SETIAP tahun,
pada 8 Maret, kita memperingati Hari Perempuan Internasional (HPI). Meski
kini fokus HPI lebih untuk merayakan keberhasilan kaum perempuan di bidang
ekonomi, politik, dan sosial, sejatinya gagasan awal HPI berasal dari
protes kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil di New York pada 8
Maret 1857. Mereka memprotes apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja
yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Ketika berdemo, mereka
diserang dan dibubarkan oleh polisi dan jatuh banyak korban.
Meski kita sudah memasuki abad ke-21, di berbagai belahan
penjuru dunia, termasuk negeri kita, kesejahteraan para buruh, khususnya
para buruh perempuan, belum bisa dikatakan baik. Meski mulai awal 2013
sudah berlaku UMK baru yang relatif lebih baik, masih banyak perusahaan
meminta penangguhan sehingga masih cukup banyak buruh bekerja dengan
standar upah yang lama.
UMK Belum Jaminan
Sebenarnya besaran UMK yang baru pun belum sepenuhnya
menjamin kesejahteraan. Sebab, jika mau jujur, ongkos buruh kita masih di bawah
10 persen dari biaya produksi. Padahal, upah buruh di negara-negara Asia
lainnya sudah di atas angka tersebut. Upah itu akan membawa ironi jika
dibandingkan dengan gaji orang asing yang kini mulai memenuhi dunia tenaga
kerja kita. Bayangkan, gaji pekerja asing yang baru datang, sesuai regulasi
dan kebijakan yang berlaku, bisa 30-50 kali lipat dari buruh perempuan yang
sudah 5-10 tahun bekerja.
Memang, kalau kita membicarakan kebijakan pemerintah atau
regulasi yang berlaku, seperti UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan,
undang-undang tersebut belum sepenuhnya mampu melindungi dan menjamin
kepentingan buruh kita yang perempuan.
Meski demikian, para buruh masih sering menghibur diri
bahwa nasibnya masih lebih baik daripada teman-teman mereka yang terpaksa
di-PHK atau menganggur. Kementerian Tenaga Kerja
menargetkan tingkat pengangguran pada 2013 di kisaran 5,8 persen hingga 6,1
persen. Atau dengan kata lain, jumlah penganggur di Indonesia dipatok
7,2-7,4 juta orang. Namun berbagai asumsi kasar menyebutkan, sebenarnya
jumlah penganggur 8 juta lebih. Itu belum
terhitung jumlah penganggur setengah terbuka yang mencapai 25 juta jiwa
sehingga total penganggur di negeri ini sekarang 33 juta jiwa.
Tidak heran, mengingat kondisi menganggur, sementara
lapangan kerja di negeri ini sangat terbatas, jutaan orang terpaksa menjadi
buruh migran di negeri orang. Banyak konsekuaensinya, antara lain, disiksa,
diperkosa, dan pulang ke tanah air tinggal nama.
Gambaran muram seperti di atas mengingatkan kita akan
pernyataan filsuf Martin Heidegger bahwa eksistensi (keberadaan) manusia
itu seperti dilemparkan begitu saja dalam keadaan yang tidak pernah
dikehendaki sebelumnya. Menurut Ortega Y. Gasset, seolah-olah kehidupan itu
ditembakkan secara langsung, tanpa dapat mengatakan, ''Tahan dulu, saya belum siap. Tunggu, hingga segala sesuatunya
telah saya pilih dan perhitungkan.''
Para buruh kita, terutama yang perempuan, kerap dipaksa
menjalani kehidupan sebagai manusia lemah, sebagai wong cilik yang tak
berdaya. Sejauh kesempatan kerja diisyaratkan dengan otot dan peluh, sejauh
itu pula tenaga mereka punya arti. Itulah kenyataan yang oleh Karl Marx
disebut sebagai alienasi. Para buruh semakin terasing dengan pekerjaannya,
semakin terasing dengan hidup dan masa depannya. Dengan demikian, pekerjaan
yang dihadapi para buruh tidak menjadi ungkapan dari aktualisasi diri
seperti diharapkan oleh Gibran, tetapi menjadi alienasi yang mengenaskan.
Bekerja, upah rendah. Tidak bekerja juga bertambah tidak enak. Serba
dilematis.
Kematian Chavez
Dalam situasi seperti ini, penulis teringat kepada Hugo
Chavez yang berani memihak kaum marginal seperti buruh dan dengan
kebijakannya martabat para buruh diangkat. Chavez dengan sosialisme dan
revolusi Bolivarian-nya memang terbukti mampu memberikan kesejahteraan
kepada para buruh.
Kesejahteraan itu diawali ketika para buruh mau bersatu
dan bergabung dalam perjuangan sosialisme Chavez, yang berbasis kekuatan
rakyat (terutama buruh dan petani). Ketika mereka bersatu menggalang
kekuatan, benteng neoliberalisme yang angkuh dan tamak serta hanya memihak
yang kuat bisa dirobohkan. Dalam struktur neoliberal semacam itu, Chavez
yakin ada dosa struktural bagi kaum lemah seperti buruh.
Maka, ketika memenangi pemilu presiden pada 1998, Chavez
langsung mengubah konsitusi dan membuat kebijakan yang pro wong cilik
(buruh dan petani) -sebagaimana Chavez sendiri juga berasal dari kalangan
ini- seperti program kesehatan dan pendidikan gratis hingga perguruan
tinggi, perumahan murah, serta membagi devisa dari keuntungan minyak untuk
kaum miskin. Tak heran, kematian Chavez pada Selasa (5/3) sungguh ditangisi
banyak wong cilik, termasuk para buruh. Kapan negeri ini melahirkan
pemimpin sekaliber Chavez? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar