Tanggal
22 Maret diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Momentum ini mengingatkan
kembali pentingnya perhatian negara terhadap masalah air bersih dan
sanitasi bagi warganya.
Menurut
catatan World Health Organization (WHO), sampai dengan 2008, sekitar 900
juta penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air bersih, dan 2,6
miliar penduduk dunia belum memiliki akses terhadap sanitasi (WHO, UN-Water Global Annual Assesment of
Sanitation and Drinking Water 2010: Targeting Resources for Better Results,
Geneva, 2010).
Dalam
konteks Indonesia, berdasarkan catatan laporan Millennium Development Goals (MDGs) 2010 terbitan Bappenas,
jumlah rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih sebesar 47,71
persen, dan jumlah rumah tangga yang memiliki akses sanitasi sebanyak 51,19
persen.
Sementara
target yang ingin dicapai Indonesia pada 2015 sebesar 68,87 persen untuk
air bersih dan 62,41 persen untuk sanitasi.
Dibandingkan
dengan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tampak jauh
tertinggal dalam hal keteraksesan penduduk terhadap air bersih dan
sanitasi. Malaysia, misalnya, untuk air bersih telah mencapai 100 persen,
sementara sanitasi 96 persen. Thailand 98 persen untuk air bersih dan 96
persen untuk sanitasi.
Vietnam
94 persen untuk air bersih dan 75 persen untuk sanitasi. Filipina 91 persen
untuk air bersih dan 76 persen untuk sanitasi. Indonesia sendiri 80 persen
untuk air bersih dan 52 persen untuk sanitasi (WHO/Unicef, Progress on Sanitation and
Drinking-Water 2010, Geneva, 2010).
Rendahnya
tingkat keteraksesan penduduk Indonesia terhadap air bersih dan sanitasi
tidak lepas dari kinerja Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai
penyedia layakan air bersih di Indonesia. Total terdapat 392 PDAM di
Indonesia yang tersebar di 77 kota dan 315 kabupaten.
Berdasarkan
data BPKP 2009, lebih dari 62,65 persen PDAM di Indonesia berada dalam
kondisi tidak sehat, sisanya dalam kondisi sehat. Ini tentu saja cukup
mengkhawatirkan, karena PDAM adalah ujung tombak negara dalam menyediakan
layanan air bersih bagi masyarakat.
Ekonomi Air
Air
merupakan barang vital bagi kehidupan. Hal ini menjadikan air sebagai
barang yang kompleks dan kerap kali menimbulkan penafsiran beragam.
Sebagian kalangan meyakini air adalah public goods, yakni barang non-rival.
Seseorang
mengonsumsi barang tersebut tidak akan mengurangi kesempatan orang lain
untuk ikut mengonsumsinya. Selain itu, dalam public goods melekat sifat non-excludable
yang berarti hampir mustahil meniadakan hak seseorang untuk mengonsumsinya.
Kalangan
lain memandang air merupakan common
pool resources bersifat terbatas dan tak tergantikan. Mengutip Wijanto
Hadipuro dalam bukunya, Hak dan Konsepsi Ekonomi untuk Air, sebagai common pool resources, air memiliki
banyak wajah terkait dengan hak kepemilikan.
Pertama, air
bisa menjadi open access
bercirikan tidak adanya hak kepemilikan yang dapat diklaim untuk
ditegakkan. Kedua, air sebagai hak milik komunitas atau kelompok. Selain
anggota komunitas, orang lain dilarang memanfaatkannya. Ketiga, air sebagai
hak milik pribadi atau individu yang mengeksklusi semua pihak untuk
menggunakannya. Keempat, air sebagai hak milik negara. Pemerintah sebagai
wakil negara dapat mengeluarkan regulasi atau memberi subsidi.
Menurut
Gleick (2002), mengelola sumber daya air sebagai barang ekonomi berarti air
akan dialokasikan kepada pengguna yang saling bersaing satu dengan yang
lain sedemikian rupa sehingga memberi nilai maksimal pada pemanfaatannya.
Nilai maksimal yang dimaksud adalah nilai pertukaran.
Namun,
pendekatan mekanisme pasar semacam ini diyakini membuat kelompok masyarakat
miskin kalah bersaing, karena tidak mampu mencapai nilai maksimal yang
diinginkan. Pada titik inilah terjadi proses pemiskinan, karena masyarakat
miskin dipaksa untuk bertarung dalam sebuah mekanisme yang sejak awal
berjalan tidak adil.
HAM
Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada akhir Juli 2010 telah
mendeklarasikan akses terhadap air bersih dan sanitasi sebagai hak asasi
manusia (HAM). Indonesia termasuk di antara negara yang mendukung deklarasi
tersebut.
Sebelumnya,
para pemimpin dunia juga telah bersepakat memasukkan akses terhadap air
bersih dan sanitasi sebagai salah satu target MDGs yang harus dicapai pada
2015. Ini sebagai pendekatan baru setelah mekanisme pasar diragukan bekerja
dengan baik dalam pengelolaan air.
Maka,
Indonesia perlu serius mengelola sumber daya air untuk kepentingan
masyarakat. Menurut Timothy Kessler (2005), kebijakan sosial layanan air
bersih dan sanitasi setidaknya harus mengacu pada beberapa hal.
Pertama,
mempromosikan air sebagai public goods yang tidak bisa disediakan hanya
oleh pasar. Kedua, mengurangi kemiskinan dan kerentanan. Ketiga, melibatkan
kelompok-kelompok yang secara tradisional tereksklusi dari layanan publik
atau peluang pasar.
Air
adalah public goods, karena menjadi sesuatu yang sangat vital bagi
kehidupan, manusia terutama. Dengan kata lain, ia bagian dari HAM.
Maksudnya, setiap manusia berhak atas air guna memenuhi kehidupannya.
Sebagai
bagian dari HAM, dalam hal ini negara yang diwakili pemerintah punya
tanggung jawab besar untuk memberikan perhatian dan melakukan pengelolaan
yang baik demi kepentingan masyarakat secara luas.
Peran
negara dibutuhkan agar sumber daya air tidak sebebasnya diserahkan kepada
mekanisme pasar. Swasta tetap diberi ruang untuk mengelola, tetapi negara
tidak bisa lepas begitu saja. Masyarakat juga perlu diikutkan dalam setiap
pengambilan kebijakan.
Selain
itu, paradigma berpikir PDAM sebagai pelayan air bersih bagi masyarakat
perlu ditingkatkan dan lebih dikedepankan. PDAM jangan lagi menempatkan
masyarakat sebagai konsumen, tetapi warga negara yang memang berhak
mendapatkan layanan air bersih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar