Ucapan Joko Widodo telah membuat
beberapa teman tercengang. Beberapa saat setelah resmi dilantik menjadi
Gubernur DKI, ia tegas mengatakan, ”Kekuasaan
itu untuk melayani rakyat.”
Ucapan itu tak biasa. Satu-dua
instansi dan perusahaan memakai slogan bahwa mereka mau melayani rakyat.
Nyatanya, mereka menjadikan rakyat sekadar pelanggan, jauh dari menjadikan
mereka ”ratu”. Malah mereka sering memeras atau menyiksa, kadang kala
bahkan dengan peluru dan pukulan kayu.
Sultan Agung bergelar ”pemimpin rakyat lahir-batin”.
Secara berkala ia dan beberapa anak dan cucunya membiasakan diri membuka
”pisowanan” agar rakyat dapat menyampaikan unek-unek. Tampak ia mencoba
melayani rakyat betapapun—atau justru karena itu—ia amat dihormati. Hal
serupa terjadi pada Sultan Hamengku Buwono IX yang dicintai rakyatnya.
Demokrasi Modern
Tata kepemimpinan modern kerap
memilih demokrasi karena dirasa lebih manusiawi dibandingkan negara yang
dipimpin oleh orang yang hanya karena darah dagingnya saja diberi kuasa
memerintah. Dalam pemerintahan demokrasi, jarak antara pemerintah dan
rakyat didekatkan partai-partai. Harapannya adalah bahwa para wakil rakyat
itu dapat memperjuangkan kegembiraan dan harapan rakyat. Syukurlah
kebanyakan anggota DPR dapat disebut membela kepentingan rakyat.
Namun, rusak susu sebelanga karena
nila setitik. Walau sering dikatakan ”oknum anggota DPR atau partai” saja
yang berbuat sa- lah, hukum sosiologis menegaskan bahwa multiplikasi
kejahatan menyebabkan bahwa seluruh badan dinodai secara serius.
Kenyataannya, akhir-akhir ini rakyat banyak dikecewakan. Terbuka mata
rakyat, betapa banyak mereka yang telanjur disebut ”yang terhormat wakil
rakyat itu” sulit dihormati ketika ketahuan saat menjabat telah merugikan
rakyat dengan akal finansial dan yudisial serta politikal. Juga akal
administratif atau birokratis.
Masalah itu lebih mencolok lagi
tatkala ada puluhan orang yang dipilih menjadi pemuka daerah— karena
dukungan partai—telah menodai kepercayaan rakyat dengan tindakan pidana:
dari yang paling publik sampai yang paling intim. Dengan peristiwa yang
mencolok itu, hukum sosiologis bertindak lebih kuat daripada kepastian
hukum (yang, toh, sering tak diperlakukan kepada mereka, tetapi justru
dikenakan kepada rakyat kecil). Peran partai untuk mewakili kepentingan
rakyat sulit sekali dipercaya.
Banyak orang menyangsikan
ketepatan penghitungan penelitian pendapat rakyat. Namun, kita semua tahu,
betapa banyak ke- pala daerah yang menang di hadapan anggota partai lain,
tetapi kalah terhadap kotak kosong dari golongan putih, golput. Betapa
banyak orang sukar percaya pada mekanisme demokrasi yang paling sederhana,
yakni pemungutan suara, apalagi dengan debat semu atau debat kusir di
lantai legislatif.
Sayang ada sejumlah orang partai
yang tetap berpendirian bahwa partai memang diadakan untuk merebut
kekuasaan. Titik. Atas dasar itu dikiranya sah saja kalau saat memegang
kuasa partai, lalu dicari segala upaya menguasai mekanisme kenegaraan.
Dilupakan bahwa di dasar setiap sistem demokrasi yang sekian banyak
jenisnya itu pun: kekuasaan harus tetap untuk membela kepentingan rakyat;
bukan demi kepentingan anggota partai atau segelintir bagian partai
(apalagi keuntungan materiil).
Partai untuk kepentingan partai
sudah bukan zamannya lagi. Dalam waktu singkat, partai yang semacam itu
tidak lagi kredibel dan akan ditinggalkan rakyat. Dari sudut jual beli
suara pun, sikap itu sangat merugikan kalau orang berpikir jangka panjang.
Akhirnya yang menguntungkan tetaplah kebijakan partai yang memiliki dasar
etis. Di sana rakyat akan berkerumun.
Etika politik bukan sekadar kata
indah dari filsuf atau pegangan Komisi Etik aneka badan. Etika politik
sungguh ada dan berpengaruh di hati rakyat serta dipakai untuk secara nyata
menilai orang partai. Sayang, etika itu jelas tidak tampak ketika pejabat
secara terbuka lebih mengurusi partai daripada rakyat.
Modernisasi Partai
Sejumlah partai sibuk membenahi
organisasi partai. Mungkin cara itu membantu rasa percaya diri, tetapi
tidak akan menaikkan elektabilitas partai. Elektabilitas partai bergantung
pada kepercayaan di hati rakyat. Oleh sebab itu, tebar pesona atau jual air
mata atau permintaan belas kasihan dari Panitia Pemilihan Umum mungkin saja
dapat menolong dari sisi pranata hukum.
Namun, sudah lama jelas tidak
mungkin akan menaikkan elektabilitas. Naik turun elektabilitas sangat
bergantung pada mencuat tidaknya etika berpolitik tokoh partai yang
bersangkutan.
Hal itu sama sekali tidak
bergantung pada modal finansial atau modal kader, melainkan bersangkutan
dengan nilai etis yang dipertontonkan partai atau tokoh-tokohnya. Sangat
mungkin pada momentum tertentu seorang tokoh digandrungi rakyat, misalnya
karena rakyat berpegang pada ”asal bukan si Anu”. Bukan mustahil kalau dulu
seorang tokoh dipilih karena melihat bahwa dia ditindas oleh penguasa
sehingga diperdagangkanlah belas kasihan secara politis. Namun, pada kali
lain, rakyat yang menagih janji. Tidak mudah menemukan nilai pada ratapan
atau manipulasi sentimentalitas.
Rakyat semakin butuh satu- nya
kata dengan perbuatan, yang antara lain sangat ditentukan banyak data dan
fakta di lapangan. Partai yang berseru dengan lantunan madah agama tidak
lagi akan didengarkan rakyat, yang telinganya melihat kebobrokan pelaku
partai itu. Jadi, justru bertentangan dengan iklan partai itu saat
kampanye.
Partai yang meneriakkan kebangsaan
pun akan kehilangan perhatian rakyat bila tidak menunjukkan langkah yang
nyata membela modal Indonesia di dunia internasional, karena menjual negara
melalui saham BUMN atau tender usaha hutan maupun pertambangan setiap kali
berkuasa.
Saat ini rakyat sulit lupa akan
data masa silam, yang amat mudah diunduh dari dunia virtual. Diperlukan
generasi muda partai yang memberi bukti satunya kata dengan perbuatan dan
membawa Indonesia ke masa depan penuh harapan.
Para generasi tua harus secara
sadar memberi tempat kepada generasi baru. Cita-cita lama partai harus
diperbarui: tidak hanya kata-katanya, tetapi juga arah nyatanya. Tidak
mungkin lagi rakyat percaya kepada pemimpin yang di mulut mengatakan
mengundang kader, tetapi dalam praktik tak pernah mempercayai orang baru.
Politisi dan para pejabat kita
juga perlu membangun program dan etika politik yang lebih baik:
sungguh-sungguh melayani rakyat. Diperlukan undang-undang dan program
daerah serta mekanisme pelayanan kementerian, perusahaan, dan pemerintah
daerah yang sungguh memihak rakyat kecil.
Partai-partai melakukan kelalaian
besar sekali apabila menikmati saja sebutan ”Yang terhormat Wakil Rakyat” dan sibuk apa-apa saja kecuali
mendekatkan diri kepada Tuan yang harus dilayani: rakyat. Kekuasaan sungguh
harus melayani rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar