Kamis, 21 Maret 2013

Polisi dan Kekerasan


Polisi dan Kekerasan
Asmadji AS Muchtar  ;  Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta
REPUBLIKA, 20 Maret 2013


Terkait munculnya video di situs youtubey ang menyerupai Densus 88 sedang memamerkan kekerasan, citra polisi semakin menakutkan. Karena itu, harus segera diubah untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab yang sesuai dengan hak asasi manusia. Urgensinya, Polri harus memiliki agenda serius untuk mengubah citra polisi supaya tidak semakin menakutkan bagi masyarakat.

Layak diakui, sejak era reformasi po lisi di Indonesia semakin sering bertindak keras dan kerap terlihat menggunakan senjata api. Banyak penjahat dan teroris yang ditembak mati dalam proses penangkapan. Maka, tidak berlebihan jika citra polisi Indonesia semakin menakutkan.
Ironisnya, walaupun citra polisi semakin menakutkan karena sering melakukan kekerasan dengan senjata api, keamanan masih saja sering terganggu.
Misalnya, masih banyak kasus kejahatan seperti perampokan dan pembunuhan. Maka, kesannya seolah-olah penjahat dan polisi berlomba-lomba da lam ke kerasan.

Bagi masyarakat beradab, kekerasan polisi maupun kekerasan penjahat sama- sama menakutkan. Dengan kata lain, bagi masyarakat, ketika melihat polisi melakukan kekerasan yang menelan korban pasti merasa ketakutan, walaupun korbannya itu penjahat atau teroris. Perasaan takut terhadap kekerasan, termasuk kekerasan yang dilakukan polisi, adalah manusiawi. Itu sebabnya, bagi masyarakat beradab akan cenderung menolak segala jenis kekerasan.

Menurut rumus psikososial, kekerasan polisi dan penjahat sama-sama dapat merusak kenyamanan hidup bermasya rakat. Maka, bangsa-bangsa yang beradab akan menolak berbagai jenis kekerasan dengan membuat peraturan dan undang-undang. Dengan demikian, keamanan dan kenyamanan hidup berbangsa dan bernegara sebagai inti dari hak asasi manusia akan dapat terwujud.

Konkretnya, semakin beradab suatu bangsa akan semakin serius berupaya menolak semua jenis kekerasan, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan (polisi). Maka, di negara-negara maju banyak polisi hanya membawa pentungan dan borgol (tidak membawa senjata api) ketika sedang bertugas menjaga keamanan dan kenyamanan lingkungan sehari-hari.

Tim Reserse

Keseriusan menolak kekerasan, khu susnya bagi aparat keamanan, sebenarnya bisa diwujudkan dengan mem perkuat tim reserse di lingkungan kepolisian. Semakin kuat jajaran tim reserse akan semakin efektif menjaga keamanan tanpa banyak melakukan kekerasan.

Di Indonesia, tim reserse tampaknya perlu diperkuat lagi, supaya polisi tidak semakin sering melakukan kekerasan ketika menangkap penjahat. Jika tim reserse sudah kuat, upaya memburu dan menangkap penjahat (termasuk anggota teroris) pasti dapat dilakukan tanpa banyak melakukan kekerasan.

Berkaitan dengan upaya memperkuat tim reserse, seharusnya Densus 88 juga berusaha memperkecil kekerasan ke tika sedang memburu kelompok teroris. Dalam hal ini, Densus 88 seharusnya berusaha menjadi tim reserse yang bertugas khusus menangani terorisme dengan teknik penyamaran tanpa perlu pamer senjata otomatis supaya tidak semakin menakutkan bagi masyarakat.

Selama ini, aksi-aksi Densus 88 ketika sedang memburu kelompok teroris sangat menyeramkan karena selalu menggunakan senjata otomatis dan senjata berat. Misalnya, setiap kali menyergap tersangka teroris, Densus 88 melakukan tembakan selama berjam-jam yang disiarkan langsung oleh televisi.
Aksi penumpasan teroris seperti itu tentu dapat dianggap overacting dan boros (dalam menggunakan senjata api), karena tidak mengutamakan teknik penyergapan dengan cara menyamar sebagaimana lazimnya yang dilakukan oleh tim reserse.

Tersangka teroris seharusnya dapat ditangkap hidup-hidup jika Densus 88 mengutamakan teknik reserse. Namun, kenyataannya Densus 88 lebih senang membantai tersangka teroris dengan banyak tembakan. Kesannya, seolah-olah aparat keamanan di Indonesia senang pamer senjata canggih, padahal akibatnya sama dengan pamer kekerasan kepada masyarakat luas. Jika sudah demikian, teroris dan polisi sama-sama menakutkan bagi masyarakat, karena seolah- olah sedang berlomba-lomba memamerkan kekerasan.

Karena itu, Polri harus dapat mem- perkuat tim reserse termasuk Densus 88 supaya lebih banyak bertugas dengan teknik menyamar agar agenda pemberantasan terorisme dan kriminalitas di Indonesia bisa berjalan lebih baik. Jika tim reserse sudah kuat, setiap pelaku kejahatan termasuk teroris mungkin dapat ditangkap hidup-hidup sehingga dapat diajukan ke pengadilan dan kemudian divonis sesuai dengan hukum yang berlaku.

Masyarakat beradab tentu ingin selalu aman dan nyaman tanpa sering melihat aksi-aksi kekerasan polisi ketika menangkap penjahat (termasuk teroris). Dan semua orang beradab juga pasti tidak ingin melihat polisi bertindak lebih brutal melebihi penjahat dan teroris. Namun, setidaknya dalam pandangan polisi, kekerasan polisi tampaknya tidak akan surut, jika terorisme dan kriminalitas semakin mengancam keamanan dan kenyamanan bangsa. Dalam hal ini, kekerasan polisi dapat dianggap sebagai kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan. Seperti pepatah klasik, "Jika Anda ingin damai harus siap untuk perang, dan jika Anda ingin aman dan nyaman harus keras pada semua pihak yang ingin mengganggu keamanan dan kenyamanan."

Jika sudah demikian, memang sangat dilematis bagi polisi. Jika polisi semakin keras akan menakutkan, tapi jika polisi lembek pasti masyarakat juga akan takut kepada penjahat dan teroris. Karena itu, tampaknya ma syarakat harus belajar memahami aksi- aksi kekerasan polisi terhadap penjahat dan teroris demi terwujudnya keamanan dan kenyamanan, meski harus dengan menahan rasa takut yang bersifat manusiawi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar