Menanggungjawabi adalah sebuah tindakan
berani untuk memikul risiko akibat baik maupun buruk pilihan tindakan
(moral) dari subjek pelaku itu sendiri.
Ciri khas
tanggung jawab adalah tidak lari atau melemparkan ke orang lain begitu tahu
berakibat merugikan dan mengancam keselamatan dirinya. Berikutnya berciri
tidak menyalahkan keadaan, alam sekitar di luar dirinya karena ia sadar
sebagai pelaku yang punya otonomi nurani dan budi dewasa.
Yang terakhir,
pribadi yang bertanggung jawab adalah tidak mengambinghitam-kan orang lain
sebagai yang disalahkan serta tidak lempar-melempar tanggung jawab atau
“cuci tangan” untuk mengatakan bersih dari tuntutan bertanggung jawab.
Contoh sejarah yang masyhur dalam hal ini adalah Pontius Pilatus sebagai
yang mempunyai tanggung jawab bisa melepas atau menghukum Yesus, tetapi akhirnya tidak
berani menanggungjawabi ketika massa memilih Barabbas sebagai yang
dibebaskan, padahal ia tahu Yesus tak bersalah.
Apalagi Pilatus akhirnya mencuci tangannya
karena ingin tampil bersih seakan penuh tanggung jawab, tetapi sebenarnya
lepas tangan dan lepas tanggung jawab. Bertanggung jawab sebagai mentalitas
merupakan proses panjang pendidikan moral pada orang sejak masih bayi, remaja
sampai dewasa yang butuh “kognisi” dan “pembatinan” apa yang baik (etis),
apa yang benar (pengetahuan dan ilmu), yang suci (religiositas sebagai inti
religi) serta yang indah (estetis) dari kehidupan.
Ranah
pendidikan yang hanya memberikan kognisi belaka akan menjadi banyak orang
“tahu” dan berpengetahuan tentang hal baik, tetapi hanya di otak dan
dihafalkan serta tidak mempraktikkannya dalam praksis tindakan. Maka untuk
menjembatani jarak atau “jurang lebar” ini diproseslah internalisasi, yaitu
membatinkan sampai menjadi sikap dan darah daging dalam proses pendidikan
mulai yang mengajak live in,
penghayatan langsung dalam hidup nyata itu sendiri disertai contoh-contoh
keteladanan figur-figur orang di sekitarnya.
Seorang
pendidik yang praktik soal ini menamai proses penyadaran itu berlangsung
dengan “aksi” lalu merefleksi dan kemudian aksi lagi. Proses pembatinan
kebaikan dan nilai dilakukan terus dengan “konsientasi” sebagai menyadari
itu bukanlah mengetahui tentang yang baik (sebagai pengetahuan kognitif),
tetapi memasukkan ke keheningan budi dan nurani hingga masuk meresap dan
“menancap” dalam kesadaran seseorang.
Proses
konsientasi ini didalami dan didarahdagingkan melalui medium pokok relasi
antarmanusia, yaitu “komunikasi bahasa”, inilah isi pokok pandangan Paulo Freire.
Freire melihat bahasa pengaksaraan sebagai tindakan “menamai realitas”.
Alfabetisasi adalah kodrat manusia untuk memuliakan hidup sebagai “baik”
dan “benar” dengan membuat kalimat logis (benar nalar) dan baik (pujian
syukur) atas hidup di sekitarnya, atas apa-apa yang ada di sekelilingnya.
Mengapa? Karena
manusia adalah makhluk pemberi makna atau homo significans. Konsekuensinya dari budi yang jernih dan hati
yang baik, si orang akan berkata baik, tulus, dan berbahasa benar serta
tidak bohong. Freire menaruh penamaan tanggung jawab manusia sejak ia
belajar mencintai hidup dengan berbahasa.
Para ibulah
pendidik relasi bertanggung jawab antara ibu yang melahirkan dan anak yang
dilahirkan dan diantarkan untuk memahami dan mencintai lingkungan sekitar
dengan aksara: mama, ibu, bunda. Relasi yang saling merengkuh dan saling
bertanggung jawab ini secara tulus diungkap dengan bahasa tulus, kata-kata
jujur, dan terus dikembangkan sampai ibu bahasa pun nantinya mendidik lawan
kontrasnya, yaitu “kata-kata kotor,
bohong, dan culas” yang tidak bertanggung jawab.
Maka dari itu,
herankah kita pada salah satu praksis waktu internalisasi tentang tanggung
jawab semasa anakanak di kultur kita? Bila anak tersandung batu kemudian
ibu kita demi agar anak berhenti menangis lalu memukul- mukul batu yang
membuat tersandung, ini berarti yang disalahkan adalah “batu” dan bukan
mendidik anak untuk hati-hati dan bertanggung jawab dalam berjalan agar
tidak tersandung!
Penjelasan psikologis
sosial dan sosiologis bisa masuk akal menurut F Tonnies yang membagi adanya
masyarakat kolektivis (kerumunan dan gerombolan untuk yang senang
beramai-ramai bersama) dan masyarakat individu yang menaruh pribadi sendiri
sebagai pelaku penanggung jawab tindakannya.
Lihat
tawuran-tawuran sebagai fenomena gerombolan berani ramai-ramai, tetapi bila
sendiri lain soalnya. Garis bawah tanggung jawab komunal bersama yang
terlalu ditanamkan hingga keberanian menanggungjawabi sendiri tidak tumbuh
juga ditunjuk oleh peta adanya masyarakat kekerabatan komunal, yaitu
gemeinschaft dan masyarakat gessellschaft
atau society.
Yang satu
komunalis dan yang kedua itu masyarakat yang terbentuk oleh rasionalitas,
diwujudkan menjadi bertemu diikat oleh kontrak atau konvensi rasional. Yang
jadi perhatian pokok kita adalah tanggung jawab pribadi dalam masyarakat
dan tanggung jawab komunal dalam kekerabatan di mana pribadi yang jadi
kepalanya itu merupakan yang di-tua-kan oleh komunitasnya.
Apakah latar
budaya nilai berjenjang komunal yang dituakan menjadi penjelasan yang
memadai untuk menunjuk susahnya tanggung jawab sendiri? Jawaban pertama,
kembali ke ranah edukasi tentang manusia pelaku hidup dan penanggung jawab
tindakan-tindakannya oleh pembatinan kesadaran moral bertanggung jawab dan
mau mengorbankan diri untuk nilai ini beserta keberanian menanggung
risikonya, apakah ini berproses ada atau tidak?
Mochtar Lubis
almarhum dalam novel Harimau-Harimau (1970-an)
sudah memaparkan dalam bahasa novel kunci kedewasaan bangsa ini terletak
pada mau tidaknya kita berubah dari gerombolan menjadi keberanian
mengarungi hidup dengan tanggung jawab pribadi. Bila tidak kita akan
menjadi gerombolan terus-menerus yang akhirnya akan dimakan harimau
keangkaraan diri kita sendiri yang butuh kita bunuh.
Tidak
kurang-kurangnya bahasa kebijaksanaan laku hidup sudah dirangkum “selalu
aktual”, tidak lekang oleh panas atau hancur oleh hujan dalam ajaran
pepatah atau peribahasa mendidikdiridikenyataannyata sehari-hari bahwa
tidak baiklah cara-cara dan sikap-sikap mental “lempar batu sembunyi
tangan”, artinya licik pengecut tidak berani bertanggung jawab secara
publik.
Sudah dari
ketulusan motivasi nurani dan hati, diujilah dalam hening pertimbangan awas
lho Anda bisa-bisa punya kelicikan kepentingan gelap, yaitu “ada udang di balik batu”. Atau pula
memukul seseorang dengan meminjam tangan orang lain, nabok nyilih tangan, sehingga ketika seseorang berani
bertanggung jawab dari manusia Nusantara lalu menjadi manusia Indonesia
yang memiliki prinsip acuan hidup, yaitu “berani karena benar dan takut karena salah”.
Maka inilah
kunci local wisdom yang menjadi national wisdom, bahkan kini
seharusnya menjadi inti keberanian untuk menanggungjawabi tiap tindakan
kita lantaran itulah life wisdom,
sebuah kebijaksanaan hidup. Semoga dalam politik yang saling berebut kuasa
karena tiadanya moral tanggung jawab dan dalam ekonomi yang mengejar harta
sendiri tanpa peduli sesama, kita diingatkan ajaran hidup
menanggungjawabkan perilaku! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar