Sabtu, 09 Maret 2013

Anas, Luthfi, dan Mimpi


Anas, Luthfi, dan Mimpi
Flo K Sapto W  ;  Praktisi Pemasaran, Dosen Tamu
di Magister Management FEB UNS
KORAN TEMPO, 09 Maret 2013



Nidji adalah salah satu band yang berhasil merealisasi mimpinya. Sejak terbentuk pada 2002, mereka menyimpan mimpi untuk bisa pergi ke daratan Inggris. Kini, memasuki usianya yang ke-11 tahun, mimpi mereka itu bukan lagi ilusi. Pada awal Maret ini Nidji akan tampil di Manchester. Di sana mereka bekerja sama dengan klub sepak bola kenamaan Manchester United (MU). 
Nidji tentu bukan satu-satunya contoh. Jika disusun, daftarnya pasti akan sangat panjang. Steve Jobs adalah contoh lainnya. Ia, seperti yang dikisahkan dalam Steve Jobs; Otak Jenius di Balik Kesuksesan Apple (2009), hanyalah anak hasil adopsi pasangan keluarga yang bahkan tidak lulus dari perguruan tinggi. Ibu kandungnya, Joanne Carole Schieble, merelakan anaknya diadopsi setelah dijanjikan kelak setelah dewasa akan dimasukkan ke perguruan tinggi. Ibu kandung Steve Jobs adalah fresh graduate yang menjalin hubungan dengan Abdulfattah Jandali, mahasiswa yang kemudian menjadi seorang profesor bidang politik. Uniknya, pria kelahiran San Francisco, 24 Februari 1955, ini bahkan drop out pada semester satu di Reed College, Portland. Anak nakal ini bahkan tergolong sulit belajar di awal-awal sekolah. Akhirnya, berawal dari sebuah garasi, Steve Jobs saat ini masih dikenal sebagai inovator paling berpengaruh dalam industri PC maupun ponsel pintar. 
Oprah Winfrey adalah figur lain yang berhasil meraih mimpi. Kisah hidupnya bahkan ibarat fakir miskin yang sukses menjadi orang kaya-raya. Demikian juga Adele, ia merupakan sebuah kisah lain ketika the dream becomes reality. Kesuksesannya di bisnis tarik suara berawal dari dunia maya. Penyanyi kelahiran Tottenham, Inggris Utara, itu sudah meraih kesuksesan finansial dalam usia 25 tahun. Awalnya, seorang teman mengunggah demo musiknya di MySpace pada 2006. Sebuah perusahaan rekaman XL Recording kemudian menawarinya kontrak rekaman. Sejak itu, tak kurang dari 77 penghargaan telah diraihnya. Sebuah rumah mewah berharga 7 juta pound sterling (sekitar Rp 9 miliar dengan kurs 13 ribu) sudah bisa dibelinya pada akhir 2008. Selanjutnya juga masih bisa ditambahkan sosok Michael Jordan. Pebasket terbaik ini bahkan pernah ditolak bergabung di klub basket kampusnya karena tinggi badannya kurang.
Benang merah di balik kisah sukses para peraih mimpi itu adalah pada nilai-nilai inspiratif dalam berproses. Secara garis besar pada dasarnya adalah serupa. Kekurangan dan ketidaknormalan (fisikal, finansial, bahkan latar belakang) tidak menjadi penghambat pengembangan potensi diri. Ketidakputusasaan dan penyangkalan diri menjadi bagian lainnya. Setiap kondisi pelemahan (cibiran, human limits) akan justru meneguhkan upaya-upaya menggapai mimpi. Proses itu sedemikian rupa berkolaborasi bersama seluruh elemen alam (orang tua, tetangga, sahabat, momentum) menjadi kristalisasi dalam membumikan mimpi. 
Sebuah kontradiksi ketika situasi yang sudah menjadi realisasi mimpi justru kembali berbalik. Fenomena ini, misalnya, bisa didapati dalam peristiwa Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), Djoko Susilo (DS), dan Anas Urbaningrum (AU). LHI, yang lahir pada 5 Agustus 1961, seturut kosmologi kultural adalah pemilik "garis nasib" Sabtu Pon. Garis nasib itu, bersama Jumat Wage dan Rabu Legi, "ditakdirkan" sebagai orang yang memiliki jabatan terhormat dan berpengaruh. Dalam kapasitasnya sebagai Presiden PKS, tentu takdir atau mimpi itu sudah bisa dikatakan terpenuhi. Setidaknya dalam kapasitasnya sebagai salah satu pemberi pengaruh impor daging sapi. Kini, dalam statusnya sebagai tersangka, LHI seperti ditarik untuk set-back ke periode sebelum dirinya berada dalam posisi terkini. Mimpi yang sudah terealisasi seperti direnggut lagi. 
Begitu juga Irjen Djoko Susilo. Kariernya yang pesat di kepolisian justru berakhir dramatis. Di antara teman seangkatannya di Akpol, DS adalah penerima kenaikan pangkat paling cepat. Alumnus Akpol 1984 ini ditetapkan sebagai tersangka dalam suap pengadaan simulator pembuatan SIM. DS juga dikait-kaitkan dengan perilakunya yang memiliki tiga istri. Dua istrinya yang terakhir sehabis Suratmi, yaitu Mahdiana dan Dipta Anindita, kini dikait-kaitkan dengan pencucian uang. Tak kurang dari 11 rumah tinggal telah disita. Kondisi ini menyebabkan pencapaian karier DS seperti hendak direnggut kembali. Selanjutnya, fenomena ini juga ada pada AU. Politikus karier kelahiran Blitar, 15 Juli 1969, ini bisa dikatakan juga dalam situasi yang nyaris menggapai mimpi. Posisinya sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat sudah semakin mendekatkannya pada ujung karpet merah menuju Istana. Sayangnya, di ujung mimpinya itu, AU harus tersandung skandal Hambalang. 
Kasus-kasus yang menimpa ketiga figur di atas kebetulan sedang menjadi perhatian publik. Adapun fenomena ini terlepas dari kasus hukum yang menjerat mereka. Sebuah fakta bahwa sebagian dari mereka bahkan telah berhasil menggapai mimpi. Sebagian yang lain tinggal beberapa langkah lagi. Bagaimana logika menjelaskan fenomena ini? Tanpa bermaksud menghakimi, satu alur nalar yang bisa diterima akal publik adalah adanya ketidakkonsistenan sikap. Secara sederhana, itu terwujud dalam perubahan pemikiran dan sikap dalam berproses merealisasi mimpi itu sendiri. Ketika pemilik mimpi masih konsisten dengan perilaku positif yang tidak bertentangan dengan hukum alam (jujur, pantang menyerah, tidak rakus), selama itu pula alam turut bersinergi. Sebaliknya, ketika pemilik mimpi mulai tergiur mimpi-mimpi semu (hidup bergelimang harta tidak halal, tidak cukup dengan satu istri), maka alam juga berbalik tidak kooperatif. Hebatnya lagi, alam masih memberi kesempatan kepada pelaku inkonsistensi itu menikmati mimpi-mimpi semunya--walau sesaat. Kebaikan alam itu akan berakhir seiring kulminasi inkonsistensi. Konkretnya adalah masuk bui. Yang terakhir ini jelas bukan mimpi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar