MASALAH buku teks saat ini men jadi topik yang hangat dibicarakan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh sampai harus `turun tangan' ikut
menyiapkan buku teks untuk pelaksanaan kurikulum 2013. Tampaknya Pak
Menteri tidak begitu yakin guru bisa membuat buku pelajaran sendiri yang
bermutu. Sebenarnya masyarakat berharap dan menunggu guru dapat membuat
buku sendiri sebagai media pembelajaran di sekolah. Dengan demikian,
orangtua akan banyak menghemat pengeluaran untuk biaya yang biasanya
dihabiskan untuk membeli buku.
Hingga saat ini buku masih dianggap mahal bagi orangtua, apalagi
jumlah buku yang harus dibeli biasanya banyak dan sudah ditentukan sekolah.
Belum lagi umur buku hanya seumur jagung; ganti tahun ajaran, ganti pula
bukunya.
Guru memang lahir ke dunia lebih dahulu daripada buku. Guru merupakan
agen informasi yang paling penting dalam proses pendidikan. Makin modern
sebuah bangsa berevolusi untuk menjadi makin maju, makin besar pula upaya
untuk memasukkan buku menjadi elemen terpenting kedua. Secara evolusioner,
pendidikan untuk pembelajaran itu berawal dari guru dahulu, baru ke buku.
Dari kacamata politik anggaran pendidikan, pemanfaatan dana bantuan
operasional sekolah (BOS) untuk buku sering menjadi masalah. Banyak kepala
sekolah mabuk kepayang karena mengurusi telepon dan tamu-tamu yang tak
diundang, baik dari penerbit ataupun penjual buku yang menawarkan bukunya.
Tak lupa ada iming-iming diskon selangit serta menggoda men tal dan iman.
Andaikan saja setiap guru di sekolah punya karya tulis sendiri, berupa
buku, niscaya kepala sekolah tidak perlu pusing tujuh keliling membeli
buku. Ia cukup membayar ongkos mikir dan nulis bagi guru yang bersangkutan,
maka guru akan menjadi kreatif dan produktif.
Rujukan Siswa
Hingga kini buku teks masih menjadi rujukan utama yang harus dibaca
siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Bahan pembelajaran lain
seperti CD, perpustakaan, televisi, internet, dan sejenisnya belum menjadi
rujukan utama media pembelajaran siswa dan guru dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan informasi.
Masih sedikit kepala sekolah yang mampu memberdayakan guru-gurunya
agar menulis buku untuk anak didik dan sekolah. Kepala sekolah tidak mau
capek-capek berurusan dengan guru dan cukup membeli dari penerbit yang
sudah ada. Apalagi kalau ada penerbit yang mau memberi diskon yang menarik,
plus fasilitas-fasilitas lain. Dampak dari kondisi itu telah membuat guru
semakin tidak kreatif dan inovatif karena kalah dari kepala sekolah yang
lebih kreatif membeli buku daripada membuat buku.
Masalahnya memang, ternyata menulis buku bagi kalangan guru kita masih
dianggap sulit dan tidak menguntungkan. Budaya menulis kalangan guru kita
masih rendah bila dibandingkan dengan budaya bicara atau ceramah. Hal itu
berbeda dengan pengalaman para dosen senior kita pada zaman dahulu. Para
dosen dahulu dikenal sebagai `diktator' karena setiap mengajar selalu
membawa `diktat' yang ditulisnya dan para mahasiswa harus mencatat isi
diktat tersebut hingga selesai.
Nah, kondisi itulah yang masih kurang membudaya di kalangan guru.
Guru kita masih senang mengajar dengan bahan ajar yang ditulis orang lain,
bukan dari diktat yang ditulisnya sendiri. Dalam istilah Arab populer
dikenal dengan intiqolul kutub ilal kutub (memindahkan dari satu buku ke
buku lainnya).
Dalam dunia globalisasi saat ini, telah terjadi perubahan yang terus-menerus
ketika peran guru dan buku akan tergeser oleh peran media lainnya, yakni
komputer dan internet. Peran guru memang masih diperlukan karena mereka
punya kelebihan sebagai living agent.
Beda halnya dengan buku dan media lainnya yang, di sisi lain, merupakan
sumber belajar sangat statis. Dua kekuatan itu, kalau harus memilih, mana
yang menjadi prioritas? Tidak mudah untuk menentukan karena kedua-duanya
mempunyai nilai yang tidak dapat dipisahkan.
Di banyak negara masih ditemukan, guru ialah satu-satunya faktor
penentu prestasi ketika tidak ada resources lainnya. Di daerah pedalaman,
peranan guru masih sangat dominan karena dia sumber informasi dan ilmu
pengetahuan. Guru masih menjadi simbol keteladanan dan sosok yang digugu
(didengar) dan ditiru (diikuti). Hal itu tidak lagi berlaku di daerah
perkotaan, sosok guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi
dalam dunia pendidikan.
Buku ialah guru terbaik dalam dunia ilmu dan menjadi salah satu
indikator penting dalam menentukan prestasi siswa. Untuk itu, di kemudian
hari diperlukan suatu kombinasi yang baik antara resources yang statis dan resources
yang hidup tadi. Kalau ada pemeo yang mengatakan guru itu digugu (didengar)
dan ditiru (diikuti), buku harusnya diburu (dicari) dan dituku (dibeli).
Buku
yang Bermakna
Buku
sesungguhnya merupakan media yang sangat penting dan strategis dalam dunia pendidikan.
Keberadaan buku bisa dikatakan sebagai penafsir pertama dan utama dari visi
dan misi sebuah pendidikan. Buku bisa dijadikan media untuk melakukan ‘jalan
pintas’ (by pass) dalam peningkatan mutu pendidikan dengan
mengeksplorasi lebih dalam topik-topik yang dibahas di buku tersebut.
Kita
sering menyamakan cerdas (smart)
dengan pintar intelligent). Buku
yang kita perlukan bukan hanya melulu membuat orang cerdas, yang bukan
hanya intelligent textbook (buku
pintar), melain kan juga harus mindful
text book (buku yang menggugah otak) pembaca.
Buku yang mindful ialah
buku yang memberi banyak perspektif bagi anak untuk berpikir, yang
disesuaikan dengan perkembangan anak. Buku tersebut dapat mengaitkan
persepsi lingkungan yang dihadapi anak dan mendorong anak mampu memersepsi
solusi yang mungkin penting untuknya. Hal itu men jadi penting karena
situasi tersebut menjadi a novel
situation, situasi yang senantiasa baru. Itu membuat para guru dan
siswa akan merasa tercerahkan oleh situasi dan tantangantantangan baru yang
menggoda nalar untuk selalu memperbarui cara pandang kita terhadap situasi
yang dirasakan atau diamati di lingkungan kita. Itu tentunya juga tidak mudah
sekalipun bukan mustahil.
Dalam kacamata Bahrul Hayat, buku yang baik ialah buku yang mampu
menggoda otak untuk berpikir dengan nalar yang dinamis. Ciri-ciri buku yang
baik ialah yang bermakna, mendorong semangat belajar atau tidak belajar,
menjadi perhatian, membangun kemandirian, dan punya makna untuk menemukan
nilai.
Ketika membaca sebuah buku, anak dipastikan akan dapat menangkap
pesan dan makna yang terkandung (meaningful).
Jangan sampai membaca lima halaman buku, tetapi tidak mendapat sense apa-apa.
Sebuah buku yang baik harus mampu menjadikan anak tahu makna dan hasil yang
diharapkan.
Ketika seseorang membaca sebuah buku, anak diharapkan akan
termotivasi untuk belajar tanpa harus dipaksa guru (motivational to learn). Karena buku medium belajar, dia juga
harus memuat motivational to unlearn.
Pada saat sesuatu dipersepsi secara salah, buku pelajaran juga harus bicara
salah. Buku harus berperan untuk mencopot hal-hal yang salah. Banyak
pendapat umum yang beredar selama ini salah dan buku harus mengatakan itu
salah. Dengan begitu, anak tidak lagi bertanya mana yang benar dan mana
yang salah.
Selain itu, buku yang baik ialah buku yang mampu mendorong anak untuk
memiliki atensi, perhatian, terhadap apa yang dia pelajari (keep attentive). Itu memang sulit.
Ketika membaca komik Kho Ping Hoo atau novel Harry Potter, misalnya, orang
akan sulit untuk berhenti. Ada apa? Ada magnet attentive yang berhasil
penulis tanamkan kepada pembaca agar terus mengikuti apa yang akan dia
sampaikan.
Karena peran guru di kelas juga terbatas, buku harus bisa membantu
atau mengisi kelemahan tersebut. Kalau buku-buku dikembangkan secara luas
dengan self study, para siswa akan terbiasa untuk mengembangkan pola
belajar yang mandiri. Last but not least, buku yang baik ialah buku yang mempunyai
makna untuk menemukan nilai dan etika yang relevan dengan kehidupan
kekinian dan nilai-nilai moral. Tanpa hal itu, anak-anak akan menemukan
hal-hal yang kontradiktif dalam diri mereka.
Memang tidak mudah menemukan buku dan media pembelajaran yang baik
dan bermakna bagi guru dan anak didik kita. Karena itu, diperlukan suatu
penyiapan situasi dan kondisi yang dinamis dan positif sehingga setiap guru
dapat menyiapkan dunia sekolahnya dengan mandiri sesuai dengan kebutuhan
dan tantangannya.
Nah, untuk menyiapkan kondisi itu, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan perlu melakukan berbagai latihan, lokakarya, atau seminar yang
dapat menyiapkan para guru dalam membuat buku dan bahan bacaan yang
bermakna bagi kehidupan masa depan anak didik.
Pengadaan buku pelajaran yang saat ini disiapkan Pak Nuh untuk
kurikulum 2013 rasanya justru tidak memacu kreativitas dan inovasi guru
kita tercinta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar