Rabu, 06 Maret 2013

Menemani Ibu-Ibu Melawan Stress


Menemani Ibu-Ibu Melawan Stress
Niken Safitri Dyan K ;  Pengajar pada Program Studi Ilmu Keperawatan
(PSIK) FK Undip
JAWA POS, 06 Maret 2013


MIRIS rasanya melihat tayangan berita TV maupun membaca berita akhir-akhir ini tentang kriminalitas menonjol yang dilakukan perempuan, sosok ibu yang seharusnya melindungi buah hatinya. Ibu membunuh anak kandungnya dengan membenamkan kepala sang anak ke bak mandi dengan alasan malu karena kemaluan anaknya mengecil setelah disunat. Kasus lain, perempuan di Malang, Jawa Timur, membunuh anak kandungnya dengan cara meminumkan obat serangga, kemudian bunuh diri dengan cara gantung diri. Kasus-kasus semacam ini muncul dan tenggelam, tapi tetap mengejutkan. 

Memang, tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terus berjalan tanpa menunggu siapa pun. Ketegangan atau stres menjadi gejala umum. Terlebih pada ibu yang mengemban tanggung jawab lebih besar dalam mendidik dan mengasuh anak. Anak-anak umumnya menghabiskan sebagian besar waktu mereka bersama ibu daripada dengan ayah. 

Bila diamati, baik ibu yang mengejar karir maupun bekerja mengurus rumah tangga, lebih letih dan rentan terhadap stres. Hubungan dengan anak dan suami maupun hubungan dengan orang-orang dalam lingkungan, kepribadian ibu, tuntutan fisiologis ibu, dan berbagai hal yang tidak bisa dikontrol oleh ibu merupakan sumber stres. Belum lagi problem psikologis yang sering menghantui mereka jika penampilan dan "kepemilikan"-nya tidak sama dengan lingkungan sekitarnya. Bahkan, jika semua kebutuhan materi dipenuhi oleh sang suami, berbagai tingkat kebosanan cepat menyerangnya. 

Seorang ibu yang bekerja, setelah berkutat dengan berbagai urusan pekerjaan, begitu kembali ke rumah mereka diharuskan mengurus anak dan melayani suami. Mempertahankan keluarga agar tetap harmonis dan menjadikan rumah sebagai surga bagi anggota keluarga tidaklah mudah.

Sebuah penelitian ilmiah menunjukkan paradoks aneh. Yakni, para wanita yang percaya bahwa karir dan rumah tangga dapat berjalan seimbang berisiko terkena depresi jauh lebih tinggi dibandingkan para wanita karir yang menerima kenyataan bila karir dan rumah tangga sulit berjalan dengan seimbang. 

Melihat ini semua, sudah selayaknya kita mulai merenung dan introspeksi diri karena peristiwa-peristiwa dalam hidup pasti ada sebab dan akibatnya. Apakah para ibu yang notabene sudah melakukan banyak peran itu mengalami stres? Sebab, apabila kondisi stres ini tidak ditangani secara serius, sangat dimungkinkan akan berpengaruh terhadap cara mengasuh anak. Pada akhirnya tanpa disadari hal itu dapat menyakiti anak-anak, baik secara verbal maupun fisik, bahkan berakibat mematikan.

Stres Maladaptif 

Ketika mengalami stres, orang menggunakan energi fisik, psikis, sosial budaya, dan spiritual untuk beradaptasi. Jumlah energi yang dibutuhkan dan efektivitasnya bergantung pada intensitas, lingkup, dan jangka waktu stressor, serta jumlah stressor lain. Namun, ketika stres tidak dapat diadaptasi dengan baik, akan timbul stres maladapatif. Kiranya inilah faktor umum penyebab perilaku tak terkontrol. Meskipun begitu, perlu pemeriksaan detail untuk memastikan problem psikologi memang dialami para ibu yang bertindak kebablasan.

Lebih jauh, sudah selayaknya seorang perempuan mempunyai sumber dukungan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan kaum Adam. Mereka harus mendapatkan jaminan tidak hanya material, tetapi juga spiritual dan emosional untuk mengompensasi stres yang dirasakan. Terlebih untuk para ibu di kelompok marginal yang selama ini terbelit kemiskinan dan keterbelakangan. 

Perlu dibentuk kelompok (klub) yang beranggota ibu-ibu dengan mentor orang-orang yang ahli di bidangnya untuk mengatasi hal ini. Dalam kelompok tersebut dibuat sebuah komunitas yang terdiri atas orang-orang yang senasib sepenanggungan, dan sekali-kali perlu didatangkan "bintang tamu" yang dapat memberikan energi baru agar mereka bisa berbuat dan melakukan sesuatu.

Di dalam kelompok itu individu-individu akan merasa dibimbing dan diarahkan untuk mengungkapkan pikiran secara bebas. Mereka juga dapat bertukar pikiran layaknya anak kuliah yang sedang berdiskusi dengan teman dan dosennya. Masukan-masukan itu akan memberikan wacana baru dan membuka pikiran untuk melihat sesuatu di luar kebiasaan dan rutinitas. Biarkan mereka keluar dari tempurung untuk melihat dunia yang begitu luas dengan kemungkinan nyaris tak terbatas.

Dengan ini semua, kiranya baik dari segi psikologis, emosional, maupun kognitif, seseorang dapat mengambil sebuah keputusan dan tindakan yang lebih tepat. Mereka pun dapat menahan diri untuk melakukan hal-hal yang sekiranya tidak pada jalurnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar