Sabtu, 16 Maret 2013

Kekuasaan Melayani


Kekuasaan Melayani
BS Mardiatmadja  ;  Rohaniman
KOMPAS, 16 Maret 2013


Ucapan Joko Widodo telah membuat beberapa teman tercengang. Beberapa saat setelah resmi dilantik menjadi Gubernur DKI, ia tegas mengatakan, ”Kekuasaan itu untuk melayani rakyat.”
Ucapan itu tak biasa. Satu-dua instansi dan perusahaan memakai slogan bahwa mereka mau melayani rakyat. Nyatanya, mereka menjadikan rakyat sekadar pelanggan, jauh dari menjadikan mereka ”ratu”. Malah mereka sering memeras atau menyiksa, kadang kala bahkan dengan peluru dan pukulan kayu.
Sultan Agung bergelar ”pemimpin rakyat lahir-batin”. Secara berkala ia dan beberapa anak dan cucunya membiasakan diri membuka ”pisowanan” agar rakyat dapat menyampaikan unek-unek. Tampak ia mencoba melayani rakyat betapapun—atau justru karena itu—ia amat dihormati. Hal serupa terjadi pada Sultan Hamengku Buwono IX yang dicintai rakyatnya.
Demokrasi Modern
Tata kepemimpinan modern kerap memilih demokrasi karena dirasa lebih manusiawi dibandingkan negara yang dipimpin oleh orang yang hanya karena darah dagingnya saja diberi kuasa memerintah. Dalam pemerintahan demokrasi, jarak antara pemerintah dan rakyat didekatkan partai-partai. Harapannya adalah bahwa para wakil rakyat itu dapat memperjuangkan kegembiraan dan harapan rakyat. Syukurlah kebanyakan anggota DPR dapat disebut membela kepentingan rakyat.
Namun, rusak susu sebelanga karena nila setitik. Walau sering dikatakan ”oknum anggota DPR atau partai” saja yang berbuat sa- lah, hukum sosiologis menegaskan bahwa multiplikasi kejahatan menyebabkan bahwa seluruh badan dinodai secara serius. Kenyataannya, akhir-akhir ini rakyat banyak dikecewakan. Terbuka mata rakyat, betapa banyak mereka yang telanjur disebut ”yang terhormat wakil rakyat itu” sulit dihormati ketika ketahuan saat menjabat telah merugikan rakyat dengan akal finansial dan yudisial serta politikal. Juga akal administratif atau birokratis.
Masalah itu lebih mencolok lagi tatkala ada puluhan orang yang dipilih menjadi pemuka daerah— karena dukungan partai—telah menodai kepercayaan rakyat dengan tindakan pidana: dari yang paling publik sampai yang paling intim. Dengan peristiwa yang mencolok itu, hukum sosiologis bertindak lebih kuat daripada kepastian hukum (yang, toh, sering tak diperlakukan kepada mereka, tetapi justru dikenakan kepada rakyat kecil). Peran partai untuk mewakili kepentingan rakyat sulit sekali dipercaya.
Banyak orang menyangsikan ketepatan penghitungan penelitian pendapat rakyat. Namun, kita semua tahu, betapa banyak ke- pala daerah yang menang di hadapan anggota partai lain, tetapi kalah terhadap kotak kosong dari golongan putih, golput. Betapa banyak orang sukar percaya pada mekanisme demokrasi yang paling sederhana, yakni pemungutan suara, apalagi dengan debat semu atau debat kusir di lantai legislatif.
Sayang ada sejumlah orang partai yang tetap berpendirian bahwa partai memang diadakan untuk merebut kekuasaan. Titik. Atas dasar itu dikiranya sah saja kalau saat memegang kuasa partai, lalu dicari segala upaya menguasai mekanisme kenegaraan. Dilupakan bahwa di dasar setiap sistem demokrasi yang sekian banyak jenisnya itu pun: kekuasaan harus tetap untuk membela kepentingan rakyat; bukan demi kepentingan anggota partai atau segelintir bagian partai (apalagi keuntungan materiil).
Partai untuk kepentingan partai sudah bukan zamannya lagi. Dalam waktu singkat, partai yang semacam itu tidak lagi kredibel dan akan ditinggalkan rakyat. Dari sudut jual beli suara pun, sikap itu sangat merugikan kalau orang berpikir jangka panjang. Akhirnya yang menguntungkan tetaplah kebijakan partai yang memiliki dasar etis. Di sana rakyat akan berkerumun.
Etika politik bukan sekadar kata indah dari filsuf atau pegangan Komisi Etik aneka badan. Etika politik sungguh ada dan berpengaruh di hati rakyat serta dipakai untuk secara nyata menilai orang partai. Sayang, etika itu jelas tidak tampak ketika pejabat secara terbuka lebih mengurusi partai daripada rakyat.
Modernisasi Partai
Sejumlah partai sibuk membenahi organisasi partai. Mungkin cara itu membantu rasa percaya diri, tetapi tidak akan menaikkan elektabilitas partai. Elektabilitas partai bergantung pada kepercayaan di hati rakyat. Oleh sebab itu, tebar pesona atau jual air mata atau permintaan belas kasihan dari Panitia Pemilihan Umum mungkin saja dapat menolong dari sisi pranata hukum.
Namun, sudah lama jelas tidak mungkin akan menaikkan elektabilitas. Naik turun elektabilitas sangat bergantung pada mencuat tidaknya etika berpolitik tokoh partai yang bersangkutan.
Hal itu sama sekali tidak bergantung pada modal finansial atau modal kader, melainkan bersangkutan dengan nilai etis yang dipertontonkan partai atau tokoh-tokohnya. Sangat mungkin pada momentum tertentu seorang tokoh digandrungi rakyat, misalnya karena rakyat berpegang pada ”asal bukan si Anu”. Bukan mustahil kalau dulu seorang tokoh dipilih karena melihat bahwa dia ditindas oleh penguasa sehingga diperdagangkanlah belas kasihan secara politis. Namun, pada kali lain, rakyat yang menagih janji. Tidak mudah menemukan nilai pada ratapan atau manipulasi sentimentalitas.
Rakyat semakin butuh satu- nya kata dengan perbuatan, yang antara lain sangat ditentukan banyak data dan fakta di lapangan. Partai yang berseru dengan lantunan madah agama tidak lagi akan didengarkan rakyat, yang telinganya melihat kebobrokan pelaku partai itu. Jadi, justru bertentangan dengan iklan partai itu saat kampanye.
Partai yang meneriakkan kebangsaan pun akan kehilangan perhatian rakyat bila tidak menunjukkan langkah yang nyata membela modal Indonesia di dunia internasional, karena menjual negara melalui saham BUMN atau tender usaha hutan maupun pertambangan setiap kali berkuasa.
Saat ini rakyat sulit lupa akan data masa silam, yang amat mudah diunduh dari dunia virtual. Diperlukan generasi muda partai yang memberi bukti satunya kata dengan perbuatan dan membawa Indonesia ke masa depan penuh harapan.
Para generasi tua harus secara sadar memberi tempat kepada generasi baru. Cita-cita lama partai harus diperbarui: tidak hanya kata-katanya, tetapi juga arah nyatanya. Tidak mungkin lagi rakyat percaya kepada pemimpin yang di mulut mengatakan mengundang kader, tetapi dalam praktik tak pernah mempercayai orang baru.
Politisi dan para pejabat kita juga perlu membangun program dan etika politik yang lebih baik: sungguh-sungguh melayani rakyat. Diperlukan undang-undang dan program daerah serta mekanisme pelayanan kementerian, perusahaan, dan pemerintah daerah yang sungguh memihak rakyat kecil.
Partai-partai melakukan kelalaian besar sekali apabila menikmati saja sebutan ”Yang terhormat Wakil Rakyat” dan sibuk apa-apa saja kecuali mendekatkan diri kepada Tuan yang harus dilayani: rakyat. Kekuasaan sungguh harus melayani rakyat. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar