Semasa masih duduk di
sekolahrakyat(sekarang SD) pada 1955-an di kota Tegal, Jawa Tengah, setiap
akhir pekan saya membaca komik cerita silat China berjudul Sie Djin Koei
(ejaan sekarang: Si Jin Kui) yang dimuat secara berkala di majalah mingguan
Star Weekly.
Sie Djin Koei
(SDK) adalah nama versi bahasa Hokian (bahasa Mandarin: Xue Ren-gui) dari
seorang jenderal yang sangat perkasa dalam era Dinasti Tang.Cerita sejarah
bercampur legenda China itu dikomikkan oleh Siauw Tik Kwie alias Oto
Suastika, orang Solo yang sama sekali (pada waktu dia menggambar komik itu
selama 7 tahun nonstop untuk majalah Star
Weekly) belum pernah ke Cina (baru pada akhir hidupnya Oto mengunjungi
Cina).
Anehnya, apa
yang dilukiskan Oto Suastika (yang dikenal juga sebagai Ki Oto Suastika
karena beliau penganut filsafat Ki Ageng Suryo Mentaram) sangat mirip
dengan keadaan sesungguhnya di negeri Cina sendiri. Jadi miriplah dengan
Karl May, penulis buku tentang Winnetou, pahlawan Indian Amerika, yang
selama hidupnya juga tidak pernah ke Amerika. Tapi saya mengenal SDK bukan
hanya dari komik di majalah saja (yang kemudian diterbitkan sebagai buku
komik), tetapi juga melihatnya dalam pertunjukan wayang potehi.
Pada masa SD
itu saya dan dua adik saya yang berumur hampir sebaya, pada waktu-waktu tertentu
seperti menjelang Cap Go Meh, atau ada acara sembahyangan, bersepeda ke
kelenteng di daerah Pecinan untuk menonton wayang potehi. Wayang Potehi
yaitu wayang boneka dengan lakon SDK, yang dimainkan oleh seorang dalang
(dalam bahasa Indonesia campur Jawa dan Hokian) dengan iringan musik
gendang dan “kencrengan” (saya tidak tahu namanya, yang jelas
bunyinya...creng, creng, creng... sangat berisik).
Kami senang
sekali nonton wayang potehi itu karena boneka-boneka yang dimainkan dengan
jari-jari tangan itu sangat tangkas main kuntau (dalam bahasa Mandarin:
kungfu), lengkap dengan permainan tombak, golok, dan pedang. SDK juga mahir
menunggang kuda dan kudanya tentu saja kuda boneka yang bisa
menggerak-gerakkan kakinya. Sebagai anak kecil, kami tentu saja senang
sekali melihat pertunjukan boneka itu.
Tapi sebagai
anak besar (sudah punya cucu, tetapi masih menyisakan jiwa kanak-kanak)
ternyata saya masih senang melihat wayang potehi itu. Kebetulan pada hari
Minggu yang lalu ada perayaan Cap Go Meh. Capgo dalam bahasa Hokian artinya
adalah 15, jadi maksudnya adalah hari yang ke-15 sesudah Tahun Baru Imlek.
Mengapa bahasa Hokian melulu? Karena memang etnik Cina di Pulau Jawa ini
aslinya berbahasa Hokian, bukan Mandarin.
Karena itu saya
lebih terbiasa dengan ucapan Sin Cun Kiong Hie, yaitu bahasa Hokian untuk
“selamat tahun baru”, ketimbang Gong Xie Fa Chai (bahasa Mandarin).
Pertunjukan wayang potehi itu adalah yang pertama kali saya lihat lagi
(kali ini bersama istri saya, bukan adik-adik saya) setelah puluhan tahun
tidak pernah melihatnya (karena selama Orde Baru dilarang oleh pemerintah
Suharto). Dalangnya, kalau tidak salah ingat, bernama Subur.
Orang Jawa
Timur totok, asli Sidoarjo. Pengiring bunyi-bunyian (di kuping saya suara
ramai itu bukan musik) adalah dua orang anaknya. Ceritanya masih tentang
SDK dan pak dalang mahir betul melantunkan suluk (narasi yang dinyanyikan)
dalam bahasa Cina dan memainkan perang golok antara SDK dengan musuhnya.
Tapi bukan itu saja yang saya saksikan pada acara peringatan Cap Go Meh
hari Minggu yang lalu.
Peringatan Cap
Go Meh yang diselenggarakan di Gedung Chandranaya (Jakarta Kota) ini juga
menampilkan cerita SDK dalam versi wayang tavip, yaitu teknik wayang
terkini yang diciptakan oleh dalang bernama Tavip (lahir tahun 1965, ketika
Bung Karno mengucapkan pidato “Tahun Vivere Pericoloso” atau disingkat
Tavip). Tavip ini juga pribumi asli.
Menyelesaikan
pendidikan strata-1-nya di ISI (Institut Seni Indonesia) Bandung dan
menamatkan strata- 2-nya di ISI Yogyakarta. Ia membuat wayang sejenis
wayang kulit, tetapi dari balik layar penonton bisa menyaksikan
wayang-wayang itu dalam full color
(wayang kulit purwa hanya terlihat sebagai bayangan hitam saja). Musiknya
akapela (mulut) saja tanpa gamelan sama sekali. Hanya ada kotak dan kecrek
untuk dalang memberi aksentuasi pada cerita (seperti wayang kulit biasa).
Tim akapela ada
beberapa orang yang tugasnya adalah menyanyi, bertepuk tangan, dan
terkadang berdialog atau mengintervensi monolog dalang. Lucu sekali dan
menyegarkan. Lakon wayang tavip pada kesempatan peringatan Cap Go Meh itu
memang tentang SDK, tetapi konon bisa juga cerita apa saja kita pesan.
Kalau perlu cerita riwayat hidup kita atau tentang keluarga kita bisa
diwayangkan. Wayang-wayangnya akan dibuat khusus untuk menggambarkan tiap
tokoh dalam cerita itu.
Suasana di
Gedung Chandranaya pada hari Minggu yang lalu memang bernuansa Cina. Gedung
Chandranaya ini dulunya adalah milik mayor Khouw Kim An (di zaman Belanda,
tokoh-tokoh masyarakat Cina diberi pangkat militer, zaman sekarang paling
banter diberi “gelar” tomas yang artinya “tokoh masyarakat”), cucu dari
tuan tanah Khouw, pemilik sawah-sawah di daerah Kerawang, Bekasi dan
Tangerang dan tanah-tanah luas di daerah Molenvliet (sekarang: Jalan Gajah
Mada), Batavia.
Gedungnya
sendiri baru direnovasi dengan tetap mempertahankan arsitektur asli dan
semua aksesori di dalam rumah seasli mungkin walaupun gedungnya sendiri
sudah tidak tampak dari Jalan Gajah Mada karena terapit Hotel Novotel yang
tingginya menjulang ke langit. Hadirnya stan-stan bajubaju (kebaya encim)
dan pernik-pernik Cina,menu lontong Cap Go Meh dan lampion-lampion berwarna
merah berhuruf kanji warna emas menambah aksen kecinaan pada sore itu.
Tapi, yang
menarik, penyelenggara peringatan Cap Go Meh itu sendiri bukan warga Cina. Mereka
adalah aktivis Yayasan “Warna-warni Indonesia” yang diketuai Ibu Krisnina
Akbar Tanjung dan mayoritas muslim.Mayoritas yang hadir pun bukan yang
merayakan Cap Go Meh. Memang Wagub Basuki alias Ahok hadir (pastinya
ibu-ibu semuanya mau berfoto bersama beliau), tetapi sisanya adalah
wajah-wajah pribumi, Cina berwajah pribumi atau pribumi berwajah Cina,
termasuk Prof Ir Wiendu Nuryati, MArch, PhD,
Wakil Menteri
Diknas,d an hampir semua yang memberi kata sambutan, muslim atau nonmuslim,
membuka sambutannya dengan “assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh dan salam sejahtera buat kita semua”. Inilah
yang dalam ilmu antropologi disebut akulturasi budaya, yaitu suatu gejala
budaya di mana dua atau lebih kebudayaan berbaur menjadi suatu budaya baru
tanpa meninggalkan identitas masingmasing. Indonesia ini penuh dengan akulturasi
budaya.
Kebaya encim
dan bahasa Betawi Utara (gua, elu)
adalah pengaruh budaya Cina, sedangkan bahasa Betawi Selatan (gue, ente) adalah pengaruh budaya
Arab.Bahasa Indonesia sendiri adalah hasil akulturasi dari budaya Melayu,
daerah, Belanda, Inggris, dan Arab, bahkan Spanyol (kata “bendera” artinya
sama dalam bahasa Spanyol).
Akulturasi
budaya di suatu masyarakat multietnik seperti Indonesia adalah suatu
keniscayaan. Inilah yang memungkinkan terwujudnya masyarakat Bhinneka
Tungga Ika, berbeda tetapi satu, yang di Indonesia sudah berjalan
berabadabad. Bahkan SDK juga punya nama Jawa, yaitu Sudiro, sehingga kisah
SDK dikenal baik oleh masyarakat Jawa. Begitu nama Sudiro diharamkan buat
orang non-Jawa, misalnya, selesailah Bhinneka Tunggal Ika kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar