Sabtu, 09 Maret 2013

Suporter Bondo Sejahtera


Suporter Bondo Sejahtera
Prija Djatmika  ;  Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang
JAWA POS, 09 Maret 2013


Pada 1997 saya jalan-jalan ke London, Inggris, menghabiskan waktu transit pesawat selama enam jam dari Dublin, Irlandia, menuju Jakarta. Saya bertanya kepada sopir taksi yang mengantar saya putar-putar Kota London, mengapa masyarakat Inggris sangat fanatik kepada klub sepak bolanya?

Jawaban sopir pendukung klub sepak bola Manchester United itu sungguh di luar dugaan saya. Katanya, selain faktor loyalitas kedaerahan (regionalisme) karena memiliki asal kota yang sama dengan klub sepak bola yang bersangkutan, penyebabnya juga (dan ini yang utama) keuntungan ekonomi yang akan didapat para suporter bila klub yang saat itu dibelanya menang.

"Keuntungan ekonomi?" tanya saya, tak mengerti.

Ya, jawab sopir setengah baya itu. Sebab, klub-klub sepak bola besar tersebut telah menjual sahamnya di bursa saham. Sudah go public sehingga masyarakat pendukungnya bisa membeli saham klub sepak bola itu, yang sudah dikelola seperti badan usaha. Dengan demikian, bila klub sepak bola yang sahamnya dibeli para pendukungnya itu memiliki prestasi tinggi, harga sahamnya akan naik di bursa saham sehingga suporter yang membeli sahamnya bisa menjualnya dan dapat untung.

Oleh sebab itu, katanya, bisa saja regionalisme suporter mendukung Manchester City atau Manchester United terjadi karena kebetulan asal kelahiran suporter tersebut di Kota Manchester, tetapi saham yang dibeli justru saham milik Chelsea karena kebetulan pada musim kompetisi saat itu harga saham Chelsea yang paling menguntungkan di bursa saham. Regionalisme dan pertimbangan ekonomi memang dua hal yang berbeda.

Alhasil, akhirnya saya berpikir apakah yang didapat para suporter klub sepak bola di Indonesia, selain aktualisasi semangat regionalisme mereka kala mendukung klub-klub sepak bola kota mereka?

Kalau soal fanatisme, suporter kita tidak kalah fanatik dengan suporter klub-klub sepak bola Eropa. Bahkan, ada yang sampai menjadi korban penganiayaan hingga tewas. Juga, tentu saja kalau ada korban (victim), mesti ada yang rela untuk jadi pelakunya (offender) demi membela panji-panji klub sepak bola kesayangan. 

Jawa Pos kemarin (Jumat, 8 Maret) memberitakan bahwa ada korban tewas akibat perseteruan antara kelompok suporter Surabaya (Bonek alias bondo nekat, modal nekat) dan Malang (Aremania), yakni seorang pemuda beratribut Bonek, Erik Setiawan, 17, asal Mojokerto. Kalau sudah ada korban tewas begini, tentu proses hukum akan dan harus berjalan. Polisi harus melakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga ditemukan tersangka pelakunya. Proses selanjutnya apabila pelaku atau para pelaku penganiayaan sudah tertangkap -tentu karena merupakan penganiayaan yang mengakibatkan kematian korban (pasal 351 ayat 3 KUH Pidana)- adalah penahanan, kemudian persidangan dan jatuhnya hukuman penjara bagi pelaku. Ancaman pidananya saja tujuh tahun penjara.

Kalau sudah begini, dukacita saja adanya. Korban yang masih belia sudah harus meninggal sia-sia, pupus sudah semua harapan hidupnya dan harapan keluarganya. Tinggal dukacita keluarga dan sanak familinya. Sementara itu, para pelakunya yang nanti menjalani proses peradilan pidana pada akhirnya akan masuk penjara bertahun-tahun dan berstatus narapidana. 

Selain akan bertahun-tahun mengalami pahit, lembap, dan kerasnya kehidupan penjara, pelaku bakal menjalani hidup yang sulit di masa-masa setelah menjalani pidana penjaranya. Tak mudah bagi mantan narapidana untuk bisa diterima lagi, apalagi bisa dapat pekerjaan, dalam masyarakat yang beriklim punitif (menghukum) ini.

Semua itu untuk apa? Penganiayaan adalah kejahatan. Secara teoretis, kejahatan (crime) terjadi karena adanya akumulasi niat (tendention) ditambah situasi (situation) dibagi daya tahan diri untuk menolak perilaku jahat (resistance). Dalam kasus perseteruan antarsuporter sepak bola, niat bisa muncul karena semangat fanatisme regional yang tinggi dan teraktualisasi karena ada situasi yang memicu (trigger) dari "lawannya". Namun, fanatisme regional yang tinggi, yang termanifestasi dengan dukungan berlebih kepada klub sepak bola daerahnya, tidak akan menjadi perilaku jahat atau kejahatan bila daya tahan diri para suporter untuk menolak perilaku jahat juga tinggi (resistansi tinggi). Apa pun situasi pemicu dari faktor eksternal merangsangnya atau memancingnya untuk melakukan kejahatan.

Dalam teori kriminologi kesejahteraan, salah satu faktor untuk meningkatkan daya tahan diri yang tinggi guna menolak laku kejahatan dalam diri seseorang adalah tingkat kesejahteraan ekonomi yang mencukupi, selain faktor tingkat intelektualitas (pendidikan) dan keimanan seseorang.

Oleh sebab itu, seperti upaya untuk menghapus tindakan kejahatan lain, kerusuhan antarsuporter tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum. Proses dalam sistem peradilan pidana memang diperlukan untuk menjerakan pelaku dan membuat jeri calon-calon pelaku kejahatan. Namun, tidak signifikan untuk mengurangi tingkat kejahatan apabila faktor kesejahteraan, pendidikan, dan iman pelaku atau calon-calon pelaku kejahatan tidak ikut digarap.

Mudah saja bagi aparat (pemerintah dan hukum) menuding dan menghukum para suporter sebagai biang kerusuhan (warmaking criminology). Namun, itu adalah tindakan parsial dan manifestasi dari sikap lepas tanggung jawab secara komprehensif. Dalam konteks kriminologi yang damai (peacemaking criminology), pelaku kejahatan (apa pun bentuknya) harus dirangkul, dicarikan solusi atau jalan keluar dari sebab-sebab dia melakukan kejahatan. Juga, hukuman yang dijatuhkan bukan untuk pembalasan, tetapi untuk merestorasi karakter pelaku menjadi baik, termasuk membenahi aspek kesejahteraan ekonomi dan tingkat pendidikannya. 

Kalau mereka berpendidikan baik serta punya kecukupan dari bekerja dan kehidupan spiritual yang sehat, harapan masa depan terbuka. Kalau hendak ngawur, mereka pasti berpikir panjang karena berat mengorbankan sesuatu ("bondo") yang berharga dalam hidup. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar