Selasa, 19 Maret 2013

Sekali Lagi, Pengembangan Kurikulum Berbasis Sekolah


Sekali Lagi, Pengembangan Kurikulum Berbasis Sekolah
Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 18 Maret 2013


MARI bertanya secara jujur. Jika Anda termasuk orang yang berhasil saat ini, pastilah ada kontribusi seorang guru di balik kesuksesan kita hari ini. Pertanyaannya, guru seperti apa yang membuat hidup kita saat ini menjadi sangat berharga? Jawabannya pasti merujuk kondisi sifat (adjective) guru seperti modalitas jujur, baik hati, murah senyum, penolong, dan lain sebagainya. Sesungguhnya, pada diri seorang guru, yang selalu diingat ialah kualitas kedekatannya dan cara guru tersebut membangun hubungan dengan siswanya yang menyebabkan seorang guru patut dipuji dan dihargai jasanya.

Hampir tak ada bukti kuat bahwa kualitas seorang guru ditentukan pemahamannya, misalnya, terhadap kurikulum. Seberapa komprehensif dan bagusnya sebuah kurikulum tak akan ada artinya jika para guru tak memiliki hati dan keinginan untuk terus membangun ketulusan hubungan emosional dengan siswa-siswi mereka. Sejalan dengan itu, semangat pemerintah dalam mengubah orientasi kurikulum ke arah pengembangan sikap siswa perlu diuji, seberapa jauh konsistensi kebijakan itu akan dilakukan secara terus-menerus. Salah satu caranya dengan melihat bagaimana guru dipersiapkan melalui mekanisme sosialisasi dan pelatihan yang cerdas dan terarah, dengan perencanaan pengembangan profesional guru berbasis sekolah.

Itu artinya kurikulum baru yang akan diberlakukan harus menjadi acuan para guru untuk membuktikannya melalui serangkaian proses belajarmengajar yang baik dan benar. Pemerintah harus terus mencari cara untuk membuktikan bahwa kurikulum baru nantinya tak hanya menambah beban baru bagi para guru. Karena itu, memacu manajemen sekolah untuk mengembangkan prinsip dasar ketersampaian pembelajaran secara benar harus segera dilakukan. Buatlah skema dasar operasional sekolah yang memungkinkan mereka merumuskan sendiri kelemahan dan kelebihannya (school mapping), menentukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan guru dan siswa (objectives and lesson design), memperbaiki sistem pengelolaan pembelajaran yang berkelanjutan dan efisien (scope and sequence), serta membuat rangkaian sistem monitoring dan evaluasi pembelajaran dan manajemen sekolah secara efektif-komprehensif (Jackson 1992).

Konsep dasar deep curriculum alignment penting untuk diajarkan kepada setiap sekolah. Yakni, para guru dalam melakukan proses belajar-mengajar tidak hanya mengejar target untuk ujian semata, tetapi juga mempersiapkan sikap dan kemampuan siswa yang jauh lebih dari itu. Salah satu keunggulan prinsip dasar deep curriculum alignment ialah ketika evaluasi atau tes dilakukan, guru dapat memberikan gambaran secara utuh tentang jarak (gap) antara siswa satu dan siswa lainnya.

Dengan menggunakan sekolah sebagai basis unit analisis pengembangan kompetensi, guru diharapkan akan menciptakan sebuah desain kurikulum dan desain pembelajaran yang tidak hanya menyenangkan buat siswa, tetapi juga dapat meningkatkan kreativitas guru sekaligus siswa. Kompetensi sikap tak akan berjalan jika budaya sekolah mengharamkan kreativitas guru dan siswa dalam mendesain sendiri pola pembelajaran mereka. Karena itu, jika dunia pendidikan kita tidak mendorong kreativitas anak-anak untuk tumbuh dan berkembang, jangan berharap dunia pendidikan dapat mengurangi problem sosial-kemasyarakatan. Kreativitas hanya akan tumbuh dan berkembang di lingkungan sekolah jika para pengambil kebijakan pendidikan kita memiliki keberanian untuk berseberangan dengan mainstream yang ada.

Budaya sekolah yang antikreativitas biasanya selalu be kerja atas dasar premis saintifi k sehingga proses belajar selalu berfokus pada hal-hal yang dapat diobservasi, dihipotesis untuk kemudian dilakukan eksperimentasi. Siklus belajar jenis itu selalu dimaknai sebagai sebuah kegiatan mengikuti petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) tentang bagaimana seharusnya sebuah proses belajar di kelas tersebut dikemas, tetapi kurang memaknai proses apalagi jika kemudian proses ditafsirkan juga secara kaku dan tak memberi peluang kepada guru dan siswa untuk mencoba hal-hal baru.

Budaya sekolah kita perlu keluar dari format mainstream yang sudah demikian kronis, ketika guru kemudian menjadi tak berdaya karena terbelenggu oleh aturan yang mematikan kreativitas mereka untuk mengajar. Kondisi semacam itu tentu saja pada akhirnya akan menciptakan anak-anak yang juga kehilangan asa dan imajinasi kreatif. Itu tentu juga akan merugikan masa depan siswa itu sendiri meskipun guru dan siswa memercayai kreativitas ialah anugerah Tuhan yang hampir pasti dimiliki setiap manusia. Jika sistem dan budaya sekolah tidak memiliki kepekaan terhadap model pembelajaran yang bisa merangsang tumbuhnya kreativitas, dunia pendidikan Indonesia akan terus tertinggal.

Momentum perubahan kurikulum haruslah ditandai sekaligus diikuti kebijakan yang benar dalam melihat beban guru dalam konteks budaya sekolah. Kurikulum, sebagaimana kata aslinya, currere, yang berarti landasan pacu, dalam metafora HAR Tilaar selalu berkaitan dengan jarak pacu, kudanya itu sendiri, dan joki. Jika jarak pacu identik dengan dokumen tertulis dan struktur kurikulum, kuda dan joki ibarat murid dan guru. Arena pacuan tersebut haruslah ditempatkan dalam balutan lingkungan budaya sekolah yang positif, dan karenanya penting untuk melihat peran lingkungan sekolah.

Banyak hasil riset tentang pengembangan kurikulum menunjukkan perubahan kurikulum sebaiknya selalu menimbang kebutuhan lokal sekolah dan budaya yang berkembang di sekitarnya. Artinya, kontekstualisasi kurikulum dengan menempatkannya di jantung sekolah (curriculum school based program) ialah hal yang tidak bisa ditawar untuk dilakukan jika tak ingin kurikulum baru bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar