Kepala Badan Bahasa angkat bicara mengenai Kurikulum 2013 untuk mata
pelajaran Bahasa Indonesia (Kompas, 16 Februari 2013).
Berita ini menyiratkan dua hal. Pertama, Badan Bahasa memiliki
sumbangan besar dalam pengembangan Kurikulum 2013. Kedua, sumbangan baru
itu membuat warna baru pada kurikulum yang tak lama lagi akan diberlakukan.
Mari Merenung
Guna memahami dan menyikapi Kurikulum 2013, mari kita merenung ke
sejarah singkat perkembangan kurikulum dari masa ke masa: dari 1975, 1984,
1994, ke 2004 dan 2006. Para guru, pemerhati mata pelajaran Bahasa
Indonesia, dan para siswa antara 1960 dan 1980-an tentu masih ingat, pada
masa itu pengajaran Bahasa Indonesia berurusan, antara lain, dengan
butir-butir tata bahasa, seperti ”kalimat majemuk setara”, ”kalimat majemuk
bertingkat”, dan ”kalimat elips”.
Masih ingat pula bagaimana dipersoalkan untuk apa berpayah-payah
menghafal definisinya hanya untuk mendapatkan nilai. Setelah lulus, lupa
itu semua. Keadaan pengajaran Bahasa Indonesia yang seperti ini tetap kita
alami sebelum Kurikulum 1975, bahkan sampai Kurikulum 1984, dan baru
berangsur-angsur lenyap dari kelas dan ujian nasional Bahasa Indonesia
setelah diberlakukannya Kurikulum 1994.
Perubahan besar dan mendasar terjadi pada Kurikulum 1994. Belajar
bahasa bukan belajar keping-keping atau serpih-serpih tentang bahasa,
seperti ”kalimat majemuk setara” dan ”kalimat majemuk bertingkat” itu tadi.
Mengajar bahasa juga bukan mengajar ”pokok-pokok bahasan” yang
terlepas-lepas (seperti pada Kurikulum 1984): membaca, menulis, dan
seterusnya, termasuk ”pragmatik”. Butir yang terlepas-lepas itu diajarkan
secara terpadu. Semuanya itu terintegrasi di dalam teks-teks yang dikemas
berdasarkan isi atau tema (karena itu, Kurikulum 1994 disebut berpendekatan
tematis).
Membaca tak hanya untuk diarahkan ke pemahaman (dengan daftar
pertanyaan untuk dijawab). Dapat juga itu dipakai sebagai titik tolak untuk
kegiatan berbicara, berdiskusi. Siswa tidak untuk dituntut tahu bahwa
kalimat ini adalah ”majemuk setara”, sedangkan yang itu ”majemuk
bertingkat”. Siswa diajak mengalami memakai kedua jenis kalimat itu (dalam
kegiatan menulis) lalu mencari tahu apa bedanya menggunakan ”majemuk
setara” dan ”majemuk bertingkat”.
Guru bahasa—utamanya—bukan menjelaskan, melainkan melatihkan sesuatu
kepada siswa. Lebih dari itu, guru melibatkan siswa dalam kegiatan
berbahasa. Kalau guru melibatkan siswa dalam suatu kegiatan berbahasa,
siswa dapat belajar, sampai akhirnya dapat berbuat secara mandiri.
Oleh karena itu, mengajar dengan ”pendekatan struktural”—menyajikan
dan menjelaskan bahasa dalam keping-keping (yang mengandalkan daya
hafal)—ditinggalkan sejak Kurikulum 1994. Kata kunci Kurikulum 1994 adalah
”terpadu”. Tata bahasa, misalnya, tidak diajarkan sebagai mata ajar ”tata
bahasa”, tetapi terpadu dalam kegiatan ”membaca” atau ”menulis”. Atau,
istilah teknisnya: pengajaran tata bahasa secara kontekstual.
Uraian ”pokok bahasan” pada Kurikulum 1984 diperbaiki dan ditata
kembali ke dalam kategori yang disebut ”butir pemelajaran” dalam Kurikulum
1994, yang berisi, misalnya, ”merangkum informasi dari pelbagai sumber”,
”menyarikan isi bacaan”, ”membedakan antara fakta dan pendapat”, ”menemukan
informasi yang tersirat dalam teks”. Pada tahap berikutnya, bagian ini
dirapikan, diperjelas, dipertajam, kemudian ditampung dalam kategori baru:
”kompetensi dasar” (KD) pada Kurikulum 2004. Pada kurikulum ini dibuat
kategori lain yang disusun berdasarkan KD dan disebut ”indikator”.
Bagaimana tata bahasa, kosakata, dan teks ditangani? Itu semua tidak
ditata atau ditampilkan sebagai butir-butir KD. Sebab, mengajar Bahasa
Indonesia—menurut Kurikulum 2004—bukan mengajar bahan (materi) atau isi
(konten) yang dapat dipakai guru ”menjelaskan sesuatu”. KD bukan bahan
untuk dijelaskan, melainkan untuk ”diterjemahkan” oleh guru ke dalam
sejumlah kegiatan berbahasa di kelas.
Ini mengikuti prinsip dasar Kurikulum 1994: tantangan guru bahasa
bukan menjelaskan, melainkan melatihkan sesuatu dan melibatkan siswa dalam
kegiatan berbahasa. Tata bahasa, kosakata, dan berbagai teks akan muncul
dengan sendirinya pada proses kegiatan berbahasa. Kalau guru yang mengajar
bahasa diibaratkan seseorang yang berhadapan dengan ”gunung es”, guru yang
”menjelaskan sesuatu” itu berurusan dengan apa yang kelihatan pada
permukaan gunung es, sedangkan guru yang ”melibatkan siswa dalam kegiatan
berbahasa” menangani yang ada di dalam dan di dasar gunung es.
Langkah Mundur
Bagaimana dengan Kurikulum 2013 (Bahasa Indonesia)? Pendekatan yang
ditetapkan (Kompas, 16 dan 18 Februari 2013) disebut ”pendekatan berbasis
genre”. Kompetensi dasar ditata dengan setiap kali dikaitkan pada
jenis-jenis teks (genre). Jenis teks berbagai macam, antara lain, teks
laporan informatif, laporan hasil pengamatan, laporan buku, teks naratif,
deskriptif, eksplanasi, dan eksemplum.
Ini membuka peluang membalikhaluankan
guru kembali menggunakan ”pendekatan struktural”, praktik 30 tahun lalu.
Selain banyak penamaan jenis-jenis teks pada Kurikulum 2013, dijumpai juga
sejumlah istilah tata bahasa, kosakata, apalagi banyak di antaranya berupa
istilah baru yang belum lazim beredar di kalangan guru.
Mengapa pendekatan berbasis genre langkah mundur? Mari cermati
pendekatan genre yang diterapkan pada Kurikulum 2013: siswa dibekali dengan
pengetahuan tentang jenis-jenis teks. Salah satu KD pada kelas IX:
”memahami teks eksemplum, tanggapan kritis, tantangan, dan rekaman
percobaan baik melalui lisan maupun tulisan”; lalu ”membedakan teks
eksemplum, dst”; ”mengklasifikasi teks ...”; kemudian ”mengidentifikasi
teks ...”.
Maka, miriplah Kurikulum 2013 dengan Kurikulum 1975: seperti halnya
Kurikulum 1975 menyajikan butir-butir tata bahasa, Kurikulum 2013
menyodorkan jenis-jenis teks. Kelas Bahasa Indonesia kembali berurusan
dengan hafal-menghafal. Pengajaran bahasa pun kembali berurusan dengan yang
terdapat pada permukaan ”gunung es”.
Perjalanan yang panjang telah dirintis sejak diberlakukannya
Kurikulum 1994 untuk menuangkan dan menjelaskan apa yang ada di dalam
”gunung es” itu ke dalam kurikulum. Sebuah perjalanan panjang untuk setiap
kali merapikan dan mempertajam hasil menggali gunung es itu dari Kurikulum
1994 ke kurikulum berikutnya. Sebuah perjalanan yang panjang bagi guru
Bahasa Indonesia untuk berjuang melepaskan diri dari belenggu ”pendekatan
struktural”: dari urusan hafal-menghafal menuju ke praktik pengajaran
bahasa yang mengandalkan daya kreatif, daya imajinatif, daya nalar, dan
daya kritis siswa.
Kini, dengan diberlakukannya Kurikulum 2013, guru Bahasa Indonesia
dikondisikan untuk berputar haluan kembali ke praktik mengajar masa 30
tahun lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar