"Polisi tidur" sudah
menjadi fenomena dan menjadi cermin bagaimana tertib hukum di tengah
masyarakat. Polisi tidur yang dibuat tanpa aturan di jalan-jalan perumahan,
lingkungan bahkan menyerempat ke jalan umum di perkotaan juga pedesaan
mencerminkan tidak adanya tertib hukum di masyarakat di negeri ini. Bahkan,
keberadaannya yang tanpa kendali juga mencerminkan centang perenangnya
penegakan hukum.
Aneh tapi nyata, polisi tidur
atau tanggul agar pengendara memperlambat kecepatannya di jalan-jalan umum
di Indonesia tidak lagi terkontrol. Sehingga, tidak ada jalan yang luput
dari polisi tidur. Meskipun sebenarnya tidak ada orang yang
menginginkannya, tetapi keberadaan polisi tidur seperti dimaklumi dan
dibiarkan sebagai "peraturan tidak resmi" untuk membatasi
kecepatan atau laju kendaraan di jalan.
Melihat fenomena perkembangan
polisi tidur tanpa kendali dan "mengganggu", nampaknya sudah
saatnya ditertibkan. Karena, warga membuat penghalang laju kendaraan itu
saenake dhewe. Ada orang yang membuat polisi tidur begitu tinggi bahkan
ganda, dibuat dua berdekatan hanya berjarak satu meter. Ini jelas sangat
mengganggu, karena pengendara seperti harus melalui rintangan yang bisa
merusak kendaraan. "Polisi tidur kembar" ini membahayakan, dan
mencelakakan selain merusak kendaraan. Kalau sekadar untuk mengurangi
kecepatan pengendara kenapa harus dibuat tingga dan ganda, terutama bagi
pengendara sepeda motor yang mudah terjatuh akibat "rintangan"
itu.
Masalahnya lagi, kenapa polisi
tidur itu tidak menjadi perhatian dari pihak terkait sehingga makin menjamur?
Lalu, siapa yang harus menertibkannya agar tidak mengganggu pengendara?
Apakah di negara lain juga seperti itu, polisi tidur dibuat
"pengganti" rambu jalan untuk membatasi kecepatan pengendara yang
di Indonesia harus diakui pengendara sudah "bandel" tidak
mematuhi rambu atau marka jalan?
Dari sisi pengendara di jalan,
keberadaan polisi tidur jelas sangat menganggu. Selain merusak,
mencelakakan, tapi juga merepotkan, dan pemborosan dari sisi suku cadang
dan penggunaan bahan bakar minyak (BBM).
Baiklah, dimaklumi polisi
tidur di jalan itu tetap diperlukan mengingat orang Indonesia "bandel
dan tidak taat hukum". Pengendara kendaraan bermotor sekarang banyak
yang cuek dengan rambu atau marka jalan. Tetapi, tentu seharusnya dibuat
dalam batas-batas yang wajar atau ada standarnya. Namun, lagi-lagi
pertanyaannya adalah apa batasan yang wajar itu, sekaligus bisa dipatuhi
bersama sehingga setiap orang tidak sesukanya membuat polisi tidur.
Keberadaaan polisi tidur di
jalan-jalan itu sebenarnya hanya sebuah isyarat bahwa peraturan di jalan
tidak lagi bisa ditegakkan melalui rambu dan marka jalan tidak lepas dari
kelemahan penegak hukum sehingga orang bertindak sendiri membuat rintangan
di jalan dengan tujuan agar pengendara tidak seenaknya memacu kendaraannya.
Harus diakui, para pengendara itu sekarang sudah tidak bisa mematuhi rambu
dan marka jalan yang dibuat untuk ketertiban di jalan. Tidak seperti dulu,
orang taat dengan rambu dan marka jalan. Sekarang, malah petugas pun
melakukan pelanggaran di jalan yang tentunya tidak ada orang yang akan
menindaknya kecuali dirinya sendiri berlaku disiplin.
Tetapi, apakah hal ini menjadi
sebuah cermin bahwa tidak hanya peraturan di jalan yang tidak bisa
ditegakkan namun juga peraturan atau hukum tidak bisa ditegakkan lagi di
negeri ini karena orang tidak mengindahkan hukum lagi?
Berbagai kasus berkaitan
dengan penegakan hukum, seperti berlarut-larutnya kasus Bank Century,
masalah Hambalang, dan sebagainya bisa dikatakan bahwa hukum nyaris tidak
bisa ditegakkan disebabkan para penegakan hukum tidak lagi berfungsi
menurut peran dan fungsi masing-masing. Bahkan, penegak hukum sendiri sudah
melanggar hukum sehingga hukum tidak lagi memihak pada rasa keadilan bagi
masyarakat.
Perlu dipahami bahwa penegakan
hukum tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, penegakan hukum baru bisa
dilakukan apabila diikuti dengan adanya rasa bersama untuk saling memahami
bahwa hukum hanya bisa ditegakkan secara bersama di antara rakyat, para
penegak hukum serta pemerintah pembuat aturan atau hukum itu. Tanpa adanya
rasa atau kemauan bersama maka sulit menegakkan peraturan atau hukum itu.
Selain itu, penegakan hukum bisa dilaksanakan bila ada budaya yang
mendukung. Sementara budaya yang mendukung penegakan hukum ada jika ada
konsitensi pelaksanaan hukum di tengah masyarakat. Artinya, berbagai
kejadian penegakan hukum menjadi tempat belajar bagi masyarakat untuk ikut
menegakkan hukum. Nah, pendidikan seperti ini bisa tidak selalu melalui
bangku pendidikan formal tetapi ditularkan oleh terutama para pimpinan dan
lebih utama lagi unsur penegak hukum di tengah masyarakat. Yaitu, melalui
contoh atau teladan dari pihak-pihak tersebut terhadap orang banyak yang
akan meniru mereka.
Di negeri ini, teladan ini
juga menjadi masalah. Sulit bahkan nyaris tidak ada lagi keteladanan dari
yang besar terhadap yang kecil, yang pintar terhadap orang biasa, pimpinan
terhadap bawahan atau rakyat jelata dan sebagainya. Dahulu, malu menjadi
"pembatas" antara boleh dan tidak boleh tetapi sekarang malu itu
sudah hilang. Orang tidak malu lagi melanggar peraturan apalagi etika
sosial yang sanksinya "hanya" malu. Sehingga orang tidak malu
lagi misalnya melakukan korupsi sehiingga korupsi menjadi marak.
Itu sebabnya, penegakan hukum
tidak bisa hanya dengan himbauan dan membuat peraturan sebanyak mungkin
tanpa dilaksanakan secara konsekwen. Konsisten melaksanakan peraturan itu
kemudian akan menjadi contoh atau teladan bahwa pemimpin tersebut taat dan
mempunyai ketegasan dalam penegakan hukum. Tindakannya itu akan menjadi
teladan bagi orang banyak yang secara bersama akan menjaga aturan itu
sehingga tercipta tertib hukum di tengah masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar