Sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Anas
Urbaningrum sebagai tersangka (Jumat, 22 Februari), rancangan surat
perintah penyidikan (sprindik) terhadap Ketua Partai Demokrat itu
"bocor". Pelbagai spekulasi tentang si pembocor menyebar liar di
ranah publik.
Spekulasi terliar adalah mengenai terlibatnya
komisioner KPK dalam bocornya sprindik tersebut. Setelah diperdebatkan
banyak kalangan, KPK akhirnya mengakui rancangan sprindik memang milik
lembaga antirasuah itu. Pengakuan tersebut seolah menegaskan bahwa memang
ada "penyamun" yang bersembunyi di sarang KPK. Para penyamun itu
diam-diam merampok pelbagai dokumen agar dapat dipergunakan bagi
kepentingan "para pembenci" KPK. Bagaimana para penyamun itu bisa
berada di KPK?
Para penyamun memiliki kesempatan menyusup di KPK
dengan banyak metode. Bahkan melalui jalur yang ditentukan undang-undang.
Setidaknya terdapat dua jalur formal bagi para penyamun untuk menyusup di
KPK. Pertama, proses seleksi komisioner KPK yang ditentukan oleh DPR.
Ketentuan Undang-Undang KPK (yang tentu saja dibentuk DPR) menghendaki
keputusan akhir dalam menentukan komisioner KPK terpilih berada di tangan
DPR.
Meskipun seleksi komisioner KPK diawali dengan proses fit and proper test oleh panitia
seleksi, proses itu menjadi tak bermakna karena DPR juga melakukan tes
kelayakan dan kepatutan terhadap para calon komisioner di parlemen.
Walaupun panitia seleksi membuat ranking bagi calon komisioner KPK
berdasarkan kualitas tes sebelum diserahkan ke DPR, para anggota Komisi III
mengabaikan ranking tersebut. Ketentuan UU KPK itu menyebabkan DPR memiliki
kewenangan seleksi lembaga negara. Padahal, di banyak negara, DPR tidak
memiliki kewenangan melakukan seleksi terhadap keanggotaan lembaga negara
apa pun, apalagi lembaga khusus, seperti KPK, Komisi Yudisial, Komisi
Pemilihan Umum, Komnas HAM, dan juga Mahkamah Agung. Parlemen hanya
memiliki kewenangan untuk menyatakan persetujuan (approval) atau tidak setuju terhadap para calon yang diajukan
oleh panitia seleksi atau lembaga khusus.
Dengan demikian, upaya mati-matian yang dilakukan
panitia seleksi untuk mendapatkan figur yang independen di KPK tidak
sepenuhnya berhasil. Proses final yang berada di tangan anggota DPR (baca:
anggota partai politik) akhirnya malah mengotori upaya panitia seleksi. Hal
itu diperparah oleh kewenangan DPR untuk menentukan komisioner yang berhak
menjadi Ketua KPK. Kewenangan itu tidak lumrah. Jika dibaca ketentuan
undang-undang lembaga independen lainnya, proses penentuan ketua lembaga
sepenuhnya diserahkan kepada para anggota terpilih. Lalu, apa sebabnya
pemilihan Ketua KPK dirancang dengan pola berbeda?
Tak pelak lagi, ketentuan itu menciptakan ruang
transaksi bagi setiap komisioner yang berhasrat menjadi Ketua KPK. Meski
tidak setiap komisioner KPK bisa terjebak, politik transaksional yang
ditawarkan DPR menjadi sangat terbuka. Bukan tidak mungkin di masa
mendatang terdapat komisioner yang terjebak dalam transaksi itu. Fabrizio
Gilardi mengingatkan bahwa ruang transaksi politik dapat mempengaruhi
kredibilitas sebuah lembaga independen (Delegation
in the Regulatory State, Independent Regulatory Agencies in Western Europe,
2008; hlm. 38-39). Bagi penulis, wajib hukumnya, lembaga pemberantasan
korupsi sepenting KPK dirancang lepas dari kepentingan politik mana pun.
Sprindik KPK yang bocor menjadi bukti penting bahwa proses seleksi
komisioner yang sarat kepentingan politik dapat berakibat luar biasa.
Ruang kedua yang memudahkan para penyamun menyusup ke
KPK adalah ketergantungan institusi pada lembaga lain. Para penyidik KPK
yang didatangkan dari institusi lain tentu kesulitan melepas perasaan
sebagai bagian dari korps asal. Apalagi jika institusi asal para penyidik
ternyata menjadi target pembersihan KPK.
Saat ini, menjadi amat penting bagi KPK untuk
menghasilkan penyidik yang tidak berasal dari lembaga lain mana pun.
Penulis menyarankan agar KPK melakukan upaya jemput bola kepada personal
masyarakat yang berpotensi menjadi penyidik antirasuah. Bukan menggunakan
proses seleksi seperti lembaga biasa lainnya. Kelembagaan KPK yang dibentuk
dengan kewenangan luar biasa harus menggunakan metode luar biasa pula dalam
menemukan individu berkualitas dengan keilmuan sekaligus memiliki
integritas moral tinggi yang diperlukan bagi penyidikan KPK. Jika proses
menemukan penyidik tidak dibenahi, para penyusup akan "keluar-masuk dari pelbagai pintu" untuk
mengintervensi kinerja KPK.
Mencegah Penyamun
Para penyamun dapat dicegah dengan menutup pintu masuk
mereka. Ketentuan UU KPK terkait dengan proses seleksi komisioner yang
bermasalah dapat diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengajuan permohonan pengujian bisa dilakukan langsung oleh para komisioner
maupun para pegawai KPK. Bagaimanapun, proses seleksi tersebut juga telah
merugikan para pegawai di KPK yang sudah menjaga institusi tersebut
semenjak berdirinya. Jika para pegawai KPK terhambat oleh banyak hal,
pilihan penyelamatan KPK dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil
yang peduli terhadap pemberantasan korupsi, misalnya: Indonesia Corruption Watch (ICW).
Sedangkan upaya mengusir penyamun yang telah telanjur
menyusup ke KPK diperlukan peran komite etik. Pembentukan komite etik
diharapkan dapat membaca pelaku dan tujuannya membocorkan sprindik. Selain
itu, komite etik harus mewaspadai temuan mereka akan dipergunakan para
penyamun untuk menghancurkan KPK dari dalam. Misalnya, dalam kasus bocornya
sprindik Anas Urbaningrum, hasil komite etik bisa mencitrakan institusi
pimpinan Abraham Samad itu telah diisi para "bandit". Untuk itu,
penulis menyarankan agar komite etik bergerak di bawah tanah.
Kinerja mereka harus dipublikasikan dengan
mempertimbangkan waktu yang tepat. Dalam kemelut yang mengitari KPK
akhir-akhir ini, setiap kealpaan KPK dapat digunakan oleh para pembenci KPK
untuk menyerang balik. Tidak tertutup kemungkinan pembocoran sprindik KPK
merupakan bagian dari upaya mengobok-obok KPK. Jangan biarkan para penyamun
di sarang KPK berhasil mengendalikan permainan. KPK harus tetap utuh dan
kuat menghadapi angin hitam yang ditiupkan para penyamun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar