Hugo Chavez sebelum dan sesudah wafat mendapat perhatian istimewa.
Alasan utama: wawasan dan praktik politiknya merupakan tanda perbantahan
dari sebuah tatanan yang peninggalannya adalah sebuah mosaik sosialisme
kerakyatan.
Eduardo Galeano, penulis prestisius asal Uruguay, pernah
menjuluki Amerika Latin sebagai benua dengan urat nadi yang terbuka. Sebuah
metafora tentang luka lama benua ini sebagai akibat penjajahan yang
ragamnya sekarang disebut neokolonialisme, penjajahan baru. Istilah ini
terhubung dengan kondisi Amerika Latin: ibarat sapi perah yang susunya,
hasil pertumbuhan ekonomi, dinikmati perusahaan-perusahaan multinasional.
Venezuela bukan kekecualian. Akibat rontoknya boom minyak pada
1970-an, negara vino tinto ini mengalami krisis ekonomi. Presiden Andres
Perez waktu itu mengikuti resep dogmatis IMF yang bukan solusi, melainkan
problem. Pada akhirnya yang meningkat adalah angka kemiskinan yang
memprihatinkan, sementara perdagangan minyak Venezu- ela di tangan perusahaan
asing.
Runtuhnya ekonomi mendapat protes masyarakat yang berakhir dengan
kudeta militer yang mengusung Chavez pada 1993. Meritokrasi Chavez untuk
menyembuhkan urat nadi yang terbuka patut dicemburui pemimpin negara apa
pun yang menganggap diri pujangga ekonomi kapitalis.
Menurut laporan Komisi PBB bagi Ekonomi Amerika Latin (CEPAL),
Venezuela berhasil menurunkan 44 persen angka kemiskinan: 5 juta jiwa dari
total penduduk tidak lagi miskin. Dalam hal kesadaran berdemokrasi,
partisipasi elektoral mencapai lebih dari 88 persen penduduk, yang pada
pemilu terakhir 55 persen suara untuk Chavez.
Menyangkut anggaran dana sosial, negara-negara sosial demokrat Eropa
tak bisa menyaingi Venezuela yang mengalokasikan 60 persen dari total
produk domestik bruto. Sebanyak 14 juta penduduk mendapat subsidi pangan,
dan tahun ini 61 persen penduduk membeli pangan di pusat- pusat
perbelanjaan milik negara. Selama 2011 Chavez menyerahkan 146.022 rumah
kepada penduduk paling miskin.
Rekam jejak terpuji di atas menjadikan Chavez seorang pemimpin
politik yang diterima di kalangan rakyat kecil dan berhasil memenangi
pemilu empat kali beruntun. Sangat lumrah bila ada kelompok yang punya
barometer politik ekonomi yang berseberangan dengannya, terutama yang
kepentingan mereka dirugikan karena negara mengambil alih kendali PDVSA,
perusahaan minyak Venezuela.
Sosialisme Kerakyatan
Chavez pernah mengatakan, ”Tak bisa dimengerti bagaimana dapat
mendistribusikan kekayaan negara kalau institusi tak diubah. Apakah ada
alternatif lain?” Pertanyaan yang dituntun oleh jawaban yang hendak dicari.
Model negara sosialis dan sosialisme kerakyatan merupakan dua pokok penting
yang harus tepat diartikulasi menjadi jawaban alternatif terhadap ekonomi
laissez- faire.
Negara dengan para pemimpinnya yang dipilih rakyat untuk memerintah
atas nama rakyat tidak melayani kepentingan perusahaan-perusahaan
transnasional, melainkan melayani rakyat. Rancang bangun sebuah ekonomi
sosial pertama-tama ditempuh Chavez adalah dengan merombak institusi negara
yang birokratis dan koruptif menjadi negara sosialis yang kerakyatan. Dalam
tahun-tahun pertama, Chavez tak mudah menempuh jalan ini, bahkan kudeta
sekelompok militer yang didukung oposisi hampir menjatuhkannya.
Peran negara tidak seperti dalam paham sosialisme terpimpin dan
doktriner (model sosialisme bekas Uni Soviet), tetapi memberi peran yang
lebih besar, dinamis, dan relevan kepada pemerintah untuk mengatur ekonomi.
Dengan PDVSA sebagai jantung ekonomi, Chavez memilih cara klasik: menaikkan
permintaan agregat. Artinya, negara mengeluarkan banyak anggaran untuk
sektor-sektor pembangunan padat karya sehingga meningkatkan lapangan kerja
dan pendapatan per kapita. Perusahaan swasta dapat untung juga karena saat
konsumsi meningkat (faktor yang sangat bergantung pada pendapatan per
kapita), permintaan akan barang dan jasa juga meningkat. Akhirnya produksi
terdongkrak.
Di samping itu, meningkatnya anggaran dana sosial sangat membantu
masyarakat miskin. Politik sosial seperti ini memberi warna khusus bagi
Chavez karena mayoritas orang miskin di banyak negara maju sekalipun tak
disentuh kebijakan ekonomi pemerintah.
Faktor rakyat sangat menentukan dalam ekonomi sosialis. Selama
politik ekonomi yang berciri karitatif dan asistensialistis merupakan
pilihan utama, kega- galan mudah diprediksi sebab yang hilang ialah gejala
dari kemiskinan, bukan sebabnya. Chavez mengorganisasikan koperasi
produktif yang dibantu kredit lunak untuk memberantas sebab kemiskinan. Ke
dalam koperasi itu demokratis, ke luar kompetitif sesuai dengan hukum
pasar.
Peran pemerintah dan rakyat yang proaktif dalam produksi dan
distribusi barang dan jasa sungguh merupakan mosaik ekonomi sosial
kerakyatan. Indonesia mungkin tak dapat meniru model ini karena banyak
sebab. Di anta- ranya mental kerakyatan yang minim dari pemerintah. Dengan
sistem pemerintah yang sangat parlementaristis, kekuasaan eksekutif ke
dalam takut akan teka- nan primordial sejumlah golongan; ke luar berkiblat
ke negara Barat dan bangsa kita terbiasa dengan apa yang ada.
Sebab kedua adalah kurangnya pengalaman signifikan bagai- mana hidup
cukup sejahtera. Kecuali sampai akhir 1980-an, ekonomi Indonesia mengalami
pertumbuhan secara akumulatif, tetapi ekonomi yang trickle down seperti ini
tak menyentuh periuk nasi orang miskin. Berbeda dengan Venezuela, sebelum
krisis minyak, pertumbuhan ekonomi berkarakter sosial, dan masyarakat tahu
bagaimana dampak positif ekonomi kerakyatan. Hal ini menjadi pembelajaran
kolektif yang ujungnya adalah revolusi sosial melawan pemerintah koruptif
selama krisis minyak.
Mungkin mosaik sosialisme kerakyatan Venezuela bisa menjadi inspirasi
bagi Pemerintah Indonesia mendatang. Namun, ini bergantung sepenuhnya
kepada rakyat yang berwawasan sosialis memilih orang yang berpihak kepada
kaum jelata. ●
|
Chavez telah menunjukan Sosialisme abad 21, suatu koreksi Marxisme abad 21. Pendirian dewan-dewan komunal, hantam birokrat yang hendak menggagalkan revolusi bolivarian adalah harga mati!
BalasHapus