“Janji adalah janji: Waktunya untuk bertindak menghapuskan
kekerasan terhadap perempuan” (“A
promise is a promise: Time for action to end violence against women”)
adalah tema yang diangkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam peringatan
Hari Perempuan Sedunia (International
Women’s Day/IWD), 8 Maret tahun ini.
Kekerasan masih menjadi
potret buram perempuan. Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus dari
tahun ke tahun. Pada 2011 tercatat 119.107 kasus, sementara pada 2010
ketika mencapai 105.103 kasus di lingkup domestik, publik, dan negara.
Belum lagi kasus pelanggaran
HAM seperti tragedi perkosaan Mei 1998 dan pembantaian 1965. Situasi ini
turut dipengaruhi peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak kepada
perempuan, bahkan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.
Contohnya, pemberlakuan
UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diskriminatif berupa pembakuan
peran suami dan istri yang tidak setara, diskriminasi batas usia menikah
dan aturan poligami terbatas. Demikian pula dengan pemberlakuan UU No 44
Tahun 2008 tentang Pornografi melanggar hak asasi perempuan karena
mengkriminalkan perempuan.
Dalam konteks
desentralisasi, Komnas Perempuan mencatat 282 perda yang mendiskriminasi
perempuan dalam bentuk: pembatasan hak kebebasan berekspresi dalam produk
hukum daerah tentang aturan berbusana; pengurangan hak atas perlindungan
dan kepastian hukum akibat kriminalisasi dalam kebijakan daerah tentang
prostitusi; penghapusan hak atas perlindungan dan kepastian hukum lewat
kebijakan daerah tentang khalwat; pengabaian hak atas perlindungan lewat
kebijakan daerah tentang PRT migran.
Pemberlakuan beberapa
perda telah memicu kekerasan terhadap perempuan. Di Langsa, Aceh, seorang
perempuan diperkosa Polisi Syariat ketika korban ditahan. Pada 2012, karena
malu atas stigma negatif, seorang perempuan remaja bunuh diri setelah
menjadi korban salah tangkap akibat pemberlakuan perda.
Korban lainnya meninggal
dunia pada 2008 akibat depresi atas peristiwa salah tangkap akibat
pemberlakuan Perda Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.
Perda-perda ini juga telah menciptakan kelompok “polisi moral” yang tidak
segan menggunakan kekerasan.
Sejarah Hari
Perempuan Sedunia
Sejarah IWD awalnya
terkait dengan aksi buruh perempuan pabrik garmen di New York pada 8 Maret
1857, memprotes kondisi tempat kerja yang tidak manusiawi dan upah yang
rendah. Selanjutnya, pada 8 Maret 1908, tidak kurang dari 15.000 buruh
perempuan di New York menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah lebih
layak, dan hak suara.
Pada Konferensi
Internasional II Perempuan yang Bekerja (1910) di Kopenhagen, feminis
sosialis Clara Zetkin mengemukakan ide tentang IWD untuk pertama kalinya.
Hari Perempuan Sedunia mulai diperingati pertama kalinya di Austria,
Denmark, Jerman, dan Swiss.
Menjelang Perang Dunia I
pada 1913, perempuan Rusia turun ke jalan menolak perang dan menyerukan
perdamaian. Pada 1917, mereka memulai aksi mogok yang dikenal sebagai
demonstrasi “roti dan perdamaian” sebagai tanggapan atas meninggalnya lebih
dari 2 juta tentara Rusia dalam perang.
Aksi mogok besar
menuntut dihentikannya perang ini memperkuat momentum 8 Maret sebagai IWD.
Seiring dengan perkembangan Konferensi-Konferensi Dunia, PBB mulai
memperingati 8 Maret sebagai IWD ketika berlangsungnya Tahun Perempuan
Internasional (1975).
Dilihat dari sejarahnya,
IWD berangkat dari gerakan perjuangan hak-hak dan partisipasi perempuan
dalam arena politik dan ekonomi, mulai dari isu upah yang adil dan layak
bagi buruh perempuan, jam kerja, hak suara, dan pada ujungnya: perdamaian.
Di Indonesia, sejarah
mencatat bahwa pada zaman Soekarno, organisasi-organisasi perempuan seperti
Perwari dan Gerwani turut memperingatinya. Dituding bermuatan komunis
sehingga tidak heran pada masa Orde Baru, gema IWD dipinggirkan. Hingga
akhirnya sejalan dengan reformasi, peringatannya kembali bergema. Hari ini didedikasikan
untuk menyerukan perubahan bagi kondisi perempuan.
Menagih Janji
Apakah yang penting di
balik tema peringatan tahun ini? Pertama, bertahun lamanya, isu kekerasan
terhadap perempuan telah dikemukakan oleh gerakan perempuan sedunia.
Kekerasan terhadap perempuan kerap dipahami sebagai urusan yang hanya
menyangkut tindakan pribadi pelaku terhadap korban.
Kuatnya budaya
patriarkis tidak hanya membuat korban sulit memperoleh keadilan dan
pemulihan hak, namun lebih lagi perempuan korban kerap dipersalahkan
(dikriminalisasi) atas kejadian yang menimpanya.
Barulah seiring dengan
perkembangan hukum hak asasi manusia (HAM), pengakuan terhadap kekerasan
terhadap perempuan sebagai sebuah konsep pelanggaran HAM mengemuka dengan
lahirnya Rekomendasi Umum 19 Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan/Komite CEDAW (1992).
Dalam kerangka inilah,
negara berkewajiban menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, sejalan
dengan prinsip kewajiban negara, non-diskriminasi, dan persamaan substantif
(substantive equality).
Di sinilah terkandung
janji negara untuk menghormati, melindungi, dan mewujudkan HAM (to respect, to protect, and to fulfill),
baik melalui peraturan perundang-undangan, pelaksanaan program
pemerintahan, maupun tidak membiarkan terjadinya pelanggaran.
Sejalan dengan
ratifikasi dan pengesahan CEDAW oleh Indonesia dengan UU No 7 Tahun 1984,
semestinya Indonesia berkomitmen untuk memenuhi hak asasi perempuan,
termasuk dihapuskannya kekerasan terhadap perempuan.
Kedua, memahami kekerasan
terhadap perempuan dalam dimensi diskriminasi terhadap perempuan baru bisa
dilakukan jika kita memahami makna diskriminasi. Konvensi CEDAW
mendefinisikan diskriminasi terhadap perempuan sebagai setiap perbedaan,
pengesampingan, pembatasan apa pun, yang dibuat atas dasar jenis kelamin
yang mempunyai pengaruh atau mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan, atau penggunaan HAM dan kebebasan pokok di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang apa pun lainnya oleh kaum
perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan
antara laki-laki dan perempuan.
Artinya, terjadinya
kekerasan terhadap perempuan, mengakibatkan terhalanginya kesempatan
perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak
dengan laki-laki.
Pembiaran terhadap
terjadinya kekerasan, berdampak pada diskriminasi dan pemiskinan sistemik
terhadap perempuan, mulai dari masih adanya pembedaan pengupahan sehingga
belum terciptanya sistem yang mendukung perempuan mengaktualisasikan
dirinya. Oleh karena itulah persoalan kekerasan terhadap perempuan penting
untuk diselesaikan.
Ketiga, Konferensi Dunia
mengenai HAM II yang diselenggarakan di Wina (1993) mencatat bahwa
kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, hingga pada ujungnya
dilahirkanlah Deklarasi Penghapusan Kekerasaan terhadap Perempuan, yang
menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah pelanggaran
HAM dan kebebasan fundamental perempuan, serta menghalangi atau meniadakan
kemungkinan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasan mereka.
Pasal 1 Deklarasi ini
menyebut, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan
pembedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan
atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk
ancaman perbuatan tertentu pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan
pribadi.
Mengapa “kehidupan
pribadi” perlu disebutkan? Pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa
tren kekerasan terhadap perempuan menempatkan lokus rumah tangga di urutan
tertinggi. Lokus inilah yang dipenuhi dengan berbagai asumsi “urusan
pribadi”, “aib yang mesti ditutupi”, hingga premis keliru bahwa negara
tidak perlu bertanggung jawab mengurusi masalah ini.
Fakta cara pandang yang
masih berkembang di masyarakat ini jelas bertentangan dengan Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang justru mengandung semangat
tidak mendikotomikan ruang publik/umum dengan kehidupan pribadi.
Logika inilah yang
menjadi dasar untuk menagih janji pada Lembaga Penyelenggara Negara,
khususnya pemerintah. Inilah pula mengapa, di Indonesia, peringatan IWD
tahun ini salah satunya diwarnai dengan Karnaval Perempuan di mana ribuan
perempuan dari berbagai latar belakang, baik aktivis perempuan, buruh dan
ibu rumah tangga, bergabung dalam Komite Aksi Hari Perempuan Sedunia,
menagih janji negara untuk lebih serius lagi menghapuskan kekerasan,
diskriminasi, dan pemiskinan perempuan.
Bagaimanapun janji
adalah janji dan oleh karenanya harus ditepati. Selamat Hari Perempuan Sedunia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar