Kamis, 14 Maret 2013

“Polisi Tidur” dan Tertib Hukum


“Polisi Tidur” dan Tertib Hukum
Indra D Himrat   Wartawan Suara Karya     
SUARA KARYA, 13 Maret 2013


"Polisi tidur" sudah menjadi fenomena dan menjadi cermin bagaimana tertib hukum di tengah masyarakat. Polisi tidur yang dibuat tanpa aturan di jalan-jalan perumahan, lingkungan bahkan menyerempat ke jalan umum di perkotaan juga pedesaan mencerminkan tidak adanya tertib hukum di masyarakat di negeri ini. Bahkan, keberadaannya yang tanpa kendali juga mencerminkan centang perenangnya penegakan hukum.

Aneh tapi nyata, polisi tidur atau tanggul agar pengendara memperlambat kecepatannya di jalan-jalan umum di Indonesia tidak lagi terkontrol. Sehingga, tidak ada jalan yang luput dari polisi tidur. Meskipun sebenarnya tidak ada orang yang menginginkannya, tetapi keberadaan polisi tidur seperti dimaklumi dan dibiarkan sebagai "peraturan tidak resmi" untuk membatasi kecepatan atau laju kendaraan di jalan.

Melihat fenomena perkembangan polisi tidur tanpa kendali dan "mengganggu", nampaknya sudah saatnya ditertibkan. Karena, warga membuat penghalang laju kendaraan itu saenake dhewe. Ada orang yang membuat polisi tidur begitu tinggi bahkan ganda, dibuat dua berdekatan hanya berjarak satu meter. Ini jelas sangat mengganggu, karena pengendara seperti harus melalui rintangan yang bisa merusak kendaraan. "Polisi tidur kembar" ini membahayakan, dan mencelakakan selain merusak kendaraan. Kalau sekadar untuk mengurangi kecepatan pengendara kenapa harus dibuat tingga dan ganda, terutama bagi pengendara sepeda motor yang mudah terjatuh akibat "rintangan" itu.

Masalahnya lagi, kenapa polisi tidur itu tidak menjadi perhatian dari pihak terkait sehingga makin menjamur? Lalu, siapa yang harus menertibkannya agar tidak mengganggu pengendara? Apakah di negara lain juga seperti itu, polisi tidur dibuat "pengganti" rambu jalan untuk membatasi kecepatan pengendara yang di Indonesia harus diakui pengendara sudah "bandel" tidak mematuhi rambu atau marka jalan?

Dari sisi pengendara di jalan, keberadaan polisi tidur jelas sangat menganggu. Selain merusak, mencelakakan, tapi juga merepotkan, dan pemborosan dari sisi suku cadang dan penggunaan bahan bakar minyak (BBM).

Baiklah, dimaklumi polisi tidur di jalan itu tetap diperlukan mengingat orang Indonesia "bandel dan tidak taat hukum". Pengendara kendaraan bermotor sekarang banyak yang cuek dengan rambu atau marka jalan. Tetapi, tentu seharusnya dibuat dalam batas-batas yang wajar atau ada standarnya. Namun, lagi-lagi pertanyaannya adalah apa batasan yang wajar itu, sekaligus bisa dipatuhi bersama sehingga setiap orang tidak sesukanya membuat polisi tidur.

Keberadaaan polisi tidur di jalan-jalan itu sebenarnya hanya sebuah isyarat bahwa peraturan di jalan tidak lagi bisa ditegakkan melalui rambu dan marka jalan tidak lepas dari kelemahan penegak hukum sehingga orang bertindak sendiri membuat rintangan di jalan dengan tujuan agar pengendara tidak seenaknya memacu kendaraannya. Harus diakui, para pengendara itu sekarang sudah tidak bisa mematuhi rambu dan marka jalan yang dibuat untuk ketertiban di jalan. Tidak seperti dulu, orang taat dengan rambu dan marka jalan. Sekarang, malah petugas pun melakukan pelanggaran di jalan yang tentunya tidak ada orang yang akan menindaknya kecuali dirinya sendiri berlaku disiplin.

Tetapi, apakah hal ini menjadi sebuah cermin bahwa tidak hanya peraturan di jalan yang tidak bisa ditegakkan namun juga peraturan atau hukum tidak bisa ditegakkan lagi di negeri ini karena orang tidak mengindahkan hukum lagi?

Berbagai kasus berkaitan dengan penegakan hukum, seperti berlarut-larutnya kasus Bank Century, masalah Hambalang, dan sebagainya bisa dikatakan bahwa hukum nyaris tidak bisa ditegakkan disebabkan para penegakan hukum tidak lagi berfungsi menurut peran dan fungsi masing-masing. Bahkan, penegak hukum sendiri sudah melanggar hukum sehingga hukum tidak lagi memihak pada rasa keadilan bagi masyarakat.

Perlu dipahami bahwa penegakan hukum tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, penegakan hukum baru bisa dilakukan apabila diikuti dengan adanya rasa bersama untuk saling memahami bahwa hukum hanya bisa ditegakkan secara bersama di antara rakyat, para penegak hukum serta pemerintah pembuat aturan atau hukum itu. Tanpa adanya rasa atau kemauan bersama maka sulit menegakkan peraturan atau hukum itu. Selain itu, penegakan hukum bisa dilaksanakan bila ada budaya yang mendukung. Sementara budaya yang mendukung penegakan hukum ada jika ada konsitensi pelaksanaan hukum di tengah masyarakat. Artinya, berbagai kejadian penegakan hukum menjadi tempat belajar bagi masyarakat untuk ikut menegakkan hukum. Nah, pendidikan seperti ini bisa tidak selalu melalui bangku pendidikan formal tetapi ditularkan oleh terutama para pimpinan dan lebih utama lagi unsur penegak hukum di tengah masyarakat. Yaitu, melalui contoh atau teladan dari pihak-pihak tersebut terhadap orang banyak yang akan meniru mereka.

Di negeri ini, teladan ini juga menjadi masalah. Sulit bahkan nyaris tidak ada lagi keteladanan dari yang besar terhadap yang kecil, yang pintar terhadap orang biasa, pimpinan terhadap bawahan atau rakyat jelata dan sebagainya. Dahulu, malu menjadi "pembatas" antara boleh dan tidak boleh tetapi sekarang malu itu sudah hilang. Orang tidak malu lagi melanggar peraturan apalagi etika sosial yang sanksinya "hanya" malu. Sehingga orang tidak malu lagi misalnya melakukan korupsi sehiingga korupsi menjadi marak.

Itu sebabnya, penegakan hukum tidak bisa hanya dengan himbauan dan membuat peraturan sebanyak mungkin tanpa dilaksanakan secara konsekwen. Konsisten melaksanakan peraturan itu kemudian akan menjadi contoh atau teladan bahwa pemimpin tersebut taat dan mempunyai ketegasan dalam penegakan hukum. Tindakannya itu akan menjadi teladan bagi orang banyak yang secara bersama akan menjaga aturan itu sehingga tercipta tertib hukum di tengah masyarakat. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar