Keberangkatan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menuju KTT RIO+20 di Kota Rio de Janeiro, Brasil,
tahun lalu boleh jadi diiringi dengan sikap sedikit membusungkan dada. Di
sana Presiden memberikan pandangannya terkait langkah strategis dan
kontribusi Indonesia terhadap pembangunan dan ekonomi hijau berkelanjutan,
di mana beliau menekankan bahwa aspek krusial untuk mendukung itu semua
adalah komitmen politik dan tindakan nyata yang dilakukan.
Pasalnya, sebelum bertolak ke
Amerika Latin, Presiden bersama pemerintah telah terlebih dahulu
menggulirkan proyek Mobil Emisi Karbon Rendah (Low Emission Carbon Project/LECP) yang merupakan proyeksi
pemerintah terkait pembangunan transportasi hijau berkelanjutan. Untuk
mendukung hal tersebut, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan dan aturan
mengenai Low Cost Green Car
(LCGC), sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
76/PMK.011/2012.
Dalam peraturan tersebut,
pemerintah memang memberikan insentif kepada industri otomotif yang
mengedepankan aspek ramah lingkungan, termasuk mobil hybrida.
Sebagai
langkah awal, pemerintah memperbolehkan pengimpor yang merupakan Agen
Tunggal Pemegang Merk (ATPM) untuk mengimpor mobil secara utuh (Completely
Built Up/CBU) yang berteknologi ramah lingkungan selama dua tahun. Selain
itu, kebijakan tersebut juga memberikan keleluasaan bagi ATPM, karena
terhitung sejak tanggal 21 Juni 2012, pemerintah membebaskan bea masuk
impor komponen dan mesin mobil.
Setelah dua tahun, barulah
ATPM diwajibkan untuk melakukan perakitan mobil ramah lingkungan di
Indonesia. Bahkan, pemerintah mewajibkan ATPM untuk menggunakan pasokan
komponen lokal dari industri dalam negeri yang selanjutnya ditargetkan
penggunaannya mencapai 80-90 persen.
Pemerintah sendiri mengklaim
bahwa dengan proyek LECP ini mampu memberikan dampak dan manfaat yang besar
bagi masyarakat Indonesia, seperti penurunan penggunaan BBM yang berimbas
kepada menurunnya jumlah subsidi BBM yang di anggarkan oleh pemerintah.
Lalu, pemerintah juga mengklaim akan terciptanya lapangan pekerjaan baru
karena akan terbukanya pabrik-pabrik baru untuk perkaitan mobil ramah
lingkungan atau komponen-komponennya. Dan, yang paling utama adalah
pemerintah mampu berkontribusi dalam pembangunan hijau berkelanjutan.
Presiden SBY pun sangat
tertarik dengan mobil hybrida karena dianggap mempunyai nilai lebih
ketimbang mobil konvensional hingga menginstruksikan kepada Menteri
Perindustrian untuk memberi intensif kepada mobil ramah lingkungan
tersebut. Hasilnya, proyek LECP dan kebijakan baru PMK yang kemudian
diterbitkan. Pemerintah bahkan berencana mengganti semua mobil dinas
menteri KIB dari mobil konvensional menjadi mobil Hybrid yang ramah
linkungan dan lebih murah.Sebagai perbandingan, saat ini mobil dinas
menteri Indonesia menggunakan Toyota Crown Royal Saloon yang dibanderol
dengan harga Rp 1,3 miliar. Dan, harga tersebut lebih mahal ketimbang mobil
hybrid Toyota Camry Hybrid yang dibanderol Rp 635 juta.
Perlu diketahui, sejatinya selama
ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah berhasil mengembangkan
dan menciptakan teknologi Mobil hybrida. Meski masih sebatas prototype,
tetapi mobil ciptaan LIPI berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh menjadi
mobil hybrida pasaran pada umumnya. Hanya
saja terdapat kelemahan yang menghambat mobil ciptaan LIPI tersebut, yakni
harga yang masih sangat mahal dimana dipatok mencapai Rp 350 juta/unit.
Selain itu, LIPI juga berhasil
menciptakan alat yang dapat mengkonversi mobil konvensional menjadi mobil
bertenaga listrik. Biaya yang diperlukan untuk melakukan perubahan tersebut
mencapai Rp 160 juta, mencakup alat konversi temuan LIPI. Tentunya, harga
yang ditawarkan oleh LIPI lebih murah ketimbang produsen merk besar mobil
hybrida pada umumnya. Oleh karenanya, mengkonversi mobil dinas konvensional
yang sudah ada menjadi mobil listrik dengan menggunakan alat temuan LIPI
dirasa lebih masuk akal dan lebih diterima ketimbang menggantinya dengan
mobil hybrida yang baru.
Mengingat selain harga yang
lebih murah, selain itu bisa lebih bangga dengan menggunakan produk
Indonesia. Jika saja pemerintah pemerintah memang memiliki master plan
dalam pembangunan transportasi hijau berkelanjutan yang mampu meminimalisir
penggunaan dan ketergantungan akan BBM dan bahan bakar fosil lainnya,
menurunkan emisi gas karbon dan diversifikasi energi. Seharusnya pemerintah
tidak hanya terpaku pada satu cara melalui penggalakan menggunakan mobil
hybrida perorangan, karena justru masalah baru akan muncul seperti masalah
kepadatan jumlah kendaraan bahkan hingga kemacetan.
Alternatif lain seperti moda
transportasi umum masyarakat juga perlu dikonversi menjadi lebih ramah
lingkungan. Semoga dengan pemberian keleluasaan kepada produk merk luar
untuk menggarap industri otomotif ramah lingkungan di dalam negeri, mampu
memberikan kontribusi seperti transfer teknologi. Sehingga, ke depannya
akan bisa diadopsi oleh anak-anak bangsa sehingga mampu mengembangkan
industri otomotif Tanah Air yang kompetitif. Sebagaimana wacana pemerintah
untuk memproduksi secara massal bis ramah lingkungan ciptaan LIPI tahun
2013 mendatang.
Dhus, pemerintah tak perlu
lagi menganggarkan pendanaan yang sangat besar untuk subsidi yang kurang
tepat seperti BBM, dan alokasi tersebut dapat dianggarkan untuk kebutuhan
lainnya dalam menghadapi resesi perekonomian global. Karena, pada Pertemuan
G20 di Meksiko sebelumnya Presiden SBY mendapat cibiran dari negara-negara
peserta terkait kebijakan subsidi di Indonesia yang dinilai kurang tepat,
salah satunya subsidi BBM. Transportasi ramah lingkungan yang aman, nyaman
dan murah tentunya menjadi dambaan setiap masyarakat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar