“Investasi pertambangan pada 2012 naik
drastis dari sekitar US$ 1.8 miliar pada 2010 menjadi US$ 4.3 miliar pada
2012.”
Bagian
pengantar dari UU Pertambangan pada tahun 2009 mendukung investasi industri
pertambangan Indonesia di saat pertumbuhan industri juga didukung oleh
permintaan tetap pada produk-produk utama serta harga komoditi yang baik.
Produksi pertambangan Indonesia yang secara mayoritas terdiri dari
batubara, timah, tembaga, emas dan ammonia mencatat pertumbuhan rata-rata
12.27 persen pada paruh waktu 2007-2011. Sementara itu, untuk periode
2012–2016, pertumbuhannya diprediksi menjadi 8.27 persen, demikian laporan
MarketPublishers 2012.
Pada UU Pertambangan yang baru ada tuntutan bahwa logam kini harus diproses
secara lokal sehingga penghasilannya naik. Proyek besar bakal direncanakan
di bidang nikel dan ada juga di bidang besi, tembaga dan timah. Menurut
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), jumlah investasi pada 2012 naik
drastis dari sekitar US$ 1.8 miliar pada 2010 menjadi US$ 4.3 miliar pada
2012 (Lihat berita Jaringnews 22.1.2013). Maka, penghasilan dari pertambangan
di PDB akan naik juga dalam tahun-tahun yang akan datang.
Indonesia memang ingin memobilisasikan potensi besarnya di sektor bijih
logam dan akan memulai berbagai proyek untuk meningkatkan pertambangan
dalam tahun-tahun yang akan datang. Menurut Presiden Asosiasi Pertambangan
Indonesia, Martiono Hadianto, hasil pertambangan tidak sesuai dengan sumber
bijih logam yang dapat digunakan. Walaupun Indonesia ada di nomor enam
menyangkut persediaan deposit mineral secara global, di iklim investasi
hanya menempati nomor 46 saja. Di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua,
Nusa Tenggara dan Maluku ada deposit mineral yang luas yang belum
dimanfaatkan.
Titik berat politik pertambangan Indonesia adalah kawasan timur, dimana
telah dikeluarkan puluhan izin baru. Akan tetapi, di samping prospek
pertambahan penghasilan devisa, ada juga masalah sosial dan lingkungan
akibat eksplorasi pertambangan tersebut. Proyek pertambangan sering
direncanakan dalam kawasan hutan lindung dan di atas tanah adat. Karena
pertambangan biasanya dilaksanakan dalam lubang terbuka, ada juga masalah
erosi dan pembuangan limbah yang mengakibatkan tercemaran sungai dan laut.
Proyek-proyek untuk mengali dan mengelola bijih logam makin diperhatikan.
Menurut UU Pertambangan dari tahun 2009, pemilik perusahaan diharuskan
untuk meningkatkan bagian nilai tambah di ekspor mineral sampai tahun 2014.
Daripada mengekspor nikel mentah, misalnya, lebih baik mengekspor nikel
besi, sebuah paduan dengan kandungan nikel sebanyak 45 persen. Pada bijih
tembaga pun, tingkat kebersihan harus dinaikkan menjadi 99 persen, dan
untuk timah 99.85 persen.
Di bidang pertambangan nikel akan ada investasi yang besar. Anak perusahaan
Solway Group dari Rusia ingin menempatkan US$ 3 miliar untuk pertambangan
timah di Maba, Halmahera. Studi kelayakannya kini sedang dilaksanakan.
Menurut partner konsultingnya di Indonesia, kapasitas tambang tersebut akan
mencapai 50.000 ton per tahun yang nantinya akan meningkat sampai 80.000
ton.
Pada 2011, anak perusahaan China, PT Baosteel Resources Indonesia,
menandatangani persetujuan dengan Modern Group untuk pengembangan
pertambangan nikel-laterit di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Modern Group
memiliki 74 persen dari usaha bersama tersebut. Jumlah bijih nikel-laterit
yang akan diekspor mencapai 50.000 ton per bulan. Targetnya, pada 2014 akan
dibangun perlebahan nikel dengan investasi sebanyak US$ 500 juta.
Pemain penting di bidang nikel adalah PT International Nickel Indonesia Tbk
(PT Inco Indonesia). Perusahaan tersebut memiliki perleburan nikel dengan
kapasitas tahunan 72.500 ton yang memproduksikan nikel-matte dengan tingkat
kebersihan 75 persen. Menurut Presiden Inco, Tony Wenas, perusahaannya
ingin meningkatkan produksi tahunan menjadi 90.000 ton sampai 2014/15.
Untuk mencapai hasil sebanyak itu, harus ada investasi sebesar US$ 232
miliar.
BUMN PT Aneka Tambang (PT Antam) ingin juga berekspansi luas. Produksi
nikel-besi direncanakan akan meningkat dari 19.000 ton di 2010 menjadi
47.000 ton sampai tahun 2014. Perluasan tersebut akan dicapai dengan
pembangunan peleburan keempatnya di Pulau Halmahera.
Proyek pertambangan nikel besar lain juga direncanakan akan dilaksanakan di
Pulau Halmahera. Investasi sebesar US$ 4.6 miliar akan diimplementasikan
oleh Konsorsium Perancis-Jepang Weda Bay Minerals bersama dengan perusahaan
nasional PT Antam (punya 10 persen). Eramet, group pertambangan dan
metalurgi dari Perancis mengikuti konsorsium tersebut lewat anak perusahaan
Weda Bay Nickel bersama dengan Mitsubishi Corporation dari Jepang. Di samping
pertambangan, direncanakan juga perluasan pelabuhan serta pembangunan
peleburan nikel. Produksinya akan dimulai pada 2017 dengan kapasitas 35.000
ton per tahun. Rencana perluasan peleburan juga ingin mencapai kapasitas
65.000 ton per tahun. Di samping itu, direncanakan juga produksi kobalt
sebanyak 4.000 ton per tahun.
Masalahnya adalah pertambangan tersebut selalu membawa dampak serius pada
lingkungan. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi bijih logam dan
limbah pengelolahan mineral biasanya masuk ke sungai dan laut terdekat.
Akibatnya, masyarakat yang hidup di daerah tersebut tidak bisa lagi memakai
air sungai itu untuk kebutuhan sehari-hari. Ada juga dampak bagi
binatang-binatang yang minum air itu ataupun bagi yang hidup di dalamnya.
Dalam kasus Weda Bay Minerals, pertambangannya direncanakan dalam tanah
adat suku Tobelo dan juga dalam hutan lindung yang merupakan zona penyangga
Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Pertambangan itu akan mencemari sungai
dan laut dengan sedimen dan bahan kimia beracun. Limbah pengelolahan
mineral (tailings) akan dibuang ke Teluk Weda yang dangkal itu. Sedimen
erosi dari daerah pertambangan juga akan sampai di teluk tersebut. Padahal,
teluk tersebut memiliki ekosistem batu karang dan merupakan sumber ikan
untuk banyak komunitas di sekitarnya. Karena itu, aktivis lingkungan dari
LSM Indonesia Jatam, WALHI, KIARA, dan KAU bersama-sama memprotes terhadap
proyek yang direncanakan itu serta terhadap bantuan Bank Dunia untuk study
kelayakannya.
Peleburan nikel satu lagi di Pulau Halmahera yaitu di Tanjung Buli yang
direncanakan oleh PT Antam bersama PT PLN (PT Perusahaan Listrik Negara).
Produksinya dengan kapasitas tahunan 27.000 ton nikel besi akan dimulai
pada akhir 2014. Perkiraan biaya yang dibutuhkan adalah sebesar US$ 1.6
miliar. Dalam rangka proyek tersebut akan dibangun sarana pembangkit
listrik senilai US$ 600 juta oleh PLN, yang akan menjamin persediaan
listrik untuk perlebahan nikel serta zona industri untuk 30 tahun ke depan.
Untuk itu, ada rencana dibangunnya PLN berbasis minyak solar dengan
kekuatan 170 megawatt dan satu lagi yang berbasis batu bara dengan kekuatan
90 megawatt. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar