Selasa, 19 Maret 2013

Negara Minus Kedaulatan Pangan


Negara Minus Kedaulatan Pangan
Posman Sibuea ;  Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatra Utara,
Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
MEDIA INDONESIA, 19 Maret 2013


“Can you imagine a country that was unable to grow enough food to feed the people? It would be a nation subject to international pressure....!“ (George W Bush, 2001, mantan presiden AS)

DALAM beberapa tahun terakhir Indonesia kian dibanjiri pangan impor. Pemerintah nyaris tidak punya kekuatan untuk mengempang dan Indonesia di mata dunia internasional menjadi sebuah negara minus kedaulatan pangan. Kita menghuni negeri yang makmur, tetapi tidak mampu memproduksi pangan untuk kebutuhan rakyat. Setelah krisis kedelai dan daging sapi, negeri ini kembali diguncang krisis pangan akibat kelangkaan bawah putih dan bawang merah.

Indonesia seharusnya tidak menggantungkan kebutuhan pangan rakyatnya pada impor. Sebagai negara agraris yang dipuja-puji memiliki kekayaan sumber daya pertanian dan pangan yang melimpah, Indonesia seharusnya bisa menjadi lumbung pangan dunia. Namun ironisnya, impor pangan setiap tahun makin tidak terbendung. Hampir 75% kebutuhan pangan di dalam negeri kini dipenuhi dari impor.
Muncul dugaan, dalam dua tahun ke depan, ruang impor pangan masih besar. Guna mengawal stabilitas politik pada Pemilu 2014, keran impor pangan akan terbuka lebar bagi para pemburu rente. Agar gejolak harga pangan yang memicu infl asi tinggi terkendali, pangan harus tersedia. Impor menjadi pilihan ketimbang membeli produk petani dan peternak lokal.

Corruption by Design

Harga sejumlah produk pangan yang melambung tinggi belakangan ini diduga akibat ulah para pemain kartel pangan yang dikuasai segelintir pemodal besar. Praktik kartel pangan dengan power (kekuasaan) uang yang dimiliki semakin terkuak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus dugaan korupsi impor daging sapi. Temuan Direktorat Litbang KPK tentang kelangkaan daging sapi menunjukkan suap impor daging sapi ialah jenis corruption by design.

Kajian yang dilakukan KPK lewat `Kebijakan Tata Niaga Komoditas Strategis Daging Sapi' yang hasilnya dipaparkan pada akhir Februari lalu memunculkan dugaan baru, yakni adanya pihak-pihak yang mempermainkan tata niaga daging sapi dengan menciptakan kondisi pasokan daging di sejumlah daerah berkurang. Tujuannya hanya mendongkrak harga jual daging agar ada keuntungan yang dikantongi sekelompok orang.

Para ekonom memperkirakan praktik serupa terjadi pada komoditas lain seperti jagung, kedelai, beras, gula, dan terigu. Pengusaha bersama pejabat dan politikus memanfaat kan pembatasan impor pangan itu untuk mengeruk fulus sebanyak-banyaknya. Laba yang dikeruk para pemain kartel bisa mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun. Fenomena tersebut menunjukkan pangan impor sudah dikendalikan mafia pangan untuk meraup keuntungan. Sepanjang 2012, Indonesia mengimpor bahan pangan utama lebih dari 15 juta ton dengan menghabiskan devisa Rp82 triliun. Itu suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun 820 ribu unit gedung SD di berbagai daerah di Tanah Air.

Masih tingginya pertumbuhan penduduk dan kian miskinnya petani ditengarai penyebab kian derasnya pangan impor mengalir ke negeri kita. Meski Republik ini telah merdeka sekitar 68 tahun, alihalih pemerintah dapat menyejahterakan petani, jumlah petani gurem justru kian meningkat dari 41% menjadi 53%. Petani kecil termarginalisasi lantaran digilas roda pembangunan hedonis yang kapitalistis. Keterpurukan itu membawa konsekuensi logis, yakni Indonesia semakin tak berdaulat atas pangan.

Di sisi lain, kesejahteraan yang meningkat bagi sekitar 50 juta jiwa mengatrol konsumsi pangan sehingga mendorong laju konsumsi pangan impor meningkat. Sekadar contoh, pada 2000, impor gandum masih sebanyak 6 juta ton. Lantas lima tahun kemudian, pada 2005, impor bahan baku roti dan mi instan itu terdongkrak hampir 10% menjadi 6,6 juta ton. Diperkirakan, pada 2025, impor gandum akan meningkat tiga kali lipat menjadi 19 juta ton.

Untuk tingkat konsumsi daging ayam ras, meski sebagian besar ayam usia sehari (day old chicken/DOC) diproduksi di dalam negeri, yaitu sebanyak 1,3 miliar ekor pada 2010, superinduk ayam (grand parent stock/GPS) dan induk ayam (parent stock/ PS)-nya diimpor dari negara maju.
Impor kedelai dalam lima tahun terakhir (2007-2012) rata-rata 1,7 juta ton. Jumlah itu untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri yang mencapai 2,4 juta ton setiap tahun. Krisis kedelai diperkirakan bakal menjadi krisis tahunan selama Indonesia menggantungkan diri kepada pasokan kedelai impor. Para pembuat tempe dan tahu akan selalu mengalami defi sit bahan baku karena produksi kedelai merupakan gejala global akibat perubahan cuaca yang ekstrem.

Produk susu juga tergantung impor. Produksi susu di Indonesia tercatat masih sangat rendah. Sekitar 75% kebutuhan susu diimpor dalam bentuk skim. Dari sensus ternak pada 2011, populasi sapi perah hanya 597 ribu ekor dan produksi susu hanya 900 ribu ton per tahun.

Untuk beras, meski pada 2008 sempat swasembada bahkan ekspor dalam jumlah kecil, kita kembali membuka keran impor untuk makanan pokok sumber karbohidrat itu. Dalam periode 2009-2012, jumlah beras impor rata-rata 1 jutaan ton. Fokus ke peningkatan produksi beras untuk surplus 10 juta ton pada 2014 hendaknya juga jangan membuat pemerintah lantas alpa membangun komoditas pangan penting lain yang saat ini masih kita impor.

Harga Diri Bangsa

Jumlah pangan impor yang masih sangat besar menyadar kan kita bahwa pekerjaan rumah di sektor pertanian dan ketahanan pangan masih belum selesai. Tingginya ketergantungan pada impor dan rapuhnya (decay) kedaulatan pangan tak bisa dilepaskan dari kurangnya perhatian pada pembangunan sektor pertanian. Alokasi anggaran yang masih terbatas di Kementerian Pertanian hanya satu indikator ketidakberdayaan bangsa ini untuk keluar dari perangkap pangan impor.

Untuk melepaskan Indonesia dari jebakan pangan impor, penggunaan produk pangan lokal dengan segala konsekuensinya perlu didorong, juga ketergantungan dan ketagihan produk pangan berbasis gandum harus dikurangi. Kita perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka tetap bangga menggunakan produk lokal seperti telepon seluler dan mobil buatan sendiri tanpa terpengaruh oleh produk bangsa lain yang lebih canggih. Harga diri bangsa menjadi taruhan terakhir dalam melepaskan diri dari jebakan pangan.

Sebagai bangsa agraris, Indonesia harus keluar dari jebakan dan perangkap pangan negara maju dengan segera mengurangi praktik liberalisasi pangan. Praktik tersebut telah menyebabkan munculnya beragam kartel pangan baru yang pola kerjanya mirip mafia yang menguasai distribusi dan perdagangan pangan. Untuk menghentikannya, pemerintah harus membatasi penguasaan distribusi pangan melalui korporasi.

Satu hal yang tak kalah penting ialah kecenderungan selama ini yang memilih langkah gampang dengan mengimpor tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang harus diakhiri. Ketergantungan pada impor hendaknya menyadarkan kita untuk terus membangun ketahanan pangan berbasis kemandirian dan kedaulatan pangan seperti roh dan jiwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar