Sabtu, 09 Maret 2013

Mencari Capres yang Baik


Mencari Capres yang Baik
Jeffrie Geovanie  ;  Founder The Indonesian Institute
SINAR HARAPAN, 08 Maret 2013

  
Kompetisi memperebutkan takhta kepresidenan 2014 sudah dimulai, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Yang secara sengaja, terdiri dari tokoh-tokoh yang mengajukan diri sebagai calon presiden, baik melalui partai politik, seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subiyanto, dan Hatta Radjasa, atau yang tidak (belum) melalui partai politik, seperti Farhat Abbas dan sejumlah nama yang belum populer. Karena menyengaja, mereka sudah mengiklankan diri di berbagai media.

Sementara itu yang tidak sengaja adalah tokoh-tokoh yang tidak atau belum mengajukan diri sebagai capres namun namanya sudah disebut-sebut dalam sejumlah survei, seperti Mahfud MD, Dahlan Iskan, dan Joko Widodo alias Jokowi.

Nama terakhir ini muncul secara fenomenal, terutama sejak menjadi wali kota Solo dan terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta. Meskipun “pendatang baru”, popularitas Jokowi sudah melampaui nama-nama capres yang sudah populer sebelumnya.

Soal kemunculan nama capres dalam survei, harus diakui memiliki plus-minus. Ia memiliki nilai plus jika yang bersangkutan tak sekadar memiliki popularitas nama, tapi juga memiliki kualitas (kompetensi) dan integritas moral yang terjaga. Tapi, popularitas bisa bernilai minus jika semata-mata ditopang oleh nama besar namun tak dibarengi dengan kualitas yang memadai.

Yang populer namun tak bermutu berpotensi menipu. Harus diakui, semakin populer di mata rakyat, semakin memperoleh kans kuat untuk terpilih dalam pemilihan presiden. Tapi ia menipu jika keterpilihannya semata karena faktor popularitas yang tidak disertai kualitas.

Yang kita butuhkan adalah presiden yang baik. Akan lebih bagus lagi jika baik plus populer sehingga 
bisa terpilih dalam pemilu. Agar rakyat tidak tertipu semata karena popularitas, ada baiknya kita mulai mengubah penilaian, dari orientasi kini (sekarang) menjadi orientasi ke depan.

Tugas kita adalah memberikan pencerahan politik kepada publik tentang presiden yang baik itu seperti apa. Memberi pengertian kepada publik agar tidak memilih presiden yang cuma mengandalkan popularitas, apalagi dengan cara beriklan.

Bagaimana caranya? Pertama, harus ditegaskan bahwa popularitas calon presiden tidak menjamin rakyat keluar dari kemiskinan, pengangguran, dan krisis yang melilit bangsa kita. Artinya, popularitas tidak pernah pararel dengan kemampuan manajerial seorang presiden dalam menyelesaikan masalah bangsa.

Tak Hanya Popularitas

Pada pemilu 2014, kita harus bisa meyakinkan publik bahwa bagi seorang capres, popularitas saja tidak cukup dan bahkan tidak perlu.

Yang kita perlukan adalah capres yang kuat (memiliki legitimasi politik yang maksimal) dan tegas, tapi tetap berwatak demokratis. Kita perlu mencari capres yang tidak melulu disandarkan pada popularitas, tapi lebih pada visi, misi, ketegasan, dan peka/inspiratif pada penderitaan rakyat. Inilah yang saya maksud dengan capres yang baik.

Dalam masa transisi ke arah demokrasi yang belum stabil, presiden yang kuat dan demokratis dapat menjadikan negara yang kuat (strong state), yang ditandai dengan bergeraknya roda birokrasi yang rasional, sistematik, dan pragmatis. Birokrasi inilah yang menjalankan roda-roda berfungsinya suatu negara, terutama pada fungsinya untuk pelayanan publik secara efisien dan memuaskan.

Negara yang kuat hanya mungkin lahir dari seorang presiden yang kuat dan demokratis; tidak mungkin lahir dari presiden yang lembek, yang lebih mementingkan politik pencitraan dan tebar pesona.
Kita pakai akal sehat (common sense): apa artinya jika presiden populer, tapi rakyat kita masih terbelit masalah kemiskinan dan pengangguran. Dengan kata lain, popularitas ditegakkan di atas penderitaan rakyat, dan menikmati popularitas di tengah penderitaan rakyat adalah bentuk kezaliman politik.

Di tengah penderitaan rakyat, popularitas tidak ada artinya. Popularitas sekadar image, citra, dan pesona, yang semuanya itu direkayasa di atas dan atas jasa media, baik cetak maupun elektronik. Kita tidak butuh presiden yang haus akan citra dan mabuk akan popularitas. Yang kita perlukan adalah presiden yang merakyat, dengan menjadikan rakyat sebagai asal dan akhir dari suatu pengabdian bangsa.

Suatu kesuksesan seorang presiden dalam memimpin bangsa tidaklah ditentukan pada popularitas; tapi lebih pada sejauh manakah kesejahteraan rakyat terpenuhi, kemiskinan teratasi, hukum dihormati, korupsi diberantas hingga tuntas, dan pengangguran semakin terkikis. Jika kemiskinan dan pengangguran tetap merajalela di sana-sini, presiden hampir pasti gagal, yakni gagal dalam menjadikan rakyatnya hidup sejahtera dan layak.

Kepada para capres 2014, janganlah menjadikan popularitas sebagai pertanda bahwa seorang pemimpin dicintai rakyat. Bisa jadi, rakyat tidak punya pilihan, dan capres yang populer adalah sedikit di antara pilihan terburuk yang tersedia dalam politik kita. Seorang pemimpin harus mawas diri dan reflektif, selalu melihat dan sadar diri pada kemampuannya dalam menyelesaikan masalah bangsa yang tak pernah kunjung usai.

Sekali lagi, apa artinya populer di tengah derita rakyat dan apa artinya kaya di tengah rakyat miskin. Pemimpin yang baik adalah yang selalu memberikan yang terbaik untuk rakyatnya, dan mengakui kegagalan jika ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pemimpin yang baik adalah yang senantiasa mengayomi dan membesarkan hati dan pantang mengeluh, terutama di depan rakyatnya. Pemimpin yang baik adalah yang selalu menjaga hubungan baik dengan rakyat yang dipimpinnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar