Rabu, 06 Maret 2013

Anas dan Paradoks Partai Demokrat


Anas dan Paradoks Partai Demokrat
Amich Alhumami  ;  PhD lulusan Universitas Sussex, Inggris
MEDIA INDONESIA, 06 Maret 2013


SETELAH memastikan punya dua alat bukti yang meyakinkan yang diperoleh melalui serangkaian investigasi dan merampungkan penyusunan konstruksi hukum melalui gelar perkara, KPK akhirnya menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka dalam skandal korupsi berskala besar terkait dengan pembangunan pusat olahraga Hambalang, Bogor.

KPK memerlukan waktu sangat lama untuk sampai pada keputusan menetapkan Anas menjadi tersangka. Tidak pelak, waktu yang demikian lama itu memicu polemik panjang dan mengundang syak wasangka di kalangan masyarakat. Proses yang sangat lama juga menimbulkan sikap skeptis apakah KPK punya keberanian untuk menyeret Anas, yang punya political leverage tinggi dalam kapasitasnya sebagai ketua umum partai yang sedang berkuasa. Tidak mengherankan jika skandal korupsi Hambalang ini menyita perhatian publik yang demikian besar karena melibatkan para elite partai pemangku kekuasaan dan bersinggungan dengan tokoh-tokoh politik yang bertautan dengan lingkaran dalam istana.

Penetapan Anas sebagai tersangka dalam kasus korupsi merupakan titik balik yang menandai kejatuhan seorang politikus muda, brilian, berbakat. Dalam siklus kehidupan, ada ungkapan populer: easy come, easy go--sesuatu yang diperoleh dengan cepat akan mudah lepas secepat kilat. Dalam ungkapan Jawa disebut kebat kliwat. Demikian pula halnya dengan Anas, yang mampu mencapai puncak tangga kepemimpinan politik di sebuah partai dalam tempo sangat singkat. Begitu terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada Mei 2010-bahkan kemenangan Anas dianggap sangat spektakuler karena mampu mengalahkan calon unggulan yang direstui SBY--bintang Anas bersinar cemerlang dan terus berpendar-pendar menghiasi langit politik Indonesia.

Namun, masa keemasan Anas berlangsung sangat pendek. Seperti permainan dalam dramaturgi politik, kejatuhan Anas berlangsung begitu dramatis. Drama kejatuhan Anas itu mengharubirukan jagat perpolitikan nasional, sama halnya ketika ia berhasil meraih jabatan prestisius sebagai ketua umum partai yang sedang memegang kendali kekuasaan. Sungguh sayang, drama politik ini sarat dengan ironi karena Anas tersandung kasus korupsi yang membuatnya cacat moral. Padahal, integritas moral merupakan aspek paling fundamental bagi siapa pun yang menjadi tokoh publik atau memangku jabatan publik. Riwayat politik Anas yang penuh ironi berkelindan dengan Partai Demokrat yang juga sarat dengan paradoks. Anas dan Demokrat merupakan fenomena paradoksal dalam praktik perpolitikan nasional, yang menunjukkan betapa moralitas politik telah tergerus habis tak tersisa.

Paradoks Anas--juga para elite politik parpol lain--dan Demokrat bertumpu pada jargon politik yang diusung partai. Demokrat dengan penuh keyakinan menegaskan diri sebagai partai berbasis tiga nilai esensial: bersih, santun, cerdas. Karena itu, seluruh kader partai dan politisi Demokrat dituntut untuk menjunjung tinggi nilai-nilai utama dan harus mendasarkan setiap tindakan dan aktivitas politik mereka pada kredo politik tersebut. Mereka pun selalu merujuk pada figur SBY--sang patron utama dan tokoh sentral partai--sebagai citra ideal bagi segenap kader Demokrat.

Namun dalam praksis politik, jargon politik Demokrat sebagai partai bersih, santun, dan cerdas sangat jauh panggang dari api. Kredo politik yang diagungkan itu justru dicederai oleh kader-kader Demokrat sendiri. Serangkaian skandal korupsi yang melibatkan politisi Demokrat secara bergiliran menyeruak ke permukaan, terbongkar sampai ke akar bahkan menembus jantung kepemimpinan partai. Tidak mengherankan jika di tengahtengah masyarakat muncul sinisme terhadap Demokrat dengan memelintir jargon politik mereka: korupsi dengan cerdas dan santun! Kecerdasan untuk menelikung undangundang dan peraturan agar tidak terjerat hu kum; kesantunan untuk mengelabui masyarakat dengan menebarkan citra bersih guna meraih simpati publik. simpati publik.

Saksikan, Demokrat dengan lantang membuat klaim sebagai partai antikorupsi bahkan sang Ketua Dewan Pembina kerap berpidato berapi-api, yang menegaskan komitmen dalam pemberantasan dalam pemberantasan korupsi. Namun, dalam praktik justru bertolak belakang dengan jargon partai dan retorika politik antikorupsi. Tokohtokoh politik utama yang menempati posisi sentral di kepengurusan partai terlibat dalam skandal korupsi besar dengan daya magnitude politik demikian kuat. Fakta keras itu menunjukkan bahwa Partai Demokrat telah melakukan pengelabuan untuk melunakkan kata penipuan terhadap kepentingan publik yang mendambakan sebuah tata kelola pemerintahan yang bersih.

Skandal korupsi beruntun yang melibatkan para elite Demokrat bukan saja telah menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, melainkan juga memicu kemarahan publik yang selalu disuguhi perilaku tak terpuji di kalangan politisi korup. Hal yang membuat publik semakin marah adalah politisi Demokrat terus menyangkal suatu perbuatan tercela yang sudah sedemikian telanjang. Mereka tetap bersikukuh sebagai partai bersih dan memohon permakluman publik karena pelaku korupsi bukan hanya kader-kader Demokrat. Mereka membuat political excuse bahwa parpolparpol lain juga melakukan hal yang sama: korupsi! Itulah yang dilakukan oleh Dipo Alam--salah satu pungga wa istana--ketika ia me mublikasikan daftar peringkat kader kader parpol yang terjerat hukum karena terlibat kasus korupsi beberapa waktu lalu.

Sungguh, paradoks itu dengan jelas mempertontonkan hipokrisi politik yang demikian telanjang dari 
aktor-aktor politik Demokrat. Label hipokrisi politik tentu saja tepat disandang politisi Demokrat karena mereka melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kredo politik yang mereka yakini, bahkan dipidatokan di hadapan publik pula. Dari pendapa Cikeas, dari ruang konferensi pers kantor DPP di Kramat Raya, dari selasar Senayan, para petinggi Demokrat--yang difasilitasi para jurnalis dan disorot kamera televisi--terus memproduksi kalimat-kalimat propaganda antikorupsi, punya komitmen pada penegakan hukum untuk memerangi korupsi dan siap menunaikan amanat untuk menjalankan pemerintahan yang bersih. Namun, publik juga menyaksikan pertunjukan dari panggung yang lain: sidang pengadilan korupsi di kawasan Kuningan, politisi Demokrat terpuruk di depan majelis hakim peradilan tipikor dan menjadi pesakitan atas dakwaan korupsi.

Kelekatan kader-kader Demokrat dengan praktik korupsi sesungguhnya menegaskan adagium masyhur: there is no politics without corruption.
Bagi Demokrat--juga parpol-parpol lain--korupsi adalah jalan untuk meraih kekuasaan sekaligus sarana untuk mempertahankan kekuasaan agar dapat bertakhta lebih lama. Tanpa rasa malu, di depan publik politisi korup mempertontonkan karakter buruk: menebar janji-janji palsu, merangkai kebohongan demi kebohongan, menutup dusta dengan dusta yang lain sebagai tipu daya politik.

Agar tak terperdaya, publik perlu mengingat caveat berikut: in the end, most--not to mention all--politicians are liars!  Betapapun mereka terus bermuslihat, di atas panggung politik politisi korup acap kali bertekad akan mengantarkan bangsa ini menuju gerbang kemakmuran dan kesejahteraan. Namun, publik meyakini hanya dengan mengikis habis politisi korup, bangsa Indonesia dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan. Ungkapan getir ini layak menjadi renungan bersama: if you kill one politician you just get pollution, but if you kill all politicians you will get solution!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar