Kamis, 14 Maret 2013

Siapa Alergi Dialog Papua?


Siapa Alergi Dialog Papua?
Jimmy Demianus I   Pendiri Irian Jaya Crisis Center,
Politikus PDI Perjuangan      
SINAR HARAPAN, 13 Maret 2013

  
“Janganlah kita takut berdialog dan jangan pula kita berdialog karena rasa takut. Marilah kita bicarakan hal-hal yang dapat mempersatukan kita dan kenali hal-hal apa saja yang dapat menceraiberaikan kita.” (John F Kennedy, Januari 1961)

Dalam sepekan terakhir ini, masalah Papua kembali menyita perhatian menyusul kasus penembakan yang terjadi di Tingginambut, Papua. Peristiwa itu menewaskan aparat keamanan dan masyarakat. Namun, seperti biasa setiap kasus kekerasan yang terjadi di Papua seolah hilang begitu saja seiring perjalanan waktu.

Kasus kekerasan seperti itu selalu berulang, baik yang terjadi di Puncak, Timika maupun di sejumlah daerah lain. Namun, tidak satu pun kasus penembakan yang terungkap sampai saat ini. Sudah begitu banyak manusia yang menjadi korban.

Kondisi ini menyebabkan munculnya tudingan bahwa pemerintah melakukan pembiaran kasus kekerasan di tanah Papua. Yang lebih keras lagi, ada yang melihat adanya kelompok yang sengaja memelihara konflik untuk kepentingan yang sama sekali tidak berkaitan dengan keamanan negara.
Penanganan konflik di Papua terkesan parsial dan reaktif. Artinya, pemerintah akan tergesa-gesa melakukan rapat atau berbagai acara formalitas lainnya, sekadar menunjukkan pemerintah menaruh perhatian terhadap persoalan Papua.

Hanya disayangkan, berbagai kebijakan itu tidak efektif untuk menyentuh akar persoalan yang ada. Akibatnya, peristiwa kekerasan muncul dari satu kasus ke kasus lain tanpa ada penjelasan atas semua itu.

Setiap kali peristiwa penembakan terjadi di Papua, aparat seolah sudah memiliki jawaban standar, bahwa itu dilakukan Tentara Pembebasan Nasional (TPN) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). Begitu juga dengan belum adanya pengungkapan kasus penembakan, aparat selalu melontarkan kendala geografis. Namun, bagi sebagian orang yang memahami persoalan di lapangan, penjelasan aparat masih sangat meragukan.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, aparat keamanan di Papua selalu merilis puluhan bahkan ratusan anggota OPM yang menyatakan diri kembali ke NKRI. Selain menyerahkan diri, anggota OPM juga menyerahkan senjata. Kemudian, muncul pernyataan anggota OPM cuma segelintir dengan puluhan pucuk senjata.

Di sini ada keanehan, karena setiap kali penembakan yang terjadi selalu dikaitkan dengan OPM. Pertanyaannya, siapa pemasok senjata dan amunisi untuk OPM? Patut diragukan mengapa anggota OPM memiliki keahlian untuk memproduksi senjata dan amunisi.

Juga, tidak ada indikasi anggota OPM menguasai dan memahami jaringan perdagangan senjata. Namun, belakangan ini muncul di media, aparat membantah adanya penjualan senjata dan amunisi ilegal di Papua. Bantahan dan fakta itu sebenarnya hanya pilihan kata, tapi kedua-duanya bisa mewakili kebenaran.

Sebenarnya kekhawatiran terbesar orang Papua saat ini adalah begitu mudahnya aparat menempelkan stigma OPM, sehingga menjadi pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap orang Papua. Boleh jadi, hanya karena keinginan untuk menguasai lahan kaya sumber daya alam, masyarakat serta merta dicap sebagai OPM untuk membungkam masyarakat memperjuangkan hak sebagai warga negara.

Kenyataan pahit lain, seorang Papua nasionalis sekalipun tidak mustahil dicap OPM jika tidak mengikuti kehendak pemilik otoritas di Jakarta. Kalau situasi ini berlanjut, tidak mustahil para nasionalis akan berbalik arah melawan kebijakan Jakarta.

Jalan Damai

Persoalan Papua saat ini memang sangat kompleks, ibarat benang kusut yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Namun, sejak Aceh diselesaikan dengan dialog damai, ada kerinduan serupa yang muncul di Tanah Papua. Rupanya, kerinduan itu hanya bertepuk sebelah tangan, karena pemerintah memperlihatkan kekhawatiran berlebihan untuk menginisiasi dialog Papua.

Dalam konteks ini, mungkin layak menyimak pidato mantan Presiden John F Kennedy pada 1961, “Janganlah kita takut berdialog dan jangan pula kita berdialog karena rasa takut. Marilah kita bicarakan hal-hal yang dapat mempersatukan kita dan kenali hal-hal apa yang dapat menceraiberaikan kita.”

Kutipan ini sangat layak dicermati, karena tidak ada alasan menghindari dialog, jika hal itu memang untuk mencari titik temu, apalagi untuk menghindari jatuhnya korban dari militer maupun sipil.
Hanya saja, pemerintah seperti alergi menggunakan istilah dialog karena lebih memilih “komunikasi konstruktif” yang dianggap lebih netral. Padahal, apalah arti sebuah nama, karena yang lebih menentukan adalah substansi pembicaraan.

Untuk itu, manakala dialog itu bertujuan mulia untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh dan mendasar, tidak ada alasan untuk menggelar dialog.

Memang, sejauh ini ada dua pandangan kontras agar dialog digelar dalam konteks “M” dan satu sisi dialog dalam konteks NKRI. Dua pandangan ini tentu sulit dipertemukan dalam sekejap, tapi setidaknya dialog dapat dimulai dari hal kecil yang disepakati.

Rasa saling curiga dan kebekuan hubungan Jakarta-Papua hanya berubah melalui dialog dan secara perlahan menumbuhkan rasa saling percaya sebagai sesama anak bangsa. Tidak ada yang mustahil diselesaikan dalam dialog, jika semua memiliki niat tulus menyelesaikan persoalan Papua secara menyeluruh.

Semula kelahiran UU Otonomi Khusus Papua merupakan jawaban atas tuntutan merdeka orang Papua. Namun, solusi ini hanya berlaku jika UU Otsus berlaku efektif di Papua. Kenyataannya, implementasi UU Otsus tidak seperti itu, sehingga persoalan tidak terjawab dengan UU Otsus. Untuk itu, dialog perlu untuk mengetahui akar persoalan tidak efektifnya UU Otsus.

Yang terjadi selama ini, Papua menganggap pemerintah setengah hati menerapkan UU Otsus, sementara pemerintah pusat menganggap sudah cukup melaksanakan UU Otsus dengan alokasi anggaran yang sangat besar jumlahnya. Akhirnya, yang terjadi justru hanya saling menyalahkan tanpa mau tahu akar persoalan sebenarnya. UU Otsus bukan soal anggaran semata, tapi juga aspek kewenangan, aspek rekonsiliasi, aspek budaya, dan aspek perlindungan terhadap hak orang asli Papua.

Konflik Aceh yang juga memiliki kemiripan dengan persoalan Papua terbukti diselesaikan melalui meja dialog. Bahkan, dialog itu difasilitasi pihak ketiga dan dialog berlangsung di tempat netral, Helsinki. Sampai saat ini, Aceh berubah dari daerah konflik menjadi daerah damai yang lebih fokus mengurus kesejahteraan rakyat Aceh.

Jadi, sangat aneh kalau pemerintah keberatan melakukan dialog serupa, jika itu memang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan di Papua. Kecuali, masukan dari pihak yang mengambil untung dari konflik Papua mendominasi penolakan aspirasi dialog. Dengan bahasa lebih sederhana, pihak yang menolak dialog damai tidak lebih dari kelompok yang mengambil untung dari konflik Papua selama ini.

Namun, ada harapan besar terhadap para negarawan seperti H Jusuf Kalla untuk menginisiasi dialog di Papua seperti yang dilakukan bagi Aceh. Pada dasarnya orang Papua secara tradisi sudah tertanam nilai kejujuran, demokrasi, sportifitas, termasuk menghormati lawan. Semoga Papua menjadi tanah damai melalui dialog. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar