“Can you imagine a country that was unable to grow
enough food to feed the people? It would be a nation subject to
international pressure....!“ (George W Bush, 2001, mantan presiden AS)
DALAM beberapa tahun terakhir
Indonesia kian dibanjiri pangan impor. Pemerintah nyaris tidak punya
kekuatan untuk mengempang dan Indonesia di mata dunia internasional menjadi
sebuah negara minus kedaulatan pangan. Kita menghuni negeri yang makmur,
tetapi tidak mampu memproduksi pangan untuk kebutuhan rakyat. Setelah
krisis kedelai dan daging sapi, negeri ini kembali diguncang krisis pangan
akibat kelangkaan bawah putih dan bawang merah.
Indonesia seharusnya tidak menggantungkan
kebutuhan pangan rakyatnya pada impor. Sebagai negara agraris yang
dipuja-puji memiliki kekayaan sumber daya pertanian dan pangan yang
melimpah, Indonesia seharusnya bisa menjadi lumbung pangan dunia. Namun
ironisnya, impor pangan setiap tahun makin tidak terbendung. Hampir 75%
kebutuhan pangan di dalam negeri kini dipenuhi dari impor.
Muncul dugaan, dalam dua tahun ke depan,
ruang impor pangan masih besar. Guna mengawal stabilitas politik pada
Pemilu 2014, keran impor pangan akan terbuka lebar bagi para pemburu rente.
Agar gejolak harga pangan yang memicu infl asi tinggi terkendali, pangan
harus tersedia. Impor menjadi pilihan ketimbang membeli produk petani dan
peternak lokal.
Corruption by Design
Harga sejumlah produk pangan
yang melambung tinggi belakangan ini diduga akibat ulah para pemain kartel
pangan yang dikuasai segelintir pemodal besar. Praktik kartel pangan dengan
power (kekuasaan) uang yang
dimiliki semakin terkuak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
membongkar kasus dugaan korupsi impor daging sapi. Temuan Direktorat
Litbang KPK tentang kelangkaan daging sapi menunjukkan suap impor daging
sapi ialah jenis corruption by design.
Kajian yang dilakukan KPK lewat `Kebijakan
Tata Niaga Komoditas Strategis Daging Sapi' yang hasilnya dipaparkan pada
akhir Februari lalu memunculkan dugaan baru, yakni adanya pihak-pihak yang
mempermainkan tata niaga daging sapi dengan menciptakan kondisi pasokan
daging di sejumlah daerah berkurang. Tujuannya hanya mendongkrak harga jual
daging agar ada keuntungan yang dikantongi sekelompok orang.
Para ekonom memperkirakan praktik serupa
terjadi pada komoditas lain seperti jagung, kedelai, beras, gula, dan
terigu. Pengusaha bersama pejabat dan politikus memanfaat kan pembatasan
impor pangan itu untuk mengeruk fulus sebanyak-banyaknya. Laba yang dikeruk
para pemain kartel bisa mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun.
Fenomena tersebut menunjukkan pangan impor sudah dikendalikan mafia pangan
untuk meraup keuntungan. Sepanjang 2012, Indonesia mengimpor bahan pangan
utama lebih dari 15 juta ton dengan menghabiskan devisa Rp82 triliun. Itu
suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun 820 ribu
unit gedung SD di berbagai daerah di Tanah Air.
Masih tingginya pertumbuhan penduduk dan
kian miskinnya petani ditengarai penyebab kian derasnya pangan impor
mengalir ke negeri kita. Meski Republik ini telah merdeka sekitar 68 tahun,
alihalih pemerintah dapat menyejahterakan petani, jumlah petani gurem justru
kian meningkat dari 41% menjadi 53%. Petani kecil termarginalisasi lantaran
digilas roda pembangunan hedonis yang kapitalistis. Keterpurukan itu
membawa konsekuensi logis, yakni Indonesia semakin tak berdaulat atas
pangan.
Di sisi lain, kesejahteraan yang meningkat
bagi sekitar 50 juta jiwa mengatrol konsumsi pangan sehingga mendorong laju
konsumsi pangan impor meningkat. Sekadar contoh, pada 2000, impor gandum
masih sebanyak 6 juta ton. Lantas lima tahun kemudian, pada 2005, impor
bahan baku roti dan mi instan itu terdongkrak hampir 10% menjadi 6,6 juta
ton. Diperkirakan, pada 2025, impor gandum akan meningkat tiga kali lipat
menjadi 19 juta ton.
Untuk tingkat konsumsi daging ayam ras,
meski sebagian besar ayam usia sehari (day
old chicken/DOC) diproduksi di dalam negeri, yaitu sebanyak 1,3 miliar
ekor pada 2010, superinduk ayam (grand parent stock/GPS) dan induk ayam
(parent stock/ PS)-nya diimpor dari negara maju.
Impor kedelai dalam lima tahun terakhir
(2007-2012) rata-rata 1,7 juta ton. Jumlah itu untuk memenuhi kebutuhan
kedelai dalam negeri yang mencapai 2,4 juta ton setiap tahun. Krisis
kedelai diperkirakan bakal menjadi krisis tahunan selama Indonesia menggantungkan
diri kepada pasokan kedelai impor. Para pembuat tempe dan tahu akan selalu
mengalami defi sit bahan baku karena produksi kedelai merupakan gejala
global akibat perubahan cuaca yang ekstrem.
Produk susu juga tergantung impor. Produksi
susu di Indonesia tercatat masih sangat rendah. Sekitar 75% kebutuhan susu
diimpor dalam bentuk skim. Dari sensus ternak pada 2011, populasi sapi
perah hanya 597 ribu ekor dan produksi susu hanya 900 ribu ton per tahun.
Untuk beras, meski pada 2008 sempat
swasembada bahkan ekspor dalam jumlah kecil, kita kembali membuka keran
impor untuk makanan pokok sumber karbohidrat itu. Dalam periode 2009-2012,
jumlah beras impor rata-rata 1 jutaan ton. Fokus ke peningkatan produksi
beras untuk surplus 10 juta ton pada 2014 hendaknya juga jangan membuat
pemerintah lantas alpa membangun komoditas pangan penting lain yang saat
ini masih kita impor.
Harga Diri Bangsa
Jumlah pangan impor yang masih
sangat besar menyadar kan kita bahwa pekerjaan rumah di sektor pertanian
dan ketahanan pangan masih belum selesai. Tingginya ketergantungan pada
impor dan rapuhnya (decay)
kedaulatan pangan tak bisa dilepaskan dari kurangnya perhatian pada
pembangunan sektor pertanian. Alokasi anggaran yang masih terbatas di
Kementerian Pertanian hanya satu indikator ketidakberdayaan bangsa ini
untuk keluar dari perangkap pangan impor.
Untuk melepaskan Indonesia dari jebakan
pangan impor, penggunaan produk pangan lokal dengan segala konsekuensinya
perlu didorong, juga ketergantungan dan ketagihan produk pangan berbasis
gandum harus dikurangi. Kita perlu belajar dari negara kaya yang
teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka tetap bangga
menggunakan produk lokal seperti telepon seluler dan mobil buatan sendiri
tanpa terpengaruh oleh produk bangsa lain yang lebih canggih. Harga diri
bangsa menjadi taruhan terakhir dalam melepaskan diri dari jebakan pangan.
Sebagai bangsa agraris, Indonesia harus
keluar dari jebakan dan perangkap pangan negara maju dengan segera
mengurangi praktik liberalisasi pangan. Praktik tersebut telah menyebabkan
munculnya beragam kartel pangan baru yang pola kerjanya mirip mafia yang
menguasai distribusi dan perdagangan pangan. Untuk menghentikannya,
pemerintah harus membatasi penguasaan distribusi pangan melalui korporasi.
Satu hal yang tak kalah penting ialah
kecenderungan selama ini yang memilih langkah gampang dengan mengimpor
tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang harus diakhiri. Ketergantungan
pada impor hendaknya menyadarkan kita untuk terus membangun ketahanan
pangan berbasis kemandirian dan kedaulatan pangan seperti roh dan jiwa
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar