Kamis, 14 Maret 2013

Negara Hukum Kian Tereliminasi


Negara Hukum Kian Tereliminasi
Mariyadi Faqih   Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw Malang    
SUARA KARYA, 13 Maret 2013


Dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sudah digariskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dan, hal ini termaktub dalam batang tubuh konstitusi, dan tidak lagi di penjelasan konstitusi. Sayangnya, paska masuknya identitas ini, Indonesia tetap dituding sebagai negara yang tidak layak mengibarkan bendera negara hukum. Mengapa demikian?

Negara hukum (rechtstaat) kian darurat menyelimuti Negara Indonesia, dewasa ini menyusul semakin banyaknya problem hukum yang bermunculan, sementara banyak kasus besar belum terselesaikan. Bagaimana jadinya nasib negara hukum ini, jika ke depan, perkara besar terus membanjiri Indonesia, sementara problem lama belum juga tuntas atau tidak jelas kabarnya?

Keniscayaan bisa terjadi dan meledaknya (terbongkarnya) kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan korban keuangan negara dalam jumlah besar bukanlah kemustahilan. Pasalnya, sistem politik, model pengelolaan partai politik, dan 'lembeknya' kinerja aparat penegak hukum lebih berelasi pada masalah uang.

Yang paling menyolok adalah soal sistem rekrutmen kader untuk bakal calon legislatif atau pelamar calon pimpinan daerah hingga ke ranah suksesi parpol, yang mengandalkan pada uang (upeti dan sejenisnya). Sistem ini tak bisa dipungkiri, merupakan akar kriminogen fundamental yang menentukan terjadi atau maraknya korupsi.

Penempatan uang dalam derajat privilitas bisa membuat banyak atau beragam baksil negara (korupsi), sewaktu-waktu meledak, yang mengakibatkan tercabik-cabik atau kian daruratnya negara hukum. Jati diri negara hukum dipermainkan oleh elemen penegak hukum dan sindikasinya yang sama-sama telah memperlakukan uang sebagai nafas utamanya.

Akibat uang yang membelenggu profesi, negara hukum tereliminasi. Dalam identitas formal, barangkali negara hukum tak akan pernah terhapus, namun dalam kenyataan, negara hukum tidak bisa memberi apa-apa pada rakyat atau pencari keadilan. Ini tak terlepas dari sepak terjang aparatnya yang lebih disibukkan memburu uang daripada melaksanakan kinerja secara transparan, egaliter, jujur, dan berkeadilan. Memang, kehadiran uang bukan hanya bisa menipu, mengelabuhi, dan menyesatkan, tetapi juga dapat menggiring kita menjadi 'bajingan berdasi' dan keji, yang tega menggerogoti (menghancurkan) kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan sesama.

Negara hukum merupakan wujud negara yang idealisasinya mampu membahagiakan atau menyejahterakan rakyat. Namun, karena negara ini dihuni dan dipilari oleh banyak oportunis, khususnya dalam lingkungan peradilan, akibatnya negara hukum, melalui instrumen-instrumennya gagal memberi yang terbaik pada rakyat. Artinya, negara hukum yang sebenarnya berfungsi jadi payung besar kehidupan rakyat, khususnya dalam membumikan program-program pemanusiaan dan penyejahteraan rakyat, serta keadilan, bisa tereliminasi atau tergiring jadi negara beridentitas 'gagal total', manakala praksis manajemen peradilannya terseret dalam sindikasi politik akibat berelasi pada soal uang dan kedudukan.

Barnum, sebagai anggota pendiri Sirkus Barnum & Bailey, juga mengingatkan bahwa uang merupakan hamba yang sangat baik, tetapi tuan yang sangat buruk. Saat uang berada di tangan 'tuan' yang salah, maka niscaya uang ini pun tidak akan bisa digunakan jadi instrumen menyejahterakan dan sebaliknya dapat dijadikan pengaman menyelamatkan atau melindungi kesejahteraan sejumlah orang atau korporasi, yang keduanya ini berpengaruh secara politik pada negara.

Senyatanya, uang di negara ini bisa digunakan sebagai alat mati (hamba) yang membuat negara hukum beralih jadi negeri permainan, yang menempatkan setiap elemen kekuasaan dan politik, mampu beradu okol dan akal untuk saling menjegal dan menghabisi. Norma yuridis yang semestinya bisa menjaring dan mempertanggungjawabkan setiap 'yang terduga' melakukan korupsi, dialihkan bahasa dan misinya menjadi norma yang membebaskannya.

Uang bisa membeli kekuasaan. Dari kekuasaan yang terbeli ini, uang bisa 'diundang' sebanyak kemauan bebas penguasanya atau siapa pun aparat yang bermaksud menciptakan atmosfer negara hukum kian darurat, seperti membeli parpol supaya parpol kian rusak, produk yuridis supaya produk legislasi ini ternodai, kolaborasi dengan segenap elemen masyarakat supaya terjadi 'pemerataan kebejatan' di mana-mana, dan lain sebagainya.

Saat idealisme dan independensi KPK dipertanyakan kartena dinilai lambat mengusut suatu kasus, seharusnya KPK wajib melakukan refleksi atas kinerjanya. Jangan-jangan ada kekuasaan yang sudah 'terbeli' yang mampu mempengaruhi pola berfikir dan ramuan langkah strategisnya dalam penanggulangan korupsi?

Penguasa yang terbeli dan menjadi parasit parpol yang membesarkannya, bisa memperlakukan uang sebagai mesin yang mampu membuat dirinya sebagai kekuatan jahat, yang tega menghabisi dan menganibalisasi hak-hak rakyat. Di antaranya dengan cara menggerogoti atau 'menjarah' kekayaan negara (rakyat), yang model penjarahan atau penggerogotannya ini ditempuh melalui jalur mempermainkan peradilan atau mengemas peradilan sekedar sebagai instrumen pengamanan dan penyelamatan kepentingan sindikasi politik.

Gabrlel Haita (2009) pernah mengingatkan, "Uang dan kekuasaan itu simetris. Siapa pun yang jadi pemegang kekuasaan yang berhasil terbeli oleh uang atau kepentingan apa pun yang berelasi dengan uang, maka niscaya bangunan negara di tangannya menjadi kehilangan arah."

Peringatan ini mengingatkan setiap elemen negara hukum untuk berhati-hati dalam membaca dan menyikapi godaan uang. Siapa yang tergoda dalam mempermainkan uang, berarti ikut menjadi akar penyebab penyebaran baksil yang merapuhkan negara hukum. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar