Jumat, 08 Maret 2013

Perkawanan Politikus Oportunis


Perkawanan Politikus Oportunis
Djoko Pitono  ;  Jurnalis dan Editor Buku
SUARA MERDEKA, 08 Maret 2013

  
I always said that in politics, your enemy can’t hurt you, but your friends will kill you –  Ann Richards, mantan Gubernur Texas AS

ADAKAH persahabatan dalam dunia politik? Ada pulakah sikap kesatria atau kekesatriaan pada kalangan politikus, termasuk di negeri ini? Di antara kita mungkin ada yang tersenyum, bahkan tertawa, namun tidak perlu sinis, apalagi apatis.

Yang jelas, aktual membicarakan dua pertanyaan itu. Ini sehubungan perkembangan politik yang memanas akhir-akhir ini, menyusul kemunduran ketua umum partai besar setelah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus korupsi.

Tetapi sang ketua umum tampak tenang-tenang saja, sambil menunjuk banyaknya ”kawan, teman, dan sahabat” yang bertamu ke rumahnya, termasuk dari partai lain, guna memberi dukungan moral.
Pertanyaannya, sejauh mana kualitas perkawanan, pertemanan, atau persahabatan di antara mereka? 

Bagaimana persahabatan sang ketua umum dengan sekjen, yang disebut sebagai ”sahabat saya”, tapi kemudian dituduhnya menerima aliran dana dalam kasus yang menyeret dirinya? Bagaimana pula hubungan ketua umum dengan mantan bendahara umum partai yang telah dipenjara dalam kasus korupsi lain, dan menuduh sang ketua umum menerima dana haram dari sana-sini?

Pertanyaan itu baru menyangkut sebuah partai. Belum termasuk partai lain, yang juga dilanda konflik antarkader. Kolom ini rasanya mustahil membahasnya secara rinci, penulis hanya mengambil contoh dari beberapa kasus, Intinya, adakah persahabatan di antara kaum politikus?

Bagi kaum pesimistis, jawaban atas pertanyaan itu jelas negatif. Apalagi dikaitkan dengan kasus yang menimpa sang ketua umum partai dan bendahara umumnya. Jelas tak ada perkawanan atau persahabatan di antara mereka. Persahabatan model apa ketika sang bendahara umum dengan enteng menyeret sang ketua umum dalam kasus yang menimpanya? Persahabatan cap apa pula ketika ketua umum coba menyeret sang sekjen, yang kebetulan anak pembina partai, dengan tuduhan menerima aliran dana haram? Ya, mungkin ada, tapi persahabatan kaum oportunis.

Ironisnya, tak tampak sikap kekesatriaan (chivalry) sang ketua umum untuk mengakui kekurangan, kelemahan, atau kesalahan. Memang tuduhan korupsi harus dibuktikan di pengadilan. Tetapi fakta dia sebagai ketua umum partai (dan mantan wakil rakyat di DPR) ikut membuat karut-marut partai haruslah diakui.

Sebagai ketua umum, dia harus bertanggung jawab. Apa ruginya bila mengakui semisal,” Ya, saya ikut bersalah, bahkan sebagai ketua umum paling bersalah, karena gagal menjaga  roda partai. Saya mohon maaf atas kesalahan itu.”

Bila itu dilakukan, simpati terhadapnya banyak  berdatangan. Seperti ungkapan, permintaan maaf bisa membalik apa yang tidak diharapkan.Tetapi tidak mudah menebarkan harapan dari dunia politik karena terlalu banyak pandangan negatif tentang politikus.

Politik Sejati

Eseis dan satiris HL Mencken (1880-1956) misalnya, menyebut politikus yang baik dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang tak terbayangkan seperti kita mengharapkan seorang maling yang jujur. Dengar pula Nikita Krushchev, pemimpin komunis Uni Sovyet era 1960-an yang mengatakan, politikus di mana pun sama saja. Mereka (bisa) berjanji membangun jembatan meskipun tidak ada sungai.

Tidak perlu berkecil hati karena politik juga dilukiskan dengan nada penuh harapan. Sebagian kalangan lebih memilih untuk mengingatkan politikus supaya memiliki kualifikasi tertentu. Mohandas K Gandhi, tokoh terkemuka India, terkenal dengan cara-cara damai dalam perjuangannya. Dalam pandangan tokoh antikekerasan itu ada 7 akar kekerasan: kekayaan tanpa kerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, sains tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan, dan politik tanpa prinsip-prinsip.

Kita juga bisa belajar dari Vaclav Havel, sastrawan Ceko yang kemudian menjadi presiden dan meraih Nobel Perdamaian. Mengapa Havel terjun ke politik. Dia menjawab, ”Politik yang sejati, politik satu-satunya yang saya bersedia untuk mengabdikan diri, adalah masalah pelayanan terhadap mereka yang ada di sekitar kita: melayani masyarakat dan melayani mereka yang akan hidup setelah kita. Akar terdalamnya adalah moral karena itu adalah tanggung jawab yang ditunjukkan melalui tindakan, kepada dan untuk seluruh umat manusia.”

Pelajaran dari politikus yang terkenal kehebatannya secara umum bisa ditarik benang merahnya bahwa pelayanan publik haruslah lebih dari sekadar melakukan pekerjaan secara efisien dan jujur. Bahwa pelayanan publik harus merupakan dedikasi komplet kepada rakyat dan bangsa dengan penuh pengakuan; bahwa setiap umat manusia berhak untuk dihormati dan dipertimbangkan; bahwa kritik yang konstruktif tidak hanya diharapkan tetapi juga diupayakan; bahwa fitnah tidak hanya diperkirakan tetapi juga dilawan; bahwa kehormatan harus diperoleh dengan kerja keras, bukan dibeli.

Betapapun keadaan dunia politik, tidak perlu disinisi. Ribuan tahun lalu, Plato memperingatkan masyarakat supaya tidak acuh terhadap politik dan segala sesuatu yang terkait dengan kepentingan publik. Ia mengatakan, sikap apatis terhadap masalah-masalah publik harganya sangat mahal, karena kita akan dikuasai oleh orang-orang yang jahat.

Jimmy Carter, negarawan Amerika, punya ungkapan sangat menarik untuk melukiskan tanggung jawab dalam dunia politik. ”Tugas politik yang menyedihkan adalah menciptakan keadilan dalam dunia yang penuh dosa,” kata Carter. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar