Sabtu, 09 Maret 2013

Perempuan Menagih Janji


Perempuan Menagih Janji
R Valentina Sagala  ;  Aktivis Feminis dan Ketua Dewan Pendiri Institut Perempuan
SINAR HARAPAN, 08 Maret 2013

  
“Janji adalah janji: Waktunya untuk bertindak menghapuskan kekerasan terhadap perempuan” (“A promise is a promise: Time for action to end violence against women”) adalah tema yang diangkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam peringatan Hari Perempuan Sedunia (International Women’s Day/IWD), 8 Maret tahun ini.

Kekerasan masih menjadi potret buram perempuan. Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Pada 2011 tercatat 119.107 kasus, sementara pada 2010 ketika mencapai 105.103 kasus di lingkup domestik, publik, dan negara.

Belum lagi kasus pelanggaran HAM seperti tragedi perkosaan Mei 1998 dan pembantaian 1965. Situasi ini turut dipengaruhi peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak kepada perempuan, bahkan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.

Contohnya, pemberlakuan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diskriminatif berupa pembakuan peran suami dan istri yang tidak setara, diskriminasi batas usia menikah dan aturan poligami terbatas. Demikian pula dengan pemberlakuan UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi melanggar hak asasi perempuan karena mengkriminalkan perempuan.

Dalam konteks desentralisasi, Komnas Perempuan mencatat 282 perda yang mendiskriminasi perempuan dalam bentuk: pembatasan hak kebebasan berekspresi dalam produk hukum daerah tentang aturan berbusana; pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum akibat kriminalisasi dalam kebijakan daerah tentang prostitusi; penghapusan hak atas perlindungan dan kepastian hukum lewat kebijakan daerah tentang khalwat; pengabaian hak atas perlindungan lewat kebijakan daerah tentang PRT migran.

Pemberlakuan beberapa perda telah memicu kekerasan terhadap perempuan. Di Langsa, Aceh, seorang perempuan diperkosa Polisi Syariat ketika korban ditahan. Pada 2012, karena malu atas stigma negatif, seorang perempuan remaja bunuh diri setelah menjadi korban salah tangkap akibat pemberlakuan perda.

Korban lainnya meninggal dunia pada 2008 akibat depresi atas peristiwa salah tangkap akibat pemberlakuan Perda Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Perda-perda ini juga telah menciptakan kelompok “polisi moral” yang tidak segan menggunakan kekerasan.

Sejarah Hari Perempuan Sedunia

Sejarah IWD awalnya terkait dengan aksi buruh perempuan pabrik garmen di New York pada 8 Maret 1857, memprotes kondisi tempat kerja yang tidak manusiawi dan upah yang rendah. Selanjutnya, pada 8 Maret 1908, tidak kurang dari 15.000 buruh perempuan di New York menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah lebih layak, dan hak suara.

Pada Konferensi Internasional II Perempuan yang Bekerja (1910) di Kopenhagen, feminis sosialis Clara Zetkin mengemukakan ide tentang IWD untuk pertama kalinya. Hari Perempuan Sedunia mulai diperingati pertama kalinya di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss.

Menjelang Perang Dunia I pada 1913, perempuan Rusia turun ke jalan menolak perang dan menyerukan perdamaian. Pada 1917, mereka memulai aksi mogok yang dikenal sebagai demonstrasi “roti dan perdamaian” sebagai tanggapan atas meninggalnya lebih dari 2 juta tentara Rusia dalam perang.

Aksi mogok besar menuntut dihentikannya perang ini memperkuat momentum 8 Maret sebagai IWD. Seiring dengan perkembangan Konferensi-Konferensi Dunia, PBB mulai memperingati 8 Maret sebagai IWD ketika berlangsungnya Tahun Perempuan Internasional (1975).

Dilihat dari sejarahnya, IWD berangkat dari gerakan perjuangan hak-hak dan partisipasi perempuan dalam arena politik dan ekonomi, mulai dari isu upah yang adil dan layak bagi buruh perempuan, jam kerja, hak suara, dan pada ujungnya: perdamaian.

Di Indonesia, sejarah mencatat bahwa pada zaman Soekarno, organisasi-organisasi perempuan seperti Perwari dan Gerwani turut memperingatinya. Dituding bermuatan komunis sehingga tidak heran pada masa Orde Baru, gema IWD dipinggirkan. Hingga akhirnya sejalan dengan reformasi, peringatannya kembali bergema. Hari ini didedikasikan untuk menyerukan perubahan bagi kondisi perempuan.

Menagih Janji

Apakah yang penting di balik tema peringatan tahun ini? Pertama, bertahun lamanya, isu kekerasan terhadap perempuan telah dikemukakan oleh gerakan perempuan sedunia. Kekerasan terhadap perempuan kerap dipahami sebagai urusan yang hanya menyangkut tindakan pribadi pelaku terhadap korban.

Kuatnya budaya patriarkis tidak hanya membuat korban sulit memperoleh keadilan dan pemulihan hak, namun lebih lagi perempuan korban kerap dipersalahkan (dikriminalisasi) atas kejadian yang menimpanya.

Barulah seiring dengan perkembangan hukum hak asasi manusia (HAM), pengakuan terhadap kekerasan terhadap perempuan sebagai sebuah konsep pelanggaran HAM mengemuka dengan lahirnya Rekomendasi Umum 19 Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/Komite CEDAW (1992).

Dalam kerangka inilah, negara berkewajiban menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, sejalan dengan prinsip kewajiban negara, non-diskriminasi, dan persamaan substantif (substantive equality).
Di sinilah terkandung janji negara untuk menghormati, melindungi, dan mewujudkan HAM (to respect, to protect, and to fulfill), baik melalui peraturan perundang-undangan, pelaksanaan program pemerintahan, maupun tidak membiarkan terjadinya pelanggaran.

Sejalan dengan ratifikasi dan pengesahan CEDAW oleh Indonesia dengan UU No 7 Tahun 1984, semestinya Indonesia berkomitmen untuk memenuhi hak asasi perempuan, termasuk dihapuskannya kekerasan terhadap perempuan.

Kedua, memahami kekerasan terhadap perempuan dalam dimensi diskriminasi terhadap perempuan baru bisa dilakukan jika kita memahami makna diskriminasi. Konvensi CEDAW mendefinisikan diskriminasi terhadap perempuan sebagai setiap perbedaan, pengesampingan, pembatasan apa pun, yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan HAM dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang apa pun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Artinya, terjadinya kekerasan terhadap perempuan, mengakibatkan terhalanginya kesempatan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki.
Pembiaran terhadap terjadinya kekerasan, berdampak pada diskriminasi dan pemiskinan sistemik terhadap perempuan, mulai dari masih adanya pembedaan pengupahan sehingga belum terciptanya sistem yang mendukung perempuan mengaktualisasikan dirinya. Oleh karena itulah persoalan kekerasan terhadap perempuan penting untuk diselesaikan.

Ketiga, Konferensi Dunia mengenai HAM II yang diselenggarakan di Wina (1993) mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, hingga pada ujungnya dilahirkanlah Deklarasi Penghapusan Kekerasaan terhadap Perempuan, yang menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah pelanggaran HAM dan kebebasan fundamental perempuan, serta menghalangi atau meniadakan kemungkinan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasan mereka.

Pasal 1 Deklarasi ini menyebut, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

Mengapa “kehidupan pribadi” perlu disebutkan? Pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa tren kekerasan terhadap perempuan menempatkan lokus rumah tangga di urutan tertinggi. Lokus inilah yang dipenuhi dengan berbagai asumsi “urusan pribadi”, “aib yang mesti ditutupi”, hingga premis keliru bahwa negara tidak perlu bertanggung jawab mengurusi masalah ini.

Fakta cara pandang yang masih berkembang di masyarakat ini jelas bertentangan dengan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang justru mengandung semangat tidak mendikotomikan ruang publik/umum dengan kehidupan pribadi.

Logika inilah yang menjadi dasar untuk menagih janji pada Lembaga Penyelenggara Negara, khususnya pemerintah. Inilah pula mengapa, di Indonesia, peringatan IWD tahun ini salah satunya diwarnai dengan Karnaval Perempuan di mana ribuan perempuan dari berbagai latar belakang, baik aktivis perempuan, buruh dan ibu rumah tangga, bergabung dalam Komite Aksi Hari Perempuan Sedunia, menagih janji negara untuk lebih serius lagi menghapuskan kekerasan, diskriminasi, dan pemiskinan perempuan.

Bagaimanapun janji adalah janji dan oleh karenanya harus ditepati. Selamat Hari Perempuan Sedunia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar