Selasa, 19 Maret 2013

Guru dan Buku yang Bermakna


Guru dan Buku yang Bermakna
Agus Sholeh  ;  Kandidat Doktor pada UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 18 Maret 2013


MASALAH buku teks saat ini men jadi topik yang hangat dibicarakan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh sampai harus `turun tangan' ikut menyiapkan buku teks untuk pelaksanaan kurikulum 2013. Tampaknya Pak Menteri tidak begitu yakin guru bisa membuat buku pelajaran sendiri yang bermutu. Sebenarnya masyarakat berharap dan menunggu guru dapat membuat buku sendiri sebagai media pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, orangtua akan banyak menghemat pengeluaran untuk biaya yang biasanya dihabiskan untuk membeli buku.
Hingga saat ini buku masih dianggap mahal bagi orangtua, apalagi jumlah buku yang harus dibeli biasanya banyak dan sudah ditentukan sekolah.
Belum lagi umur buku hanya seumur jagung; ganti tahun ajaran, ganti pula bukunya.
Guru memang lahir ke dunia lebih dahulu daripada buku. Guru merupakan agen informasi yang paling penting dalam proses pendidikan. Makin modern sebuah bangsa berevolusi untuk menjadi makin maju, makin besar pula upaya untuk memasukkan buku menjadi elemen terpenting kedua. Secara evolusioner, pendidikan untuk pembelajaran itu berawal dari guru dahulu, baru ke buku.

Dari kacamata politik anggaran pendidikan, pemanfaatan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk buku sering menjadi masalah. Banyak kepala sekolah mabuk kepayang karena mengurusi telepon dan tamu-tamu yang tak diundang, baik dari penerbit ataupun penjual buku yang menawarkan bukunya. Tak lupa ada iming-iming diskon selangit serta menggoda men tal dan iman. Andaikan saja setiap guru di sekolah punya karya tulis sendiri, berupa buku, niscaya kepala sekolah tidak perlu pusing tujuh keliling membeli buku. Ia cukup membayar ongkos mikir dan nulis bagi guru yang bersangkutan, maka guru akan menjadi kreatif dan produktif.

Rujukan Siswa

Hingga kini buku teks masih menjadi rujukan utama yang harus dibaca siswa, bahkan juga oleh sebagian besar guru. Bahan pembelajaran lain seperti CD, perpustakaan, televisi, internet, dan sejenisnya belum menjadi rujukan utama media pembelajaran siswa dan guru dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan informasi.

Masih sedikit kepala sekolah yang mampu memberdayakan guru-gurunya agar menulis buku untuk anak didik dan sekolah. Kepala sekolah tidak mau capek-capek berurusan dengan guru dan cukup membeli dari penerbit yang sudah ada. Apalagi kalau ada penerbit yang mau memberi diskon yang menarik, plus fasilitas-fasilitas lain. Dampak dari kondisi itu telah membuat guru semakin tidak kreatif dan inovatif karena kalah dari kepala sekolah yang lebih kreatif membeli buku daripada membuat buku.

Masalahnya memang, ternyata menulis buku bagi kalangan guru kita masih dianggap sulit dan tidak menguntungkan. Budaya menulis kalangan guru kita masih rendah bila dibandingkan dengan budaya bicara atau ceramah. Hal itu berbeda dengan pengalaman para dosen senior kita pada zaman dahulu. Para dosen dahulu dikenal sebagai `diktator' karena setiap mengajar selalu membawa `diktat' yang ditulisnya dan para mahasiswa harus mencatat isi diktat tersebut hingga selesai.

Nah, kondisi itulah yang masih kurang membudaya di kalangan guru. Guru kita masih senang mengajar dengan bahan ajar yang ditulis orang lain, bukan dari diktat yang ditulisnya sendiri. Dalam istilah Arab populer dikenal dengan intiqolul kutub ilal kutub (memindahkan dari satu buku ke buku lainnya).
Dalam dunia globalisasi saat ini, telah terjadi perubahan yang terus-menerus ketika peran guru dan buku akan tergeser oleh peran media lainnya, yakni komputer dan internet. Peran guru memang masih diperlukan karena mereka punya kelebihan sebagai living agent. Beda halnya dengan buku dan media lainnya yang, di sisi lain, merupakan sumber belajar sangat statis. Dua kekuatan itu, kalau harus memilih, mana yang menjadi prioritas? Tidak mudah untuk menentukan karena kedua-duanya mempunyai nilai yang tidak dapat dipisahkan.

Di banyak negara masih ditemukan, guru ialah satu-satunya faktor penentu prestasi ketika tidak ada resources lainnya. Di daerah pedalaman, peranan guru masih sangat dominan karena dia sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Guru masih menjadi simbol keteladanan dan sosok yang digugu (didengar) dan ditiru (diikuti). Hal itu tidak lagi berlaku di daerah perkotaan, sosok guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi dalam dunia pendidikan.

Buku ialah guru terbaik dalam dunia ilmu dan menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan prestasi siswa. Untuk itu, di kemudian hari diperlukan suatu kombinasi yang baik antara resources yang statis dan resources yang hidup tadi. Kalau ada pemeo yang mengatakan guru itu digugu (didengar) dan ditiru (diikuti), buku harusnya diburu (dicari) dan dituku (dibeli).

Buku yang Bermakna

Buku sesungguhnya merupakan media yang sangat penting dan strategis dalam dunia pendidikan. Keberadaan buku bisa dikatakan sebagai penafsir pertama dan utama dari visi dan misi sebuah pendidikan. Buku bisa dijadikan media untuk melakukan ‘jalan pintas’ (by pass) dalam peningkatan mutu pendidikan dengan mengeksplorasi lebih dalam topik-topik yang dibahas di buku tersebut.
Kita sering menyamakan cerdas (smart) dengan pintar intelligent). Buku yang kita perlukan bukan hanya melulu membuat orang cerdas, yang bukan hanya intelligent textbook (buku pintar), melain kan juga harus mindful text book (buku yang menggugah otak) pembaca.

Buku yang mindful ialah buku yang memberi banyak perspektif bagi anak untuk berpikir, yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Buku tersebut dapat mengaitkan persepsi lingkungan yang dihadapi anak dan mendorong anak mampu memersepsi solusi yang mungkin penting untuknya. Hal itu men jadi penting karena situasi tersebut menjadi a novel situation, situasi yang senantiasa baru. Itu membuat para guru dan siswa akan merasa tercerahkan oleh situasi dan tantangantantangan baru yang menggoda nalar untuk selalu memperbarui cara pandang kita terhadap situasi yang dirasakan atau diamati di lingkungan kita. Itu tentunya juga tidak mudah sekalipun bukan mustahil.

Dalam kacamata Bahrul Hayat, buku yang baik ialah buku yang mampu menggoda otak untuk berpikir dengan nalar yang dinamis. Ciri-ciri buku yang baik ialah yang bermakna, mendorong semangat belajar atau tidak belajar, menjadi perhatian, membangun kemandirian, dan punya makna untuk menemukan nilai.

Ketika membaca sebuah buku, anak dipastikan akan dapat menangkap pesan dan makna yang terkandung (meaningful). Jangan sampai membaca lima halaman buku, tetapi tidak mendapat sense apa-apa. Sebuah buku yang baik harus mampu menjadikan anak tahu makna dan hasil yang diharapkan.

Ketika seseorang membaca sebuah buku, anak diharapkan akan termotivasi untuk belajar tanpa harus dipaksa guru (motivational to learn). Karena buku medium belajar, dia juga harus memuat motivational to unlearn. Pada saat sesuatu dipersepsi secara salah, buku pelajaran juga harus bicara salah. Buku harus berperan untuk mencopot hal-hal yang salah. Banyak pendapat umum yang beredar selama ini salah dan buku harus mengatakan itu salah. Dengan begitu, anak tidak lagi bertanya mana yang benar dan mana yang salah.

Selain itu, buku yang baik ialah buku yang mampu mendorong anak untuk memiliki atensi, perhatian, terhadap apa yang dia pelajari (keep attentive). Itu memang sulit. Ketika membaca komik Kho Ping Hoo atau novel Harry Potter, misalnya, orang akan sulit untuk berhenti. Ada apa? Ada magnet attentive yang berhasil penulis tanamkan kepada pembaca agar terus mengikuti apa yang akan dia sampaikan.

Karena peran guru di kelas juga terbatas, buku harus bisa membantu atau mengisi kelemahan tersebut. Kalau buku-buku dikembangkan secara luas dengan self study, para siswa akan terbiasa untuk mengembangkan pola belajar yang mandiri. Last but not least, buku yang baik ialah buku yang mempunyai makna untuk menemukan nilai dan etika yang relevan dengan kehidupan kekinian dan nilai-nilai moral. Tanpa hal itu, anak-anak akan menemukan hal-hal yang kontradiktif dalam diri mereka.

Memang tidak mudah menemukan buku dan media pembelajaran yang baik dan bermakna bagi guru dan anak didik kita. Karena itu, diperlukan suatu penyiapan situasi dan kondisi yang dinamis dan positif sehingga setiap guru dapat menyiapkan dunia sekolahnya dengan mandiri sesuai dengan kebutuhan dan tantangannya.

Nah, untuk menyiapkan kondisi itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu melakukan berbagai latihan, lokakarya, atau seminar yang dapat menyiapkan para guru dalam membuat buku dan bahan bacaan yang bermakna bagi kehidupan masa depan anak didik.

Pengadaan buku pelajaran yang saat ini disiapkan Pak Nuh untuk kurikulum 2013 rasanya justru tidak memacu kreativitas dan inovasi guru kita tercinta. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar