Kompetisi
memperebutkan takhta kepresidenan 2014 sudah dimulai, baik secara sengaja
maupun tidak sengaja.
Yang
secara sengaja, terdiri dari tokoh-tokoh yang mengajukan diri sebagai calon
presiden, baik melalui partai politik, seperti Aburizal Bakrie, Prabowo
Subiyanto, dan Hatta Radjasa, atau yang tidak (belum) melalui partai
politik, seperti Farhat Abbas dan sejumlah nama yang belum populer. Karena
menyengaja, mereka sudah mengiklankan diri di berbagai media.
Sementara
itu yang tidak sengaja adalah tokoh-tokoh yang tidak atau belum mengajukan
diri sebagai capres namun namanya sudah disebut-sebut dalam sejumlah
survei, seperti Mahfud MD, Dahlan Iskan, dan Joko Widodo alias Jokowi.
Nama
terakhir ini muncul secara fenomenal, terutama sejak menjadi wali kota Solo
dan terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta. Meskipun “pendatang baru”,
popularitas Jokowi sudah melampaui nama-nama capres yang sudah populer
sebelumnya.
Soal
kemunculan nama capres dalam survei, harus diakui memiliki plus-minus. Ia
memiliki nilai plus jika yang bersangkutan tak sekadar memiliki popularitas
nama, tapi juga memiliki kualitas (kompetensi) dan integritas moral yang
terjaga. Tapi, popularitas bisa bernilai minus jika semata-mata ditopang
oleh nama besar namun tak dibarengi dengan kualitas yang memadai.
Yang
populer namun tak bermutu berpotensi menipu. Harus diakui, semakin populer
di mata rakyat, semakin memperoleh kans kuat untuk terpilih dalam pemilihan
presiden. Tapi ia menipu jika keterpilihannya semata karena faktor
popularitas yang tidak disertai kualitas.
Yang
kita butuhkan adalah presiden yang baik. Akan lebih bagus lagi jika baik
plus populer sehingga
bisa terpilih dalam pemilu. Agar rakyat tidak tertipu
semata karena popularitas, ada baiknya kita mulai mengubah penilaian, dari
orientasi kini (sekarang) menjadi orientasi ke depan.
Tugas
kita adalah memberikan pencerahan politik kepada publik tentang presiden
yang baik itu seperti apa. Memberi pengertian kepada publik agar tidak
memilih presiden yang cuma mengandalkan popularitas, apalagi dengan cara
beriklan.
Bagaimana
caranya? Pertama, harus ditegaskan bahwa popularitas calon presiden tidak
menjamin rakyat keluar dari kemiskinan, pengangguran, dan krisis yang
melilit bangsa kita. Artinya, popularitas tidak pernah pararel dengan
kemampuan manajerial seorang presiden dalam menyelesaikan masalah bangsa.
Tak Hanya Popularitas
Pada
pemilu 2014, kita harus bisa meyakinkan publik bahwa bagi seorang capres,
popularitas saja tidak cukup dan bahkan tidak perlu.
Yang
kita perlukan adalah capres yang kuat (memiliki legitimasi politik yang
maksimal) dan tegas, tapi tetap berwatak demokratis. Kita perlu mencari
capres yang tidak melulu disandarkan pada popularitas, tapi lebih pada
visi, misi, ketegasan, dan peka/inspiratif pada penderitaan rakyat. Inilah
yang saya maksud dengan capres yang baik.
Dalam
masa transisi ke arah demokrasi yang belum stabil, presiden yang kuat dan
demokratis dapat menjadikan negara yang kuat (strong state), yang ditandai
dengan bergeraknya roda birokrasi yang rasional, sistematik, dan pragmatis.
Birokrasi inilah yang menjalankan roda-roda berfungsinya suatu negara,
terutama pada fungsinya untuk pelayanan publik secara efisien dan
memuaskan.
Negara
yang kuat hanya mungkin lahir dari seorang presiden yang kuat dan
demokratis; tidak mungkin lahir dari presiden yang lembek, yang lebih
mementingkan politik pencitraan dan tebar pesona.
Kita
pakai akal sehat (common sense):
apa artinya jika presiden populer, tapi rakyat kita masih terbelit masalah
kemiskinan dan pengangguran. Dengan kata lain, popularitas ditegakkan di
atas penderitaan rakyat, dan menikmati popularitas di tengah penderitaan
rakyat adalah bentuk kezaliman politik.
Di
tengah penderitaan rakyat, popularitas tidak ada artinya. Popularitas
sekadar image, citra, dan pesona, yang semuanya itu direkayasa di atas dan
atas jasa media, baik cetak maupun elektronik. Kita tidak butuh presiden
yang haus akan citra dan mabuk akan popularitas. Yang kita perlukan adalah
presiden yang merakyat, dengan menjadikan rakyat sebagai asal dan akhir
dari suatu pengabdian bangsa.
Suatu
kesuksesan seorang presiden dalam memimpin bangsa tidaklah ditentukan pada
popularitas; tapi lebih pada sejauh manakah kesejahteraan rakyat terpenuhi,
kemiskinan teratasi, hukum dihormati, korupsi diberantas hingga tuntas, dan
pengangguran semakin terkikis. Jika kemiskinan dan pengangguran tetap
merajalela di sana-sini, presiden hampir pasti gagal, yakni gagal dalam
menjadikan rakyatnya hidup sejahtera dan layak.
Kepada
para capres 2014, janganlah menjadikan popularitas sebagai pertanda bahwa
seorang pemimpin dicintai rakyat. Bisa jadi, rakyat tidak punya pilihan,
dan capres yang populer adalah sedikit di antara pilihan terburuk yang
tersedia dalam politik kita. Seorang pemimpin harus mawas diri dan
reflektif, selalu melihat dan sadar diri pada kemampuannya dalam
menyelesaikan masalah bangsa yang tak pernah kunjung usai.
Sekali
lagi, apa artinya populer di tengah derita rakyat dan apa artinya kaya di
tengah rakyat miskin. Pemimpin yang baik adalah yang selalu memberikan yang
terbaik untuk rakyatnya, dan mengakui kegagalan jika ternyata belum mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pemimpin
yang baik adalah yang senantiasa mengayomi dan membesarkan hati dan pantang
mengeluh, terutama di depan rakyatnya. Pemimpin yang baik adalah yang
selalu menjaga hubungan baik dengan rakyat yang dipimpinnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar