Minggu, 03 Maret 2013

Sie Djin Koei


Sie Djin Koei
Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
SINDO, 03 Maret 2013


Semasa masih duduk di sekolahrakyat(sekarang SD) pada 1955-an di kota Tegal, Jawa Tengah, setiap akhir pekan saya membaca komik cerita silat China berjudul Sie Djin Koei (ejaan sekarang: Si Jin Kui) yang dimuat secara berkala di majalah mingguan Star Weekly.

Sie Djin Koei (SDK) adalah nama versi bahasa Hokian (bahasa Mandarin: Xue Ren-gui) dari seorang jenderal yang sangat perkasa dalam era Dinasti Tang.Cerita sejarah bercampur legenda China itu dikomikkan oleh Siauw Tik Kwie alias Oto Suastika, orang Solo yang sama sekali (pada waktu dia menggambar komik itu selama 7 tahun nonstop untuk majalah Star Weekly) belum pernah ke Cina (baru pada akhir hidupnya Oto mengunjungi Cina).

Anehnya, apa yang dilukiskan Oto Suastika (yang dikenal juga sebagai Ki Oto Suastika karena beliau penganut filsafat Ki Ageng Suryo Mentaram) sangat mirip dengan keadaan sesungguhnya di negeri Cina sendiri. Jadi miriplah dengan Karl May, penulis buku tentang Winnetou, pahlawan Indian Amerika, yang selama hidupnya juga tidak pernah ke Amerika. Tapi saya mengenal SDK bukan hanya dari komik di majalah saja (yang kemudian diterbitkan sebagai buku komik), tetapi juga melihatnya dalam pertunjukan wayang potehi.

Pada masa SD itu saya dan dua adik saya yang berumur hampir sebaya, pada waktu-waktu tertentu seperti menjelang Cap Go Meh, atau ada acara sembahyangan, bersepeda ke kelenteng di daerah Pecinan untuk menonton wayang potehi. Wayang Potehi yaitu wayang boneka dengan lakon SDK, yang dimainkan oleh seorang dalang (dalam bahasa Indonesia campur Jawa dan Hokian) dengan iringan musik gendang dan “kencrengan” (saya tidak tahu namanya, yang jelas bunyinya...creng, creng, creng... sangat berisik).

Kami senang sekali nonton wayang potehi itu karena boneka-boneka yang dimainkan dengan jari-jari tangan itu sangat tangkas main kuntau (dalam bahasa Mandarin: kungfu), lengkap dengan permainan tombak, golok, dan pedang. SDK juga mahir menunggang kuda dan kudanya tentu saja kuda boneka yang bisa menggerak-gerakkan kakinya. Sebagai anak kecil, kami tentu saja senang sekali melihat pertunjukan boneka itu.

Tapi sebagai anak besar (sudah punya cucu, tetapi masih menyisakan jiwa kanak-kanak) ternyata saya masih senang melihat wayang potehi itu. Kebetulan pada hari Minggu yang lalu ada perayaan Cap Go Meh. Capgo dalam bahasa Hokian artinya adalah 15, jadi maksudnya adalah hari yang ke-15 sesudah Tahun Baru Imlek. Mengapa bahasa Hokian melulu? Karena memang etnik Cina di Pulau Jawa ini aslinya berbahasa Hokian, bukan Mandarin.

Karena itu saya lebih terbiasa dengan ucapan Sin Cun Kiong Hie, yaitu bahasa Hokian untuk “selamat tahun baru”, ketimbang Gong Xie Fa Chai (bahasa Mandarin). Pertunjukan wayang potehi itu adalah yang pertama kali saya lihat lagi (kali ini bersama istri saya, bukan adik-adik saya) setelah puluhan tahun tidak pernah melihatnya (karena selama Orde Baru dilarang oleh pemerintah Suharto). Dalangnya, kalau tidak salah ingat, bernama Subur.

Orang Jawa Timur totok, asli Sidoarjo. Pengiring bunyi-bunyian (di kuping saya suara ramai itu bukan musik) adalah dua orang anaknya. Ceritanya masih tentang SDK dan pak dalang mahir betul melantunkan suluk (narasi yang dinyanyikan) dalam bahasa Cina dan memainkan perang golok antara SDK dengan musuhnya. Tapi bukan itu saja yang saya saksikan pada acara peringatan Cap Go Meh hari Minggu yang lalu.

Peringatan Cap Go Meh yang diselenggarakan di Gedung Chandranaya (Jakarta Kota) ini juga menampilkan cerita SDK dalam versi wayang tavip, yaitu teknik wayang terkini yang diciptakan oleh dalang bernama Tavip (lahir tahun 1965, ketika Bung Karno mengucapkan pidato “Tahun Vivere Pericoloso” atau disingkat Tavip). Tavip ini juga pribumi asli.

Menyelesaikan pendidikan strata-1-nya di ISI (Institut Seni Indonesia) Bandung dan menamatkan strata- 2-nya di ISI Yogyakarta. Ia membuat wayang sejenis wayang kulit, tetapi dari balik layar penonton bisa menyaksikan wayang-wayang itu dalam full color (wayang kulit purwa hanya terlihat sebagai bayangan hitam saja). Musiknya akapela (mulut) saja tanpa gamelan sama sekali. Hanya ada kotak dan kecrek untuk dalang memberi aksentuasi pada cerita (seperti wayang kulit biasa).

Tim akapela ada beberapa orang yang tugasnya adalah menyanyi, bertepuk tangan, dan terkadang berdialog atau mengintervensi monolog dalang. Lucu sekali dan menyegarkan. Lakon wayang tavip pada kesempatan peringatan Cap Go Meh itu memang tentang SDK, tetapi konon bisa juga cerita apa saja kita pesan. Kalau perlu cerita riwayat hidup kita atau tentang keluarga kita bisa diwayangkan. Wayang-wayangnya akan dibuat khusus untuk menggambarkan tiap tokoh dalam cerita itu.

Suasana di Gedung Chandranaya pada hari Minggu yang lalu memang bernuansa Cina. Gedung Chandranaya ini dulunya adalah milik mayor Khouw Kim An (di zaman Belanda, tokoh-tokoh masyarakat Cina diberi pangkat militer, zaman sekarang paling banter diberi “gelar” tomas yang artinya “tokoh masyarakat”), cucu dari tuan tanah Khouw, pemilik sawah-sawah di daerah Kerawang, Bekasi dan Tangerang dan tanah-tanah luas di daerah Molenvliet (sekarang: Jalan Gajah Mada), Batavia.

Gedungnya sendiri baru direnovasi dengan tetap mempertahankan arsitektur asli dan semua aksesori di dalam rumah seasli mungkin walaupun gedungnya sendiri sudah tidak tampak dari Jalan Gajah Mada karena terapit Hotel Novotel yang tingginya menjulang ke langit. Hadirnya stan-stan bajubaju (kebaya encim) dan pernik-pernik Cina,menu lontong Cap Go Meh dan lampion-lampion berwarna merah berhuruf kanji warna emas menambah aksen kecinaan pada sore itu.

Tapi, yang menarik, penyelenggara peringatan Cap Go Meh itu sendiri bukan warga Cina. Mereka adalah aktivis Yayasan “Warna-warni Indonesia” yang diketuai Ibu Krisnina Akbar Tanjung dan mayoritas muslim.Mayoritas yang hadir pun bukan yang merayakan Cap Go Meh. Memang Wagub Basuki alias Ahok hadir (pastinya ibu-ibu semuanya mau berfoto bersama beliau), tetapi sisanya adalah wajah-wajah pribumi, Cina berwajah pribumi atau pribumi berwajah Cina, termasuk Prof Ir Wiendu Nuryati, MArch, PhD,

Wakil Menteri Diknas,d an hampir semua yang memberi kata sambutan, muslim atau nonmuslim, membuka sambutannya dengan “assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh dan salam sejahtera buat kita semua”. Inilah yang dalam ilmu antropologi disebut akulturasi budaya, yaitu suatu gejala budaya di mana dua atau lebih kebudayaan berbaur menjadi suatu budaya baru tanpa meninggalkan identitas masingmasing. Indonesia ini penuh dengan akulturasi budaya.

Kebaya encim dan bahasa Betawi Utara (gua, elu) adalah pengaruh budaya Cina, sedangkan bahasa Betawi Selatan (gue, ente) adalah pengaruh budaya Arab.Bahasa Indonesia sendiri adalah hasil akulturasi dari budaya Melayu, daerah, Belanda, Inggris, dan Arab, bahkan Spanyol (kata “bendera” artinya sama dalam bahasa Spanyol).

Akulturasi budaya di suatu masyarakat multietnik seperti Indonesia adalah suatu keniscayaan. Inilah yang memungkinkan terwujudnya masyarakat Bhinneka Tungga Ika, berbeda tetapi satu, yang di Indonesia sudah berjalan berabadabad. Bahkan SDK juga punya nama Jawa, yaitu Sudiro, sehingga kisah SDK dikenal baik oleh masyarakat Jawa. Begitu nama Sudiro diharamkan buat orang non-Jawa, misalnya, selesailah Bhinneka Tunggal Ika kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar