Jumat, 08 Maret 2013

Rindu Buruh pada Comandante Chavez


Rindu Buruh pada Comandante Chavez
Endang Suarini  ;  Aktivis Buruh di Sidoarjo
JAWA POS, 08 Maret 2013
  

SETIAP tahun, pada 8 Maret, kita memperingati Hari Perempuan Internasional (HPI). Meski kini fokus HPI lebih untuk merayakan keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik, dan sosial, sejatinya gagasan awal HPI berasal dari protes kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil di New York pada 8 Maret 1857. Mereka memprotes apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Ketika berdemo, mereka diserang dan dibubarkan oleh polisi dan jatuh banyak korban.

Meski kita sudah memasuki abad ke-21, di berbagai belahan penjuru dunia, termasuk negeri kita, kesejahteraan para buruh, khususnya para buruh perempuan, belum bisa dikatakan baik. Meski mulai awal 2013 sudah berlaku UMK baru yang relatif lebih baik, masih banyak perusahaan meminta penangguhan sehingga masih cukup banyak buruh bekerja dengan standar upah yang lama.

UMK Belum Jaminan 

Sebenarnya besaran UMK yang baru pun belum sepenuhnya menjamin kesejahteraan. Sebab, jika mau jujur, ongkos buruh kita masih di bawah 10 persen dari biaya produksi. Padahal, upah buruh di negara-negara Asia lainnya sudah di atas angka tersebut. Upah itu akan membawa ironi jika dibandingkan dengan gaji orang asing yang kini mulai memenuhi dunia tenaga kerja kita. Bayangkan, gaji pekerja asing yang baru datang, sesuai regulasi dan kebijakan yang berlaku, bisa 30-50 kali lipat dari buruh perempuan yang sudah 5-10 tahun bekerja.

Memang, kalau kita membicarakan kebijakan pemerintah atau regulasi yang berlaku, seperti UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, undang-undang tersebut belum sepenuhnya mampu melindungi dan menjamin kepentingan buruh kita yang perempuan.

Meski demikian, para buruh masih sering menghibur diri bahwa nasibnya masih lebih baik daripada teman-teman mereka yang terpaksa di-PHK atau menganggur. Kementerian Tenaga Kerja menargetkan tingkat pengangguran pada 2013 di kisaran 5,8 persen hingga 6,1 persen. Atau dengan kata lain, jumlah penganggur di Indonesia dipatok 7,2-7,4 juta orang. Namun berbagai asumsi kasar menyebutkan, sebenarnya jumlah penganggur 8 juta lebih. Itu belum terhitung jumlah penganggur setengah terbuka yang mencapai 25 juta jiwa sehingga total penganggur di negeri ini sekarang 33 juta jiwa.

Tidak heran, mengingat kondisi menganggur, sementara lapangan kerja di negeri ini sangat terbatas, jutaan orang terpaksa menjadi buruh migran di negeri orang. Banyak konsekuaensinya, antara lain, disiksa, diperkosa, dan pulang ke tanah air tinggal nama.

Gambaran muram seperti di atas mengingatkan kita akan pernyataan filsuf Martin Heidegger bahwa eksistensi (keberadaan) manusia itu seperti dilemparkan begitu saja dalam keadaan yang tidak pernah dikehendaki sebelumnya. Menurut Ortega Y. Gasset, seolah-olah kehidupan itu ditembakkan secara langsung, tanpa dapat mengatakan, ''Tahan dulu, saya belum siap. Tunggu, hingga segala sesuatunya telah saya pilih dan perhitungkan.''

Para buruh kita, terutama yang perempuan, kerap dipaksa menjalani kehidupan sebagai manusia lemah, sebagai wong cilik yang tak berdaya. Sejauh kesempatan kerja diisyaratkan dengan otot dan peluh, sejauh itu pula tenaga mereka punya arti. Itulah kenyataan yang oleh Karl Marx disebut sebagai alienasi. Para buruh semakin terasing dengan pekerjaannya, semakin terasing dengan hidup dan masa depannya. Dengan demikian, pekerjaan yang dihadapi para buruh tidak menjadi ungkapan dari aktualisasi diri seperti diharapkan oleh Gibran, tetapi menjadi alienasi yang mengenaskan. Bekerja, upah rendah. Tidak bekerja juga bertambah tidak enak. Serba dilematis.

Kematian Chavez 

Dalam situasi seperti ini, penulis teringat kepada Hugo Chavez yang berani memihak kaum marginal seperti buruh dan dengan kebijakannya martabat para buruh diangkat. Chavez dengan sosialisme dan revolusi Bolivarian-nya memang terbukti mampu memberikan kesejahteraan kepada para buruh. 

Kesejahteraan itu diawali ketika para buruh mau bersatu dan bergabung dalam perjuangan sosialisme Chavez, yang berbasis kekuatan rakyat (terutama buruh dan petani). Ketika mereka bersatu menggalang kekuatan, benteng neoliberalisme yang angkuh dan tamak serta hanya memihak yang kuat bisa dirobohkan. Dalam struktur neoliberal semacam itu, Chavez yakin ada dosa struktural bagi kaum lemah seperti buruh.

Maka, ketika memenangi pemilu presiden pada 1998, Chavez langsung mengubah konsitusi dan membuat kebijakan yang pro wong cilik (buruh dan petani) -sebagaimana Chavez sendiri juga berasal dari kalangan ini- seperti program kesehatan dan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi, perumahan murah, serta membagi devisa dari keuntungan minyak untuk kaum miskin. Tak heran, kematian Chavez pada Selasa (5/3) sungguh ditangisi banyak wong cilik, termasuk para buruh. Kapan negeri ini melahirkan pemimpin sekaliber Chavez?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar