Kamis, 07 Maret 2013

“Save Komnas HAM!”


“Save Komnas HAM!”
Mimin Dwi Hartono  ;  Penyelidik Komnas HAM
SINAR HARAPAN, 06 Maret 2013


Judul di atas adalah tagline dari gerakan staf Komnas HAM untuk menyelamatkan Komnas HAM yang masih dirundung konflik sejak beberapa bulan lalu. Sebagai supporting system, staf berupaya untuk berperan serta menengahi konflik yang terjadi di antara tiga belas komisioner Komnas HAM. Sebagai lembaga strategis dan milik publik, Komnas HAM harus diselamatkan dari kepentingan pribadi dan/atau kelompok.

Konflik telah mendapatkan perhatian yang sangat luas dari publik. Jika berkepanjangan, tugas pokok Komnas HAM di antaranya untuk menangani pengaduan pelanggaran HAM yang dalam setahun bisa mencapai kurang lebih 5.500 kasus, tidak akan efektif. Demikian pula dengan agenda reformasi birokrasi yang telah lama dirancang untuk memperbaiki pelayanan ke publik akan tertunda dan dirundung ketidakpastian.

Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada akhir Februari yang lalu berinisiatif memfasilitasi pertemuan antara komisioner dengan para mantan komisioner Komnas HAM yang menjabat sejak 1993 sampai dengan 2012. Sementara itu, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada awal Februari 2013 mengultimatum agar konflik segera diselesaikan secara internal dalam tempo sebulan. Jika tidak, akan dilakukan proses dan langkah politik oleh DPR. Perhatian pada Komnas HAM yang sangat tinggi harus disyukuri sebagai bukti bahwa publik masih peduli dan menginginkan agar Komnas HAM tetap kredibel.

Dewan Perwakilan Rakyat, LSM, media, dan pihak lainnya adalah mitra kerja Komnas HAM. Tanpa ada kerja sama yang sinergis dengan para mitra kerja, Komnas HAM tidak akan mampu berbuat maksimal dalam menegakkan HAM. Hal ini karena kewenangannya yang sangat terbatas menurut UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Komisi III DPR bisa saja menunda pembahasan revisi kedua undang-undang yang memayungi Komnas HAM tersebut jika konflik tidak terselesaikan sampai 11 Maret 2013. Ancaman untuk menunda persetujuan atas anggaran Komnas HAM dan memotong anggaran pun sempat mengemuka.

Untuk itu, dorongan dan peringatan dari Komisi III DPR yang meminta supaya kemelut segera diakhiri harus diperhatikan. Kemelut telah menyebabkan Komnas HAM ditinggalkan para mitra atau sekutunya. Komisioner harus sadar diri dan melakukan introspeksi agar masalah tidak semakin berkembang dan berkepanjangan, serta ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan di suasana yang keruh.

Dibiarkan Berkembang 
Pendapat saya, kemelut yang terjadi ini berkembang semakin kompleks dan akut karena dari awal ketika benih konflik muncul, tidak ada perhatian dan penanganan segera, secara transparan, dan partisipatif. Malahan, kemelut dibiarkan untuk berkembang karena kurang diperhatikannya masukan dan aspirasi dari pihak internal dan eksternal Komnas HAM yang meminta agar keputusan untuk mempersingkat masa pimpinan dari 2,5 tahun menjadi setahun dikaji kembali secara terbuka dan partisipatif. Keputusan tersebut berdampak banyak pada kinerja, manajemen, tata administrasi, penanganan kasus, dan sebagainya. Intinya, lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Jika yang dijadikan alasan adalah untuk membenahi sistem dan reformasi birokrasi, bukan demikian caranya.

Kemelut ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut tanpa ada solusi. Para mantan komisioner sudah memberikan masukan dan pertimbangan. Demikian pula dengan koalisi LSM, staf Komnas HAM, dan pihak lainnya demi kebaikan dan integritas Komnas HAM. Intinya, akan jauh lebih elegan dan efektif jika konflik diselesaikan secara internal secara bersungguh-sungguh. Jika penyelesaian konflik masuk pada ranah di DPR maka akan menjadi preseden yang tidak baik ke depan. Konflik ini diharapkan menjadi titik balik menuju sinergi dan perbaikan kinerja Komnas HAM.

Para pihak, khususnya komisioner yang berbeda pendapat dan pandangan, serta jajaran sekretariat jenderal yang sangat berperan dalam mendukung dan melaksanakan fungsi-fungsi Komnas HAM, harus berdialog dari hati ke hati secara terbuka dan berorientasi pada kepentingan publik. Sikap kaku dan posisi untuk tidak mau berkompromi akan menimbulkan masalah ikutan yang semakin ruwet, di antaranya kemungkinan muncul boikot dan gerakan delegitimasi dari berbagai lembaga negara, lembaga nonpemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat. Pada akhirnya, yang bersorak sorai adalah para pelanggar HAM dan para korban pelanggaran HAM akan menangis karena salah satu lembaga yang menjadi benteng keadilan berada di “ujung tanduk”.

Sesuai dengan ketentuan Paris Principles – prinsip-prinsip tentang Komisi Nasional HAM di seluruh dunia - ketiga belas komisioner Komnas HAM yang dipilih DPR berlatar belakang berbeda-beda (plural) untuk menjamin keterwakilan kelompok, profesi, etnis, dan sebagainya.
Keberagaman tersebut adalah potensi yang menyimpan kekuatan besar jika dikelola dengan baik dan didukung model kepemimpinan yang partisipatif serta akuntabel. Prinsip kolektif kolegial bertujuan agar ada sinergi potensi dan kekuatan antarkomisioner, dan bisa saling mengisi kekurangan dan kelemahan satu sama lain sehingga dihasilkan keputusan dan kebijakan yang mempunyai legitimasi kuat dan berkelanjutan.

Publik masih menaruh harapan agar terjadi rekonsiliasi antarkomisioner demi pulihnya kepercayaan publik terhadap Komnas HAM dan memulihkan integritas komisioner sebagai pejabat publik yang direkomendasikan dan didukung publik. Perjalanan Komnas HAM periode 2012-2017 masih jauh dan membutuhkan kerja sama dengan para pihak. Waktu yang diberikan oleh DPR untuk menyelesaikan konflik secara internal dan elegan tinggal menghitung hari. Untuk itu, para komisioner harus sesegera mungkin melakukan langkah-langkah menengahi konflik secara arif dan bijaksana dengan mengutamakan integritas Komnas HAM dan kepentingan publik.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar