Kamis, 07 Maret 2013

Perum Percetakan Alquran


Perum Percetakan Alquran
Hamam Faizin  ;  Penulis buku Sejarah Pencetakan Al-Qur'an (2012),
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
REPUBLIKA, 05 Maret 2013


Tulisan Wakil menteri Agama Nasaruddin Umar dalam Harian Republika (9/2/2013) dengan judul "Problem Percetakan Alquran" layak diapresiasi. Wamen mengusulkan agar ada semacam aturan yang jelas tentang pencetakan Alquran. Kalau boleh penulis menafsirkan, Wamen menginginkan adanya perusahaan negara yang mengurusi pencetakan Alquran.

Tentu saja, usulan ini muncul bukan saja karena kekhawatiran akan adanya penyimpangan-penyimpangan korupsi dalam proses pengadaan Alquran, meainkan memang sudah seharusnya pencetakan Alquran dibuatkan sendiri pabriknya sebagaimana perusahaan umum pencetakan uang RI. Pencetakan uang saja ditangani khusus oleh perusahaan umum milik negara, mengapa pencetakan Alquran-yang notabenenya adalah kitab suci umat Islam-tidak diperlakukan seperti itu?

Artikel ini akan mengamini usulan tersebut dengan memberikan latar belakang sejarah pencetakan Alquran di dunia. Penulis akan menginformasikan penggalan sejarah pencetakan Alquran yang mungkin bisa jadi pertimbangan untuk mendukung gagasan Wamen.

Dalam sejumlah literatur-seperti Encyclopaedia of the Qur'an (2004), Early Printed Korans: The Dissemination of the Koran in the West (2004), dan A lost Arabic Koran rediscovered karya Angela Nuovo (1990)-disebutkan bahwa Alquran dicetak pertama kali oleh Paganino dan Alessandro Paganini (anak dan ayah, keduanya adalah ahli pencetakan dan penerbitan), antara 9 Agustus 1537 dan 9 Agustus 1538 di Venice, Italia. Sayangnya, Alquran cetakan ini hilang dan akhirnya memunculkan banyak spekulasi.

Pertama, Juli 1542, terjadi penolakan atas pencetakan Alquran karena berbahaya dan seharusnya tidak diterbitkan dan diedarkan di komunitas Kristiani. Mushaf tersebut akhirnya disita oleh City Council (perwakilan kota) yang bertindak atas dasar nasihat sejumlah pemimpin agama Kristiani.  

Kedua, edisi Venice bukan ditujukan untuk orang-orang Eropa, melainkan akan dikirim ke Imperium Ottoman, Istanbul, Turki. Sayangnya, edisi itu memuat banyak kesalahan hingga mereduksi makna Alquran. Setting serta layout-nya terlalu jelek. Orang-orang Ottoman menyakini, Alquran hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang suci. Sedangkan, Alesandro Paganini dan Paganino adalah orang kafir yang tidak suci. Jadi, ketika Alessandro Paganini pergi ke Istanbul untuk menjual Alquran cetakannya, orang-orang Ottoman tidak menyambutnya.

Jean Bodin (1530-1596) dalam Colloquium Heptaplomeres (ditulis sekitar tahun 1580) menyatakan bahwa orang-orang Ottoman merusak seluruh cetakan dan memotong tangan kanan Alessandro. Mushaf Venice ini ditemukan kembali pada 1980-an di Perpustakaan Fransiscan Friars of San Michele di Isola, Venice, oleh Angela Nouvo. Pemilik edisi Venice ini adalah Teseo Ambrogio degli Albonesi yang meninggal setelah tahun 1540. Kopian tersebut penuh dengan cacat dan hampir rusak.

Jauh setelah edisi Venice, muncul cetakan edisi Hamburg tahun 1694 dilakukan Abraham Hinckelmann, seorang kepala pastur di Hamburg. Hampir satu abad setelah cetakan Hamburg, muncullah cetakan Alquran spesial pada 1787 di St. Petersburg. Setelah perdamaian Kuecuek Kaynarca, pascaperang Rusia-Turki (1768-1774), sejumlah wilayah Turki Utsmani (Ottoman) jatuh ke dalam kekuasaan Rusia.  Yang Mulia Ratu Rusia Tsarina Catherine II (w. 1796) memerintahkan agar Alquran dicetak dengan tujuan politis. Sebagai sikap toleransi keagamaan, Ratu Tsarina Caherin II ingin agar keturunan Muslim Turki dapat mengakses Kitab Suci tersebut. Alquran cetakan ini di-tahqiq oleh sarjana-sarjana Islam dan diberi kutipan-kutipan keterangan dari kitab-kitab tafsir. Di sinilah pertama kali umat Islam mencetak Alquran.

Dari penggalan sejarah tersebut, sejarah pencetakan Alquran sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, kepentingan, politisasi, dan rekayasa. Oleh sebab itu, untuk meminimalisasi politisasi, kepentingan, intrik, dan rekayasa, diperlukan sebuah institusi resmi yang dijamin oleh negara untuk melakukan pencetakan Alquran.
Hilangnya edisi Venice menunjukkan bahwa tidak adanya jaminan dari otoritas saat itu atas pencetakan Alquran. Sedangkan, berhasilnya pencetakan Al-quran di St. Petersburg oleh orang-orang Turki disebabkan otoritas saat itu (raja) mendorong dan mendirikan pencetakan Alquran. Salah satu negara Islam yang telah melakukan hal ini adalah Arab Saudi. 

Pada 1984/1985 (1505 H), Arab Saudi mendirikan pabrik percetakan Alquran terbesar di dunia, yakni Majma' Malik Fahd li Thiba'ah Mushhaf asy-Syarif yang diresmikan Raja Malik Fahd. Percetakan ini berada di bawah Kementerian Agama Kerajaan Arab Saudi. Percetakan ini melibatkan ahli kaligrafi , ulama-ulama besar, dan para huffadz di berbagai negara sebagai pengawas.
Apabila ada kesalahan atau cacat, seperti titik, baris, lipatan kertas yang cacat, dan jahitan yang melenceng, semuanya akan disortir untuk dimusnahkan di gedung pemusnahan. Percetakan Majma' Malik Fahd Li Thiba'ah Mushaf asy-Syarif sangat bisa menjadi model bagi percetakan Alquran di Indonesia.

Walhasil, ketika Alquran sudah menjadi sebuah buku yang tertulis secara utuh dan dicetak (the book), ia menjadi sebuah entitas tersendiri yang memiliki nilai. George Ateyah dalam The Book in Islamic World (1995) mengatakan, "A book is obviously not simply a phisical thing. It is a living entity." Jadi, Alquran yang dicetak merupakan item material dan intelektual yang multifaceted, mencakup semua aspek yang terkait dengan produksi-buku, authorship, transmisi, kontrol pengetahuan, serta peran pentingnya dalam budaya dan sekaligus sosial. Di sinilah, usulan Wamen Agama menemukan relevansinya dan membuka diskusi baru tentang sejarah pencetakan Alquran di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar