“Janganlah
kita takut berdialog dan jangan pula kita berdialog karena rasa takut.
Marilah kita bicarakan hal-hal yang dapat mempersatukan kita dan kenali
hal-hal apa saja yang dapat menceraiberaikan kita.” (John F Kennedy, Januari 1961)
Dalam sepekan terakhir ini, masalah Papua
kembali menyita perhatian menyusul kasus penembakan yang terjadi di
Tingginambut, Papua. Peristiwa itu menewaskan aparat keamanan dan
masyarakat. Namun, seperti biasa setiap kasus kekerasan yang terjadi di
Papua seolah hilang begitu saja seiring perjalanan waktu.
Kasus kekerasan seperti itu selalu
berulang, baik yang terjadi di Puncak, Timika maupun di sejumlah daerah
lain. Namun, tidak satu pun kasus penembakan yang terungkap sampai saat
ini. Sudah begitu banyak manusia yang menjadi korban.
Kondisi ini menyebabkan munculnya tudingan
bahwa pemerintah melakukan pembiaran kasus kekerasan di tanah Papua. Yang
lebih keras lagi, ada yang melihat adanya kelompok yang sengaja memelihara
konflik untuk kepentingan yang sama sekali tidak berkaitan dengan keamanan
negara.
Penanganan konflik di Papua terkesan
parsial dan reaktif. Artinya, pemerintah akan tergesa-gesa melakukan rapat
atau berbagai acara formalitas lainnya, sekadar menunjukkan pemerintah
menaruh perhatian terhadap persoalan Papua.
Hanya disayangkan, berbagai kebijakan itu
tidak efektif untuk menyentuh akar persoalan yang ada. Akibatnya, peristiwa
kekerasan muncul dari satu kasus ke kasus lain tanpa ada penjelasan atas
semua itu.
Setiap kali peristiwa penembakan terjadi di
Papua, aparat seolah sudah memiliki jawaban standar, bahwa itu dilakukan
Tentara Pembebasan Nasional (TPN) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Begitu juga dengan belum adanya pengungkapan kasus penembakan, aparat
selalu melontarkan kendala geografis. Namun, bagi sebagian orang yang
memahami persoalan di lapangan, penjelasan aparat masih sangat meragukan.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, aparat
keamanan di Papua selalu merilis puluhan bahkan ratusan anggota OPM yang
menyatakan diri kembali ke NKRI. Selain menyerahkan diri, anggota OPM juga
menyerahkan senjata. Kemudian, muncul pernyataan anggota OPM cuma
segelintir dengan puluhan pucuk senjata.
Di sini ada keanehan, karena setiap kali
penembakan yang terjadi selalu dikaitkan dengan OPM. Pertanyaannya, siapa
pemasok senjata dan amunisi untuk OPM? Patut diragukan mengapa anggota OPM
memiliki keahlian untuk memproduksi senjata dan amunisi.
Juga, tidak ada indikasi anggota OPM
menguasai dan memahami jaringan perdagangan senjata. Namun, belakangan ini
muncul di media, aparat membantah adanya penjualan senjata dan amunisi
ilegal di Papua. Bantahan dan fakta itu sebenarnya hanya pilihan kata, tapi
kedua-duanya bisa mewakili kebenaran.
Sebenarnya kekhawatiran terbesar orang
Papua saat ini adalah begitu mudahnya aparat menempelkan stigma OPM,
sehingga menjadi pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap orang Papua.
Boleh jadi, hanya karena keinginan untuk menguasai lahan kaya sumber daya
alam, masyarakat serta merta dicap sebagai OPM untuk membungkam masyarakat
memperjuangkan hak sebagai warga negara.
Kenyataan pahit lain, seorang Papua
nasionalis sekalipun tidak mustahil dicap OPM jika tidak mengikuti kehendak
pemilik otoritas di Jakarta. Kalau situasi ini berlanjut, tidak mustahil
para nasionalis akan berbalik arah melawan kebijakan Jakarta.
Jalan Damai
Persoalan Papua saat ini memang sangat
kompleks, ibarat benang kusut yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Namun,
sejak Aceh diselesaikan dengan dialog damai, ada kerinduan serupa yang
muncul di Tanah Papua. Rupanya, kerinduan itu hanya bertepuk sebelah
tangan, karena pemerintah memperlihatkan kekhawatiran berlebihan untuk
menginisiasi dialog Papua.
Dalam konteks ini, mungkin layak menyimak
pidato mantan Presiden John F Kennedy pada 1961, “Janganlah kita takut berdialog
dan jangan pula kita berdialog karena rasa takut. Marilah kita bicarakan
hal-hal yang dapat mempersatukan kita dan kenali hal-hal apa yang dapat
menceraiberaikan kita.”
Kutipan ini sangat layak dicermati, karena
tidak ada alasan menghindari dialog, jika hal itu memang untuk mencari
titik temu, apalagi untuk menghindari jatuhnya korban dari militer maupun
sipil.
Hanya saja, pemerintah seperti alergi
menggunakan istilah dialog karena lebih memilih “komunikasi konstruktif”
yang dianggap lebih netral. Padahal, apalah arti sebuah nama, karena yang
lebih menentukan adalah substansi pembicaraan.
Untuk itu, manakala dialog itu bertujuan
mulia untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh dan mendasar,
tidak ada alasan untuk menggelar dialog.
Memang, sejauh ini ada dua pandangan
kontras agar dialog digelar dalam konteks “M” dan satu sisi dialog dalam
konteks NKRI. Dua pandangan ini tentu sulit dipertemukan dalam sekejap,
tapi setidaknya dialog dapat dimulai dari hal kecil yang disepakati.
Rasa saling curiga dan kebekuan hubungan
Jakarta-Papua hanya berubah melalui dialog dan secara perlahan menumbuhkan
rasa saling percaya sebagai sesama anak bangsa. Tidak ada yang mustahil
diselesaikan dalam dialog, jika semua memiliki niat tulus menyelesaikan
persoalan Papua secara menyeluruh.
Semula kelahiran UU Otonomi Khusus Papua
merupakan jawaban atas tuntutan merdeka orang Papua. Namun, solusi ini
hanya berlaku jika UU Otsus berlaku efektif di Papua. Kenyataannya,
implementasi UU Otsus tidak seperti itu, sehingga persoalan tidak terjawab
dengan UU Otsus. Untuk itu, dialog perlu untuk mengetahui akar persoalan
tidak efektifnya UU Otsus.
Yang terjadi selama ini, Papua menganggap
pemerintah setengah hati menerapkan UU Otsus, sementara pemerintah pusat
menganggap sudah cukup melaksanakan UU Otsus dengan alokasi anggaran yang
sangat besar jumlahnya. Akhirnya, yang terjadi justru hanya saling
menyalahkan tanpa mau tahu akar persoalan sebenarnya. UU Otsus bukan soal
anggaran semata, tapi juga aspek kewenangan, aspek rekonsiliasi, aspek
budaya, dan aspek perlindungan terhadap hak orang asli Papua.
Konflik Aceh yang juga memiliki kemiripan
dengan persoalan Papua terbukti diselesaikan melalui meja dialog. Bahkan,
dialog itu difasilitasi pihak ketiga dan dialog berlangsung di tempat
netral, Helsinki. Sampai saat ini, Aceh berubah dari daerah konflik menjadi
daerah damai yang lebih fokus mengurus kesejahteraan rakyat Aceh.
Jadi, sangat aneh kalau pemerintah
keberatan melakukan dialog serupa, jika itu memang mampu menyelesaikan berbagai
permasalahan di Papua. Kecuali, masukan dari pihak yang mengambil untung
dari konflik Papua mendominasi penolakan aspirasi dialog. Dengan bahasa
lebih sederhana, pihak yang menolak dialog damai tidak lebih dari kelompok
yang mengambil untung dari konflik Papua selama ini.
Namun, ada harapan besar terhadap para
negarawan seperti H Jusuf Kalla untuk menginisiasi dialog di Papua seperti
yang dilakukan bagi Aceh. Pada dasarnya orang Papua secara tradisi sudah
tertanam nilai kejujuran, demokrasi, sportifitas, termasuk menghormati
lawan. Semoga Papua menjadi tanah damai melalui dialog. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar