MARI bertanya secara jujur.
Jika Anda termasuk orang yang berhasil saat ini, pastilah ada kontribusi
seorang guru di balik kesuksesan kita hari ini. Pertanyaannya, guru seperti
apa yang membuat hidup kita saat ini menjadi sangat berharga? Jawabannya
pasti merujuk kondisi sifat (adjective)
guru seperti modalitas jujur, baik hati, murah senyum, penolong, dan lain
sebagainya. Sesungguhnya, pada diri seorang guru, yang selalu diingat ialah
kualitas kedekatannya dan cara guru tersebut membangun hubungan dengan
siswanya yang menyebabkan seorang guru patut dipuji dan dihargai jasanya.
Hampir tak ada bukti kuat bahwa kualitas
seorang guru ditentukan pemahamannya, misalnya, terhadap kurikulum. Seberapa
komprehensif dan bagusnya sebuah kurikulum tak akan ada artinya jika para
guru tak memiliki hati dan keinginan untuk terus membangun ketulusan
hubungan emosional dengan siswa-siswi mereka. Sejalan dengan itu, semangat
pemerintah dalam mengubah orientasi kurikulum ke arah pengembangan sikap
siswa perlu diuji, seberapa jauh konsistensi kebijakan itu akan dilakukan
secara terus-menerus. Salah satu caranya dengan melihat bagaimana guru
dipersiapkan melalui mekanisme sosialisasi dan pelatihan yang cerdas dan
terarah, dengan perencanaan pengembangan profesional guru berbasis sekolah.
Itu artinya kurikulum baru yang akan
diberlakukan harus menjadi acuan para guru untuk membuktikannya melalui
serangkaian proses belajarmengajar yang baik dan benar. Pemerintah harus
terus mencari cara untuk membuktikan bahwa kurikulum baru nantinya tak
hanya menambah beban baru bagi para guru. Karena itu, memacu manajemen
sekolah untuk mengembangkan prinsip dasar ketersampaian pembelajaran secara
benar harus segera dilakukan. Buatlah skema dasar operasional sekolah yang
memungkinkan mereka merumuskan sendiri kelemahan dan kelebihannya (school mapping), menentukan tujuan
pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan guru dan siswa (objectives and lesson design),
memperbaiki sistem pengelolaan pembelajaran yang berkelanjutan dan efisien (scope and sequence), serta membuat
rangkaian sistem monitoring dan evaluasi pembelajaran dan manajemen sekolah
secara efektif-komprehensif (Jackson 1992).
Konsep dasar deep curriculum alignment penting untuk diajarkan kepada setiap
sekolah. Yakni, para guru dalam melakukan proses belajar-mengajar tidak
hanya mengejar target untuk ujian semata, tetapi juga mempersiapkan sikap
dan kemampuan siswa yang jauh lebih dari itu. Salah satu keunggulan prinsip
dasar deep curriculum alignment
ialah ketika evaluasi atau tes dilakukan, guru dapat memberikan gambaran
secara utuh tentang jarak (gap)
antara siswa satu dan siswa lainnya.
Dengan menggunakan sekolah sebagai basis
unit analisis pengembangan kompetensi, guru diharapkan akan menciptakan
sebuah desain kurikulum dan desain pembelajaran yang tidak hanya
menyenangkan buat siswa, tetapi juga dapat meningkatkan kreativitas guru
sekaligus siswa. Kompetensi sikap tak akan berjalan jika budaya sekolah
mengharamkan kreativitas guru dan siswa dalam mendesain sendiri pola
pembelajaran mereka. Karena itu, jika dunia pendidikan kita tidak mendorong
kreativitas anak-anak untuk tumbuh dan berkembang, jangan berharap dunia
pendidikan dapat mengurangi problem sosial-kemasyarakatan. Kreativitas
hanya akan tumbuh dan berkembang di lingkungan sekolah jika para pengambil
kebijakan pendidikan kita memiliki keberanian untuk berseberangan dengan
mainstream yang ada.
Budaya sekolah yang antikreativitas
biasanya selalu be kerja atas dasar premis saintifi k sehingga proses
belajar selalu berfokus pada hal-hal yang dapat diobservasi, dihipotesis
untuk kemudian dilakukan eksperimentasi. Siklus belajar jenis itu selalu
dimaknai sebagai sebuah kegiatan mengikuti petunjuk pelaksanaan (juklak)
dan petunjuk teknis (juknis) tentang bagaimana seharusnya sebuah proses
belajar di kelas tersebut dikemas, tetapi kurang memaknai proses apalagi
jika kemudian proses ditafsirkan juga secara kaku dan tak memberi peluang
kepada guru dan siswa untuk mencoba hal-hal baru.
Budaya sekolah kita perlu keluar dari
format mainstream yang sudah
demikian kronis, ketika guru kemudian menjadi tak berdaya karena
terbelenggu oleh aturan yang mematikan kreativitas mereka untuk mengajar.
Kondisi semacam itu tentu saja pada akhirnya akan menciptakan anak-anak
yang juga kehilangan asa dan imajinasi kreatif. Itu tentu juga akan
merugikan masa depan siswa itu sendiri meskipun guru dan siswa memercayai
kreativitas ialah anugerah Tuhan yang hampir pasti dimiliki setiap manusia.
Jika sistem dan budaya sekolah tidak memiliki kepekaan terhadap model
pembelajaran yang bisa merangsang tumbuhnya kreativitas, dunia pendidikan
Indonesia akan terus tertinggal.
Momentum perubahan kurikulum haruslah
ditandai sekaligus diikuti kebijakan yang benar dalam melihat beban guru
dalam konteks budaya sekolah. Kurikulum, sebagaimana kata aslinya, currere, yang berarti landasan pacu,
dalam metafora HAR Tilaar selalu berkaitan dengan jarak pacu, kudanya itu
sendiri, dan joki. Jika jarak pacu identik dengan dokumen tertulis dan
struktur kurikulum, kuda dan joki ibarat murid dan guru. Arena pacuan tersebut
haruslah ditempatkan dalam balutan lingkungan budaya sekolah yang positif,
dan karenanya penting untuk melihat peran lingkungan sekolah.
Banyak
hasil riset tentang pengembangan kurikulum menunjukkan perubahan kurikulum
sebaiknya selalu menimbang kebutuhan lokal sekolah dan budaya yang
berkembang di sekitarnya. Artinya, kontekstualisasi kurikulum dengan
menempatkannya di jantung sekolah (curriculum
school based program) ialah hal yang tidak bisa ditawar untuk dilakukan
jika tak ingin kurikulum baru bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum
sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar