Nidji adalah salah satu band yang berhasil merealisasi
mimpinya. Sejak terbentuk pada 2002, mereka menyimpan mimpi untuk bisa
pergi ke daratan Inggris. Kini, memasuki usianya yang ke-11 tahun, mimpi
mereka itu bukan lagi ilusi. Pada awal Maret ini Nidji akan tampil di
Manchester. Di sana mereka bekerja sama dengan klub sepak bola kenamaan
Manchester United (MU).
Nidji tentu bukan satu-satunya contoh. Jika disusun,
daftarnya pasti akan sangat panjang. Steve Jobs adalah contoh lainnya. Ia,
seperti yang dikisahkan dalam Steve Jobs; Otak Jenius di Balik Kesuksesan
Apple (2009), hanyalah anak hasil adopsi pasangan keluarga yang bahkan
tidak lulus dari perguruan tinggi. Ibu kandungnya, Joanne Carole Schieble,
merelakan anaknya diadopsi setelah dijanjikan kelak setelah dewasa akan
dimasukkan ke perguruan tinggi. Ibu kandung Steve Jobs adalah fresh
graduate yang menjalin hubungan dengan Abdulfattah Jandali, mahasiswa yang
kemudian menjadi seorang profesor bidang politik. Uniknya, pria kelahiran
San Francisco, 24 Februari 1955, ini bahkan drop out pada semester satu di
Reed College, Portland. Anak nakal ini bahkan tergolong sulit belajar di
awal-awal sekolah. Akhirnya, berawal dari sebuah garasi, Steve Jobs saat
ini masih dikenal sebagai inovator paling berpengaruh dalam industri PC
maupun ponsel pintar.
Oprah Winfrey adalah figur lain yang berhasil meraih
mimpi. Kisah hidupnya bahkan ibarat fakir miskin yang sukses menjadi orang
kaya-raya. Demikian juga Adele, ia merupakan sebuah kisah lain ketika the dream becomes reality.
Kesuksesannya di bisnis tarik suara berawal dari dunia maya. Penyanyi
kelahiran Tottenham, Inggris Utara, itu sudah meraih kesuksesan finansial
dalam usia 25 tahun. Awalnya, seorang teman mengunggah demo musiknya di
MySpace pada 2006. Sebuah perusahaan rekaman XL Recording kemudian
menawarinya kontrak rekaman. Sejak itu, tak kurang dari 77 penghargaan
telah diraihnya. Sebuah rumah mewah berharga 7 juta pound sterling (sekitar
Rp 9 miliar dengan kurs 13 ribu) sudah bisa dibelinya pada akhir 2008.
Selanjutnya juga masih bisa ditambahkan sosok Michael Jordan. Pebasket
terbaik ini bahkan pernah ditolak bergabung di klub basket kampusnya karena
tinggi badannya kurang.
Benang merah di balik kisah sukses para peraih mimpi
itu adalah pada nilai-nilai inspiratif dalam berproses. Secara garis besar
pada dasarnya adalah serupa. Kekurangan dan ketidaknormalan (fisikal,
finansial, bahkan latar belakang) tidak menjadi penghambat pengembangan
potensi diri. Ketidakputusasaan dan penyangkalan diri menjadi bagian
lainnya. Setiap kondisi pelemahan (cibiran, human limits) akan justru meneguhkan upaya-upaya menggapai
mimpi. Proses itu sedemikian rupa berkolaborasi bersama seluruh elemen alam
(orang tua, tetangga, sahabat, momentum) menjadi kristalisasi dalam
membumikan mimpi.
Sebuah kontradiksi ketika situasi yang sudah menjadi
realisasi mimpi justru kembali berbalik. Fenomena ini, misalnya, bisa
didapati dalam peristiwa Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), Djoko Susilo (DS), dan
Anas Urbaningrum (AU). LHI, yang lahir pada 5 Agustus 1961, seturut
kosmologi kultural adalah pemilik "garis nasib" Sabtu Pon. Garis
nasib itu, bersama Jumat Wage dan Rabu Legi, "ditakdirkan" sebagai
orang yang memiliki jabatan terhormat dan berpengaruh. Dalam kapasitasnya
sebagai Presiden PKS, tentu takdir atau mimpi itu sudah bisa dikatakan
terpenuhi. Setidaknya dalam kapasitasnya sebagai salah satu pemberi
pengaruh impor daging sapi. Kini, dalam statusnya sebagai tersangka, LHI
seperti ditarik untuk set-back ke
periode sebelum dirinya berada dalam posisi terkini. Mimpi yang sudah
terealisasi seperti direnggut lagi.
Begitu juga Irjen Djoko Susilo. Kariernya yang pesat di
kepolisian justru berakhir dramatis. Di antara teman seangkatannya di
Akpol, DS adalah penerima kenaikan pangkat paling cepat. Alumnus Akpol 1984
ini ditetapkan sebagai tersangka dalam suap pengadaan simulator pembuatan
SIM. DS juga dikait-kaitkan dengan perilakunya yang memiliki tiga istri.
Dua istrinya yang terakhir sehabis Suratmi, yaitu Mahdiana dan Dipta
Anindita, kini dikait-kaitkan dengan pencucian uang. Tak kurang dari 11
rumah tinggal telah disita. Kondisi ini menyebabkan pencapaian karier DS
seperti hendak direnggut kembali. Selanjutnya, fenomena ini juga ada pada
AU. Politikus karier kelahiran Blitar, 15 Juli 1969, ini bisa dikatakan
juga dalam situasi yang nyaris menggapai mimpi. Posisinya sebagai Ketua
Umum DPP Partai Demokrat sudah semakin mendekatkannya pada ujung karpet
merah menuju Istana. Sayangnya, di ujung mimpinya itu, AU harus tersandung
skandal Hambalang.
Kasus-kasus yang menimpa ketiga figur di
atas kebetulan sedang menjadi perhatian publik. Adapun fenomena ini
terlepas dari kasus hukum yang menjerat mereka. Sebuah fakta bahwa sebagian
dari mereka bahkan telah berhasil menggapai mimpi. Sebagian yang lain
tinggal beberapa langkah lagi. Bagaimana logika menjelaskan fenomena ini?
Tanpa bermaksud menghakimi, satu alur nalar yang bisa diterima akal publik
adalah adanya ketidakkonsistenan sikap. Secara sederhana, itu terwujud
dalam perubahan pemikiran dan sikap dalam berproses merealisasi mimpi itu
sendiri. Ketika pemilik mimpi masih konsisten dengan perilaku positif yang
tidak bertentangan dengan hukum alam (jujur, pantang menyerah, tidak
rakus), selama itu pula alam turut bersinergi. Sebaliknya, ketika pemilik
mimpi mulai tergiur mimpi-mimpi semu (hidup bergelimang harta tidak halal,
tidak cukup dengan satu istri), maka alam juga berbalik tidak kooperatif.
Hebatnya lagi, alam masih memberi kesempatan kepada pelaku inkonsistensi
itu menikmati mimpi-mimpi semunya--walau sesaat. Kebaikan alam itu akan
berakhir seiring kulminasi inkonsistensi. Konkretnya adalah masuk bui. Yang
terakhir ini jelas bukan mimpi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar