Pada 1997 saya jalan-jalan ke London, Inggris, menghabiskan
waktu transit pesawat selama enam jam dari Dublin, Irlandia, menuju
Jakarta. Saya bertanya kepada sopir taksi yang mengantar saya putar-putar
Kota London, mengapa masyarakat Inggris sangat fanatik kepada klub sepak
bolanya?
Jawaban sopir pendukung klub sepak bola Manchester United
itu sungguh di luar dugaan saya. Katanya, selain faktor loyalitas
kedaerahan (regionalisme) karena memiliki asal kota yang sama dengan klub
sepak bola yang bersangkutan, penyebabnya juga (dan ini yang utama)
keuntungan ekonomi yang akan didapat para suporter bila klub yang saat itu
dibelanya menang.
"Keuntungan ekonomi?" tanya saya, tak mengerti.
Ya, jawab sopir setengah baya itu. Sebab, klub-klub sepak
bola besar tersebut telah menjual sahamnya di bursa saham. Sudah go public sehingga
masyarakat pendukungnya bisa membeli saham klub sepak bola itu, yang sudah
dikelola seperti badan usaha. Dengan demikian, bila klub sepak bola yang
sahamnya dibeli para pendukungnya itu memiliki prestasi tinggi, harga
sahamnya akan naik di bursa saham sehingga suporter yang membeli sahamnya
bisa menjualnya dan dapat untung.
Oleh sebab itu, katanya, bisa saja regionalisme suporter
mendukung Manchester City atau Manchester United terjadi karena kebetulan
asal kelahiran suporter tersebut di Kota Manchester, tetapi saham yang
dibeli justru saham milik Chelsea karena kebetulan pada musim kompetisi
saat itu harga saham Chelsea yang paling menguntungkan di bursa saham.
Regionalisme dan pertimbangan ekonomi memang dua hal yang berbeda.
Alhasil, akhirnya saya berpikir apakah yang didapat para
suporter klub sepak bola di Indonesia, selain aktualisasi semangat
regionalisme mereka kala mendukung klub-klub sepak bola kota mereka?
Kalau soal fanatisme, suporter kita tidak kalah fanatik
dengan suporter klub-klub sepak bola Eropa. Bahkan, ada yang sampai menjadi
korban penganiayaan hingga tewas. Juga, tentu saja kalau ada korban (victim), mesti ada
yang rela untuk jadi pelakunya (offender) demi membela
panji-panji klub sepak bola kesayangan.
Jawa Pos kemarin
(Jumat, 8 Maret) memberitakan bahwa ada korban tewas akibat perseteruan
antara kelompok suporter Surabaya (Bonek alias bondo nekat,
modal nekat) dan Malang (Aremania), yakni seorang pemuda beratribut Bonek,
Erik Setiawan, 17, asal Mojokerto. Kalau sudah ada korban tewas begini,
tentu proses hukum akan dan harus berjalan. Polisi harus melakukan
penyelidikan dan penyidikan sehingga ditemukan tersangka pelakunya. Proses
selanjutnya apabila pelaku atau para pelaku penganiayaan sudah tertangkap
-tentu karena merupakan penganiayaan yang mengakibatkan kematian korban
(pasal 351 ayat 3 KUH Pidana)- adalah penahanan, kemudian persidangan dan
jatuhnya hukuman penjara bagi pelaku. Ancaman pidananya saja tujuh tahun penjara.
Kalau sudah begini, dukacita saja adanya. Korban yang
masih belia sudah harus meninggal sia-sia, pupus sudah semua harapan
hidupnya dan harapan keluarganya. Tinggal dukacita keluarga dan sanak
familinya. Sementara itu, para pelakunya yang nanti menjalani proses
peradilan pidana pada akhirnya akan masuk penjara bertahun-tahun dan
berstatus narapidana.
Selain akan bertahun-tahun mengalami pahit, lembap, dan
kerasnya kehidupan penjara, pelaku bakal menjalani hidup yang sulit di
masa-masa setelah menjalani pidana penjaranya. Tak mudah bagi mantan
narapidana untuk bisa diterima lagi, apalagi bisa dapat pekerjaan, dalam
masyarakat yang beriklim punitif (menghukum) ini.
Semua itu untuk apa? Penganiayaan adalah kejahatan.
Secara teoretis, kejahatan (crime) terjadi
karena adanya akumulasi niat (tendention) ditambah
situasi (situation) dibagi daya
tahan diri untuk menolak perilaku jahat (resistance). Dalam kasus perseteruan antarsuporter sepak bola, niat
bisa muncul karena semangat fanatisme regional yang tinggi dan
teraktualisasi karena ada situasi yang memicu (trigger) dari "lawannya". Namun, fanatisme regional
yang tinggi, yang termanifestasi dengan dukungan berlebih kepada klub sepak
bola daerahnya, tidak akan menjadi perilaku jahat atau kejahatan bila daya
tahan diri para suporter untuk menolak perilaku jahat juga tinggi
(resistansi tinggi). Apa pun situasi pemicu dari faktor eksternal
merangsangnya atau memancingnya untuk melakukan kejahatan.
Dalam teori kriminologi kesejahteraan, salah satu faktor
untuk meningkatkan daya tahan diri yang tinggi guna menolak laku kejahatan
dalam diri seseorang adalah tingkat kesejahteraan ekonomi yang mencukupi,
selain faktor tingkat intelektualitas (pendidikan) dan keimanan seseorang.
Oleh sebab itu, seperti upaya untuk menghapus tindakan
kejahatan lain, kerusuhan antarsuporter tidak bisa diselesaikan hanya
dengan pendekatan hukum. Proses dalam sistem peradilan pidana memang
diperlukan untuk menjerakan pelaku dan membuat jeri calon-calon pelaku
kejahatan. Namun, tidak signifikan untuk mengurangi tingkat kejahatan
apabila faktor kesejahteraan, pendidikan, dan iman pelaku atau calon-calon
pelaku kejahatan tidak ikut digarap.
Mudah saja bagi aparat (pemerintah dan hukum) menuding
dan menghukum para suporter sebagai biang kerusuhan (warmaking criminology). Namun, itu
adalah tindakan parsial dan manifestasi dari sikap lepas tanggung jawab
secara komprehensif. Dalam konteks kriminologi yang damai (peacemaking criminology), pelaku
kejahatan (apa pun bentuknya) harus dirangkul, dicarikan solusi atau jalan
keluar dari sebab-sebab dia melakukan kejahatan. Juga, hukuman yang
dijatuhkan bukan untuk pembalasan, tetapi untuk merestorasi karakter pelaku
menjadi baik, termasuk membenahi aspek kesejahteraan ekonomi dan tingkat
pendidikannya.
Kalau mereka berpendidikan baik serta punya kecukupan
dari bekerja dan kehidupan spiritual yang sehat, harapan masa depan
terbuka. Kalau hendak ngawur, mereka pasti
berpikir panjang karena berat mengorbankan sesuatu ("bondo") yang
berharga dalam hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar