I always said that in politics,
your enemy can’t hurt you, but your friends will kill you – Ann Richards, mantan Gubernur Texas AS
ADAKAH persahabatan dalam dunia politik? Ada pulakah sikap kesatria
atau kekesatriaan pada kalangan politikus, termasuk di negeri ini? Di
antara kita mungkin ada yang tersenyum, bahkan tertawa, namun tidak perlu
sinis, apalagi apatis.
Yang jelas, aktual membicarakan dua pertanyaan itu. Ini sehubungan
perkembangan politik yang memanas akhir-akhir ini, menyusul kemunduran
ketua umum partai besar setelah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus
korupsi.
Tetapi sang ketua umum tampak tenang-tenang saja, sambil menunjuk
banyaknya ”kawan, teman, dan sahabat” yang bertamu ke rumahnya, termasuk
dari partai lain, guna memberi dukungan moral.
Pertanyaannya, sejauh mana kualitas perkawanan, pertemanan, atau
persahabatan di antara mereka?
Bagaimana persahabatan sang ketua umum
dengan sekjen, yang disebut sebagai ”sahabat saya”, tapi kemudian
dituduhnya menerima aliran dana dalam kasus yang menyeret dirinya?
Bagaimana pula hubungan ketua umum dengan mantan bendahara umum partai yang
telah dipenjara dalam kasus korupsi lain, dan menuduh sang ketua umum
menerima dana haram dari sana-sini?
Pertanyaan itu baru menyangkut sebuah partai. Belum termasuk partai
lain, yang juga dilanda konflik antarkader. Kolom ini rasanya mustahil
membahasnya secara rinci, penulis hanya mengambil contoh dari beberapa
kasus, Intinya, adakah persahabatan di antara kaum politikus?
Bagi kaum pesimistis, jawaban atas pertanyaan itu jelas negatif.
Apalagi dikaitkan dengan kasus yang menimpa sang ketua umum partai dan
bendahara umumnya. Jelas tak ada perkawanan atau persahabatan di antara
mereka. Persahabatan model apa ketika sang bendahara umum dengan enteng
menyeret sang ketua umum dalam kasus yang menimpanya? Persahabatan cap apa
pula ketika ketua umum coba menyeret sang sekjen, yang kebetulan anak
pembina partai, dengan tuduhan menerima aliran dana haram? Ya, mungkin ada,
tapi persahabatan kaum oportunis.
Ironisnya, tak tampak sikap kekesatriaan (chivalry) sang ketua umum
untuk mengakui kekurangan, kelemahan, atau kesalahan. Memang tuduhan
korupsi harus dibuktikan di pengadilan. Tetapi fakta dia sebagai ketua umum
partai (dan mantan wakil rakyat di DPR) ikut membuat karut-marut partai
haruslah diakui.
Sebagai ketua umum, dia harus bertanggung jawab. Apa ruginya bila
mengakui semisal,” Ya, saya ikut bersalah, bahkan sebagai ketua umum paling
bersalah, karena gagal menjaga roda partai. Saya mohon maaf atas
kesalahan itu.”
Bila itu dilakukan, simpati terhadapnya banyak berdatangan.
Seperti ungkapan, permintaan maaf bisa membalik apa yang tidak
diharapkan.Tetapi tidak mudah menebarkan harapan dari dunia politik karena
terlalu banyak pandangan negatif tentang politikus.
Politik Sejati
Eseis dan satiris HL Mencken (1880-1956) misalnya, menyebut politikus
yang baik dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang tak terbayangkan
seperti kita mengharapkan seorang maling yang jujur. Dengar pula Nikita
Krushchev, pemimpin komunis Uni Sovyet era 1960-an yang mengatakan,
politikus di mana pun sama saja. Mereka (bisa) berjanji membangun jembatan
meskipun tidak ada sungai.
Tidak perlu berkecil hati karena politik juga dilukiskan dengan nada
penuh harapan. Sebagian kalangan lebih memilih untuk mengingatkan politikus
supaya memiliki kualifikasi tertentu. Mohandas K Gandhi, tokoh terkemuka
India, terkenal dengan cara-cara damai dalam perjuangannya. Dalam pandangan
tokoh antikekerasan itu ada 7 akar kekerasan: kekayaan tanpa kerja,
kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, perdagangan tanpa
moralitas, sains tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, dan politik
tanpa prinsip-prinsip.
Kita juga bisa belajar dari Vaclav Havel, sastrawan Ceko yang
kemudian menjadi presiden dan meraih Nobel Perdamaian. Mengapa Havel terjun
ke politik. Dia menjawab, ”Politik yang sejati, politik satu-satunya yang
saya bersedia untuk mengabdikan diri, adalah masalah pelayanan terhadap
mereka yang ada di sekitar kita: melayani masyarakat dan melayani mereka
yang akan hidup setelah kita. Akar terdalamnya adalah moral karena itu
adalah tanggung jawab yang ditunjukkan melalui tindakan, kepada dan untuk
seluruh umat manusia.”
Pelajaran dari politikus yang terkenal kehebatannya secara umum bisa
ditarik benang merahnya bahwa pelayanan publik haruslah lebih dari sekadar
melakukan pekerjaan secara efisien dan jujur. Bahwa pelayanan publik harus
merupakan dedikasi komplet kepada rakyat dan bangsa dengan penuh pengakuan;
bahwa setiap umat manusia berhak untuk dihormati dan dipertimbangkan; bahwa
kritik yang konstruktif tidak hanya diharapkan tetapi juga diupayakan;
bahwa fitnah tidak hanya diperkirakan tetapi juga dilawan; bahwa kehormatan
harus diperoleh dengan kerja keras, bukan dibeli.
Betapapun keadaan dunia politik, tidak perlu disinisi. Ribuan tahun
lalu, Plato memperingatkan masyarakat supaya tidak acuh terhadap politik
dan segala sesuatu yang terkait dengan kepentingan publik. Ia mengatakan,
sikap apatis terhadap masalah-masalah publik harganya sangat mahal, karena
kita akan dikuasai oleh orang-orang yang jahat.
Jimmy Carter, negarawan Amerika, punya ungkapan sangat menarik untuk
melukiskan tanggung jawab dalam dunia politik. ”Tugas politik yang menyedihkan adalah menciptakan keadilan dalam
dunia yang penuh dosa,” kata Carter. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar