Sabtu, 23 Maret 2013

Air, “Public Goods”, dan HAM

Air, “Public Goods”, dan HAM
Fajar Kurnianto  ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina, Jakarta
SINAR HARAPAN, 21 Maret 2013



Tanggal 22 Maret diperingati sebagai Hari Air Sedunia. Momentum ini mengingatkan kembali pentingnya perhatian negara terhadap masalah air bersih dan sanitasi bagi warganya.
Menurut catatan World Health Organization (WHO), sampai dengan 2008, sekitar 900 juta penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air bersih, dan 2,6 miliar penduduk dunia belum memiliki akses terhadap sanitasi (WHO, UN-Water Global Annual Assesment of Sanitation and Drinking Water 2010: Targeting Resources for Better Results, Geneva, 2010).

Dalam konteks Indonesia, berdasarkan catatan laporan Millennium Development Goals (MDGs) 2010 terbitan Bappenas, jumlah rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih sebesar 47,71 persen, dan jumlah rumah tangga yang memiliki akses sanitasi sebanyak 51,19 persen.
Sementara target yang ingin dicapai Indonesia pada 2015 sebesar 68,87 persen untuk air bersih dan 62,41 persen untuk sanitasi.

Dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tampak jauh tertinggal dalam hal keteraksesan penduduk terhadap air bersih dan sanitasi. Malaysia, misalnya, untuk air bersih telah mencapai 100 persen, sementara sanitasi 96 persen. Thailand 98 persen untuk air bersih dan 96 persen untuk sanitasi.

Vietnam 94 persen untuk air bersih dan 75 persen untuk sanitasi. Filipina 91 persen untuk air bersih dan 76 persen untuk sanitasi. Indonesia sendiri 80 persen untuk air bersih dan 52 persen untuk sanitasi (WHO/Unicef, Progress on Sanitation and Drinking-Water 2010, Geneva, 2010).

Rendahnya tingkat keteraksesan penduduk Indonesia terhadap air bersih dan sanitasi tidak lepas dari kinerja Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai penyedia layakan air bersih di Indonesia. Total terdapat 392 PDAM di Indonesia yang tersebar di 77 kota dan 315 kabupaten.

Berdasarkan data BPKP 2009, lebih dari 62,65 persen PDAM di Indonesia berada dalam kondisi tidak sehat, sisanya dalam kondisi sehat. Ini tentu saja cukup mengkhawatirkan, karena PDAM adalah ujung tombak negara dalam menyediakan layanan air bersih bagi masyarakat.

Ekonomi Air

Air merupakan barang vital bagi kehidupan. Hal ini menjadikan air sebagai barang yang kompleks dan kerap kali menimbulkan penafsiran beragam. Sebagian kalangan meyakini air adalah public goods, yakni barang non-rival.

Seseorang mengonsumsi barang tersebut tidak akan mengurangi kesempatan orang lain untuk ikut mengonsumsinya. Selain itu, dalam public goods melekat sifat non-excludable yang berarti hampir mustahil meniadakan hak seseorang untuk mengonsumsinya.

Kalangan lain memandang air merupakan common pool resources bersifat terbatas dan tak tergantikan. Mengutip Wijanto Hadipuro dalam bukunya, Hak dan Konsepsi Ekonomi untuk Air, sebagai common pool resources, air memiliki banyak wajah terkait dengan hak kepemilikan.

Pertama, air bisa menjadi open access bercirikan tidak adanya hak kepemilikan yang dapat diklaim untuk ditegakkan. Kedua, air sebagai hak milik komunitas atau kelompok. Selain anggota komunitas, orang lain dilarang memanfaatkannya. Ketiga, air sebagai hak milik pribadi atau individu yang mengeksklusi semua pihak untuk menggunakannya. Keempat, air sebagai hak milik negara. Pemerintah sebagai wakil negara dapat mengeluarkan regulasi atau memberi subsidi.

Menurut Gleick (2002), mengelola sumber daya air sebagai barang ekonomi berarti air akan dialokasikan kepada pengguna yang saling bersaing satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga memberi nilai maksimal pada pemanfaatannya. Nilai maksimal yang dimaksud adalah nilai pertukaran.
Namun, pendekatan mekanisme pasar semacam ini diyakini membuat kelompok masyarakat miskin kalah bersaing, karena tidak mampu mencapai nilai maksimal yang diinginkan. Pada titik inilah terjadi proses pemiskinan, karena masyarakat miskin dipaksa untuk bertarung dalam sebuah mekanisme yang sejak awal berjalan tidak adil.

HAM

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada akhir Juli 2010 telah mendeklarasikan akses terhadap air bersih dan sanitasi sebagai hak asasi manusia (HAM). Indonesia termasuk di antara negara yang mendukung deklarasi tersebut.

Sebelumnya, para pemimpin dunia juga telah bersepakat memasukkan akses terhadap air bersih dan sanitasi sebagai salah satu target MDGs yang harus dicapai pada 2015. Ini sebagai pendekatan baru setelah mekanisme pasar diragukan bekerja dengan baik dalam pengelolaan air.

Maka, Indonesia perlu serius mengelola sumber daya air untuk kepentingan masyarakat. Menurut Timothy Kessler (2005), kebijakan sosial layanan air bersih dan sanitasi setidaknya harus mengacu pada beberapa hal.

Pertama, mempromosikan air sebagai public goods yang tidak bisa disediakan hanya oleh pasar. Kedua, mengurangi kemiskinan dan kerentanan. Ketiga, melibatkan kelompok-kelompok yang secara tradisional tereksklusi dari layanan publik atau peluang pasar.

Air adalah public goods, karena menjadi sesuatu yang sangat vital bagi kehidupan, manusia terutama. Dengan kata lain, ia bagian dari HAM. Maksudnya, setiap manusia berhak atas air guna memenuhi kehidupannya.

Sebagai bagian dari HAM, dalam hal ini negara yang diwakili pemerintah punya tanggung jawab besar untuk memberikan perhatian dan melakukan pengelolaan yang baik demi kepentingan masyarakat secara luas.

Peran negara dibutuhkan agar sumber daya air tidak sebebasnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Swasta tetap diberi ruang untuk mengelola, tetapi negara tidak bisa lepas begitu saja. Masyarakat juga perlu diikutkan dalam setiap pengambilan kebijakan.

Selain itu, paradigma berpikir PDAM sebagai pelayan air bersih bagi masyarakat perlu ditingkatkan dan lebih dikedepankan. PDAM jangan lagi menempatkan masyarakat sebagai konsumen, tetapi warga negara yang memang berhak mendapatkan layanan air bersih.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar