata-rata global akan meningkat
sebesar 1.1 - 6.40C bergantung pada skenario tingkat pengurangan GRK yang
dijalankan.
Presiden SBY pada 2009 telah
mengemukakan komitmen Indonesia pada dunia untuk melakukan pengurangan
emisi GRK secara sukarela sebagai bentuk keikutsertaan dalam pengendalian
perubahan iklim global. Dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK
(RAN GRK), Indonesia menargetkan pengurangan emisi GRK sampai tahun 2020
dengan usaha sendiri sebesar 26% dari tingkat emisi BAU (business as
usual), atau sebesar 0,767 Giga ton setara karbondioksida (Gt CO2e).
Sekitar 89% dari target pengurangan emisi tersebut diharapkan berasal dari
sektor kehutanan, gambut dan pertanian.
Keterlibatan hujan buatan
dalam menanggulangi karlahut dalam sisi lain dapat dilihat dari sisi
mitigasi perubahan iklim yaitu pengurangan emisi CO2. Untuk itu,
pakar-pakar BPPT perlu melakukan perhitungan secara kuantitatif terkait
besaran manfaat penerapan hujan buatan dalam mengurangi emisi GRK dari
karlahut.
Penanggulangan kabut asap dan
karlahut dengan hujan buatan sudah berlangsung sejak 15 tahun lalu. Hal itu
membuktikan bahwa teknologi hujan buatan telah menjadi bagian tak
terpisahkan dalam penanggulangan kabut asap dan karlahut. Hal ini pantas
menjadi kebanggaan bagi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
sebagai satu-satunya institusi yang memiliki teknologi hujan buatan.
Teknologi hujan buatan telah menjadi bukti kontribusi BPPT untuk kehidupan
masyarakat Indonesia dan dunia khususnya dalam aspek pengendalian emisi
GRK.
Sebetulnya, sejak pertama
diujicobakan, hujan buatan sudah terlibat dalam penanggulangan dampak
fenomena iklim, yaitu untuk meningkatkan jumlah hujan agar reservoar air seperti waduk dan
danau tidak kekurangan air. Agar hujan buatan lebih handal, barangkali
perlu dilakukan pembaruan dan pengembangan pada teknologi penaburan bahan
semai, yang merupakan teknologi inti dalam kegiatan penyemaian awan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar