Sabtu, 02 Maret 2013

Celah Tekan Biaya Kuliah FK


Celah Tekan Biaya Kuliah FK
Djoko Santoso  ;  Dosen dan ahli ginjal FK Unair-RSUD dr Soetomo,
Mendapat PhD dari Juntendo University, Tokyo
JAWA POS, 02 Maret 2013


INI peran pemerintah yang sudah lama ditunggu. Saya gembira membaca Jawa Pos, Rabu (27/2), yang berisi pernyataan Mendikbud M. Nuh di depan DPR bahwa pemerintah ingin menekan biaya kuliah kedokteran. Betul logika Pak Nuh, ujung penanganan biaya kuliah kedokteran itu adalah meningkatnya layanan di bidang kesehatan yang terjangkau. Untuk merealisasikannya, pemerintah memasukkannya dalam RUU Pendidikan Kedokteran. 

Proses pendidikan dokter memang sangat kompleks, bahkan berlangsung seumur hidup (lifelong learning). Selain pendekatan pedagogis, terkandung unsur pengalaman/keterampilan. Komponennya meliputi classroom dan  clerkships-preinternship. Pengenalannya sejak dini lewat diskusi dalam kelompok-kelompok kecil (small group discussion) yang ada dalam skenario PBL (problem based learning) atau instruksi dalam simulasi laboratorium sampai tahap pendidikan keterampilan saat memberikan layanan klinis bersama. 

Praktik, pembelajaran dalam 2-3 tahun pertama dihabiskan di ruang kelas. Mereka belajar ilmu-ilmu kedokteran dengan beberapa muatan keterampilan klinik dan komunikasi. Pada periode tersebut, titik beratnya adalah sebagai ''ilmuwan pekerja universitas'' (university-employed scientists). Bukannya pasif, mahasiswa dituntut belajar aktif. 

Pemberian teorinya pun didekatkan pada pengalaman klinis, yaitu melalui metode belajar memecahkan masalah atau PBL. Mereka dikenalkan pada problem-problem klinik. Mereka dirangsang untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, kalau mungkin tentang ilmu terapan klinik kedokteran. Mereka diberi narasi, video, serta materi instruksi tertentu yang menggambarkan problem dan bertindak sebagai trigger. 

Porsi PBL pada tahun-tahun praklinik dengan paper-based clinical problem  sangat besar. Mereka dibagi dalam kelas-kelas kecil yang didukung perpustakaan yang baik dan laboratorium yang mumpuni serta ruang kelas kecil yang banyak, termasuk seperangkat alat kuliah.

Metode kasus dalam model PBL sesungguhnya merupakan reinkarnasi langkah ''pendekar kedokteran'' Abraham Flexner: apa yang mereka artikan dan apa yang kamu kerjakan. Prinsip penekanannya pada: pemecahan masalah, refleksi, dan pengajaran dalam kelompok kecil. Dosen di sini berperan sebagai fasilitator pembelajaran dan mendorong mahasiswa aktif.

Flexner dalam Medical Education in the United States and Canada Bulletin Number Four atau The Flexner Report (1910, hal 92-93) menyatakan bahwa awalnya mahasiswa belajar sains, lalu menghabiskan waktu studinya untuk praktikum di laboratorium dan menjalankan coschap (dokter muda) di putaran klinik, rumah sakit. Mahasiswa tentu dituntut mengumpulkan fakta dan mengevaluasinya, hal yang melekat pada penderita yang dihadapinya. Karena itu, metode pembelajaran klinik hendaknya benar-benar sangat istimewa (excellent), sehingga dapat membawa mahasiswa secara langsung untuk berinteraksi dan berkomunikasi aktif dengan pasien. 

Periode clerkships juga harus dijalani mahasiswa. Itu dimulai dari orientasi klinis sampai belajar menerima instruksi keterampilan klinis dasar yang berasal dari seniornya. Mereka akan melalui setidaknya serangkaian putaran seperti: penyakit dalam, bedah, kandungan, pediatrik, psikiatri, dan unit layanan primer. Jadi, mereka lebih berorientasi pada pasien dibanding teori pada periode  clerkship. 

Latihan mengobservasi dan latihan menjalankan instruksi seniornya diperbanyak agar membuahkan pengalaman soft skill. Hal itu disempurnakan dengan kondisi kerja tim civitas academica seperti dokter yang mumpuni, dokter magang, mahasiswa kedokteran senior, serta sesama teman mahasiswa. Juga, bersama praktisi kesehatan perawat, bidan, serta ada yang berasal dari afiliasi dan nonafiliasi, lengkap dengan bermacam-macam program. 

Kompleksitas pendidikan kedokteran itu mawa bea. Biaya proses perkuliahan (termasuk tutorial) dan praktikum menyedot sebagian besar anggaran pembelajaran. Seperti anggaran pendidikan umumnya, bujetpendidikan kedokteran dikelompokkan: kelompok operasional, manajemen, dan pengembangan. 

Hampir 60 persen anggaran tersedot pada proses operasional pendidikan, termasuk praktikum dan perkuliahan. Sistem PBL menuntut adanya kuliah pakar, moderator, narasumber, pembuat skenario kasus klinik, dan penilai. Belum lagi pada hal keterampilan medis yang berorientasi pada sistem modul hingga harus membuat modul mahasiswa, modul tutor, dan membuat skenario. 

Dalam berita tersebut, Pak Nuh sudah memaparkan sebagian upaya menekan biaya kuliah di FK. Misalnya, menerapkan ikatan dinas agar biayanya ditanggung pemda, mengintegrasikan FK dengan lembaga profesi (agar lulus langsung dr, bukan SKed), serta merombak kurikulum agar dokter umum punya bekal profesionalitas yang lebih tinggi. 

Patut diketahui, mahasiswa FK jika direrata butuh Rp 10 juta-Rp15 juta per tahun. Subsidi yang sudah ada, Rp 20 juta-Rp 30 juta rupiah per dokter baru, belum terlalu mampu menekan keseluruhan biaya FK. Karena itu, negara juga perlu mengambil alih biaya Rp 10 juta-Rp 15 juta per tahun tersebut agar FK kian terjangkau.

Biaya itulah yang selama ini masuk dalam 60 persen biaya operasional. Dengan dukungan kuat pemerintah, standardisasi pendidikan kedokteran akan bisa diraih. ''Ketebalan'' proses pendidikan kedokteran di universitas mana pun akan sederajat. Diharapkan, status dokter itu akan standar dari alumnus mana pun.

Perlu juga diperhatikan pertumbuhan FK agar bisa menghasilkan lulusan yang mengimbangi masyarakat. Katakanlah setiap tahun biaya yang ditanggung pemerintah itu ditambah 15 persen, FK pun akan bertumbuh pula. Kini, dengan membaiknya ekonomi, tuntutan masyarakat untuk layanan kesehatan meningkat, tidak sebanding dengan bertambahnya lulusan kedokteran.

Insya Allah, uang negara itu terbelanjakan untuk otak-otak anak negeri yang akan menjadi pengawal kesehatan bangsa. Akan banyak maslahatnya, Pak Nuh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar