Kamis, 14 Maret 2013

Tanggung Jawab


Tanggung Jawab
Mudji Sutrisno SJ   Guru Besar STF Driyarkara dan 
Universitas Indonesia, Budayawan    
SINDO, 13 Maret 2013

  
Menanggungjawabi adalah sebuah tindakan berani untuk memikul risiko akibat baik maupun buruk pilihan tindakan (moral) dari subjek pelaku itu sendiri. 

Ciri khas tanggung jawab adalah tidak lari atau melemparkan ke orang lain begitu tahu berakibat merugikan dan mengancam keselamatan dirinya. Berikutnya berciri tidak menyalahkan keadaan, alam sekitar di luar dirinya karena ia sadar sebagai pelaku yang punya otonomi nurani dan budi dewasa. 

Yang terakhir, pribadi yang bertanggung jawab adalah tidak mengambinghitam-kan orang lain sebagai yang disalahkan serta tidak lempar-melempar tanggung jawab atau “cuci tangan” untuk mengatakan bersih dari tuntutan bertanggung jawab. Contoh sejarah yang masyhur dalam hal ini adalah Pontius Pilatus sebagai yang mempunyai tanggung jawab bisa melepas atau menghukum Yesus, tetapi akhirnya tidak berani menanggungjawabi ketika massa memilih Barabbas sebagai yang dibebaskan, padahal ia tahu Yesus tak bersalah.
Apalagi Pilatus akhirnya mencuci tangannya karena ingin tampil bersih seakan penuh tanggung jawab, tetapi sebenarnya lepas tangan dan lepas tanggung jawab. Bertanggung jawab sebagai mentalitas merupakan proses panjang pendidikan moral pada orang sejak masih bayi, remaja sampai dewasa yang butuh “kognisi” dan “pembatinan” apa yang baik (etis), apa yang benar (pengetahuan dan ilmu), yang suci (religiositas sebagai inti religi) serta yang indah (estetis) dari kehidupan. 

Ranah pendidikan yang hanya memberikan kognisi belaka akan menjadi banyak orang “tahu” dan berpengetahuan tentang hal baik, tetapi hanya di otak dan dihafalkan serta tidak mempraktikkannya dalam praksis tindakan. Maka untuk menjembatani jarak atau “jurang lebar” ini diproseslah internalisasi, yaitu membatinkan sampai menjadi sikap dan darah daging dalam proses pendidikan mulai yang mengajak live in, penghayatan langsung dalam hidup nyata itu sendiri disertai contoh-contoh keteladanan figur-figur orang di sekitarnya. 

Seorang pendidik yang praktik soal ini menamai proses penyadaran itu berlangsung dengan “aksi” lalu merefleksi dan kemudian aksi lagi. Proses pembatinan kebaikan dan nilai dilakukan terus dengan “konsientasi” sebagai menyadari itu bukanlah mengetahui tentang yang baik (sebagai pengetahuan kognitif), tetapi memasukkan ke keheningan budi dan nurani hingga masuk meresap dan “menancap” dalam kesadaran seseorang. 

Proses konsientasi ini didalami dan didarahdagingkan melalui medium pokok relasi antarmanusia, yaitu “komunikasi bahasa”, inilah isi pokok pandangan Paulo Freire. Freire melihat bahasa pengaksaraan sebagai tindakan “menamai realitas”. Alfabetisasi adalah kodrat manusia untuk memuliakan hidup sebagai “baik” dan “benar” dengan membuat kalimat logis (benar nalar) dan baik (pujian syukur) atas hidup di sekitarnya, atas apa-apa yang ada di sekelilingnya. 

Mengapa? Karena manusia adalah makhluk pemberi makna atau homo significans. Konsekuensinya dari budi yang jernih dan hati yang baik, si orang akan berkata baik, tulus, dan berbahasa benar serta tidak bohong. Freire menaruh penamaan tanggung jawab manusia sejak ia belajar mencintai hidup dengan berbahasa. 

Para ibulah pendidik relasi bertanggung jawab antara ibu yang melahirkan dan anak yang dilahirkan dan diantarkan untuk memahami dan mencintai lingkungan sekitar dengan aksara: mama, ibu, bunda. Relasi yang saling merengkuh dan saling bertanggung jawab ini secara tulus diungkap dengan bahasa tulus, kata-kata jujur, dan terus dikembangkan sampai ibu bahasa pun nantinya mendidik lawan kontrasnya, yaitu “kata-kata kotor, bohong, dan culas” yang tidak bertanggung jawab. 

Maka dari itu, herankah kita pada salah satu praksis waktu internalisasi tentang tanggung jawab semasa anakanak di kultur kita? Bila anak tersandung batu kemudian ibu kita demi agar anak berhenti menangis lalu memukul- mukul batu yang membuat tersandung, ini berarti yang disalahkan adalah “batu” dan bukan mendidik anak untuk hati-hati dan bertanggung jawab dalam berjalan agar tidak tersandung! 

Penjelasan psikologis sosial dan sosiologis bisa masuk akal menurut F Tonnies yang membagi adanya masyarakat kolektivis (kerumunan dan gerombolan untuk yang senang beramai-ramai bersama) dan masyarakat individu yang menaruh pribadi sendiri sebagai pelaku penanggung jawab tindakannya. 

Lihat tawuran-tawuran sebagai fenomena gerombolan berani ramai-ramai, tetapi bila sendiri lain soalnya. Garis bawah tanggung jawab komunal bersama yang terlalu ditanamkan hingga keberanian menanggungjawabi sendiri tidak tumbuh juga ditunjuk oleh peta adanya masyarakat kekerabatan komunal, yaitu gemeinschaft dan masyarakat gessellschaft atau society. 

Yang satu komunalis dan yang kedua itu masyarakat yang terbentuk oleh rasionalitas, diwujudkan menjadi bertemu diikat oleh kontrak atau konvensi rasional. Yang jadi perhatian pokok kita adalah tanggung jawab pribadi dalam masyarakat dan tanggung jawab komunal dalam kekerabatan di mana pribadi yang jadi kepalanya itu merupakan yang di-tua-kan oleh komunitasnya.

Apakah latar budaya nilai berjenjang komunal yang dituakan menjadi penjelasan yang memadai untuk menunjuk susahnya tanggung jawab sendiri? Jawaban pertama, kembali ke ranah edukasi tentang manusia pelaku hidup dan penanggung jawab tindakan-tindakannya oleh pembatinan kesadaran moral bertanggung jawab dan mau mengorbankan diri untuk nilai ini beserta keberanian menanggung risikonya, apakah ini berproses ada atau tidak? 

Mochtar Lubis almarhum dalam novel Harimau-Harimau (1970-an) sudah memaparkan dalam bahasa novel kunci kedewasaan bangsa ini terletak pada mau tidaknya kita berubah dari gerombolan menjadi keberanian mengarungi hidup dengan tanggung jawab pribadi. Bila tidak kita akan menjadi gerombolan terus-menerus yang akhirnya akan dimakan harimau keangkaraan diri kita sendiri yang butuh kita bunuh. 

Tidak kurang-kurangnya bahasa kebijaksanaan laku hidup sudah dirangkum “selalu aktual”, tidak lekang oleh panas atau hancur oleh hujan dalam ajaran pepatah atau peribahasa mendidikdiridikenyataannyata sehari-hari bahwa tidak baiklah cara-cara dan sikap-sikap mental “lempar batu sembunyi tangan”, artinya licik pengecut tidak berani bertanggung jawab secara publik. 

Sudah dari ketulusan motivasi nurani dan hati, diujilah dalam hening pertimbangan awas lho Anda bisa-bisa punya kelicikan kepentingan gelap, yaitu “ada udang di balik batu”. Atau pula memukul seseorang dengan meminjam tangan orang lain, nabok nyilih tangan, sehingga ketika seseorang berani bertanggung jawab dari manusia Nusantara lalu menjadi manusia Indonesia yang memiliki prinsip acuan hidup, yaitu “berani karena benar dan takut karena salah”. 

Maka inilah kunci local wisdom yang menjadi national wisdom, bahkan kini seharusnya menjadi inti keberanian untuk menanggungjawabi tiap tindakan kita lantaran itulah life wisdom, sebuah kebijaksanaan hidup. Semoga dalam politik yang saling berebut kuasa karena tiadanya moral tanggung jawab dan dalam ekonomi yang mengejar harta sendiri tanpa peduli sesama, kita diingatkan ajaran hidup menanggungjawabkan perilaku! ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar