INI peran
pemerintah yang sudah lama ditunggu. Saya gembira membaca Jawa Pos, Rabu (27/2),
yang berisi pernyataan Mendikbud M. Nuh di depan DPR bahwa pemerintah ingin
menekan biaya kuliah kedokteran. Betul logika Pak Nuh, ujung penanganan
biaya kuliah kedokteran itu adalah meningkatnya layanan di bidang kesehatan
yang terjangkau. Untuk merealisasikannya, pemerintah memasukkannya dalam
RUU Pendidikan Kedokteran.
Proses pendidikan dokter memang sangat kompleks, bahkan
berlangsung seumur hidup (lifelong learning). Selain pendekatan pedagogis, terkandung unsur
pengalaman/keterampilan. Komponennya meliputi classroom dan
clerkships-preinternship. Pengenalannya
sejak dini lewat diskusi dalam kelompok-kelompok kecil (small group discussion) yang ada
dalam skenario PBL (problem based learning) atau
instruksi dalam simulasi laboratorium sampai tahap pendidikan keterampilan
saat memberikan layanan klinis bersama.
Praktik, pembelajaran dalam 2-3 tahun pertama dihabiskan
di ruang kelas. Mereka belajar ilmu-ilmu kedokteran dengan beberapa muatan
keterampilan klinik dan komunikasi. Pada periode tersebut, titik beratnya
adalah sebagai ''ilmuwan pekerja universitas'' (university-employed scientists). Bukannya pasif, mahasiswa dituntut belajar
aktif.
Pemberian teorinya pun didekatkan pada pengalaman klinis,
yaitu melalui metode belajar memecahkan masalah atau PBL. Mereka dikenalkan
pada problem-problem klinik. Mereka dirangsang untuk mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah, kalau mungkin tentang ilmu terapan klinik
kedokteran. Mereka diberi narasi, video, serta materi instruksi tertentu
yang menggambarkan problem dan bertindak sebagai trigger.
Porsi PBL pada tahun-tahun praklinik dengan paper-based clinical problem sangat besar. Mereka dibagi dalam
kelas-kelas kecil yang didukung perpustakaan yang baik dan laboratorium
yang mumpuni serta ruang kelas kecil yang banyak, termasuk seperangkat alat
kuliah.
Metode kasus dalam model PBL sesungguhnya merupakan
reinkarnasi langkah ''pendekar kedokteran'' Abraham Flexner: apa yang
mereka artikan dan apa yang kamu kerjakan. Prinsip penekanannya pada: pemecahan
masalah, refleksi, dan pengajaran dalam kelompok kecil. Dosen di sini
berperan sebagai fasilitator pembelajaran dan mendorong mahasiswa aktif.
Flexner dalam Medical Education in the
United States and Canada Bulletin Number Four atau The Flexner Report (1910, hal 92-93) menyatakan bahwa awalnya
mahasiswa belajar sains, lalu menghabiskan waktu studinya untuk praktikum
di laboratorium dan menjalankan coschap (dokter muda) di putaran klinik, rumah
sakit. Mahasiswa tentu dituntut mengumpulkan fakta dan mengevaluasinya, hal
yang melekat pada penderita yang dihadapinya. Karena itu, metode
pembelajaran klinik hendaknya benar-benar sangat istimewa (excellent), sehingga
dapat membawa mahasiswa secara langsung untuk berinteraksi dan
berkomunikasi aktif dengan pasien.
Periode clerkships juga harus dijalani mahasiswa. Itu dimulai
dari orientasi klinis sampai belajar menerima instruksi keterampilan klinis
dasar yang berasal dari seniornya. Mereka akan melalui setidaknya
serangkaian putaran seperti: penyakit dalam, bedah, kandungan, pediatrik,
psikiatri, dan unit layanan primer. Jadi, mereka lebih berorientasi pada
pasien dibanding teori pada periode
clerkship.
Latihan mengobservasi dan latihan menjalankan instruksi
seniornya diperbanyak agar membuahkan pengalaman soft skill. Hal itu disempurnakan dengan kondisi kerja tim civitas academica seperti
dokter yang mumpuni, dokter magang, mahasiswa kedokteran senior, serta
sesama teman mahasiswa. Juga, bersama praktisi kesehatan perawat, bidan,
serta ada yang berasal dari afiliasi dan nonafiliasi, lengkap dengan
bermacam-macam program.
Kompleksitas pendidikan kedokteran itu mawa bea. Biaya proses perkuliahan (termasuk tutorial) dan
praktikum menyedot sebagian besar anggaran pembelajaran. Seperti anggaran
pendidikan umumnya, bujetpendidikan kedokteran dikelompokkan: kelompok
operasional, manajemen, dan pengembangan.
Hampir 60 persen anggaran tersedot pada proses
operasional pendidikan, termasuk praktikum dan perkuliahan. Sistem PBL
menuntut adanya kuliah pakar, moderator, narasumber, pembuat skenario kasus
klinik, dan penilai. Belum lagi pada hal keterampilan medis yang
berorientasi pada sistem modul hingga harus membuat modul mahasiswa, modul
tutor, dan membuat skenario.
Dalam berita tersebut, Pak Nuh sudah memaparkan sebagian
upaya menekan biaya kuliah di FK. Misalnya, menerapkan ikatan dinas agar
biayanya ditanggung pemda, mengintegrasikan FK dengan lembaga profesi (agar
lulus langsung dr, bukan SKed), serta merombak kurikulum agar dokter umum
punya bekal profesionalitas yang lebih tinggi.
Patut diketahui, mahasiswa FK jika direrata butuh Rp 10
juta-Rp15 juta per tahun. Subsidi yang sudah ada, Rp 20 juta-Rp 30 juta
rupiah per dokter baru, belum terlalu mampu menekan keseluruhan biaya FK.
Karena itu, negara juga perlu mengambil alih biaya Rp 10 juta-Rp 15 juta
per tahun tersebut agar FK kian terjangkau.
Biaya itulah yang selama ini masuk dalam 60 persen biaya
operasional. Dengan dukungan kuat pemerintah, standardisasi pendidikan
kedokteran akan bisa diraih. ''Ketebalan'' proses pendidikan kedokteran di
universitas mana pun akan sederajat. Diharapkan, status dokter itu akan
standar dari alumnus mana pun.
Perlu juga diperhatikan pertumbuhan FK agar bisa
menghasilkan lulusan yang mengimbangi masyarakat. Katakanlah setiap tahun
biaya yang ditanggung pemerintah itu ditambah 15 persen, FK pun akan
bertumbuh pula. Kini, dengan membaiknya ekonomi, tuntutan masyarakat untuk
layanan kesehatan meningkat, tidak sebanding dengan bertambahnya lulusan
kedokteran.
Insya Allah, uang negara itu terbelanjakan untuk
otak-otak anak negeri yang akan menjadi pengawal kesehatan bangsa. Akan
banyak maslahatnya, Pak Nuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar