Rencana pengesahan RUU
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang diinisiasi DPR masih menemui
hambatan. Dalam proses pembahasan, pihak pemerintah belum sepakat dan masih
meminta waktu untuk pembahasan detail beberapa pasal krusial. Pasal-pasal
krusial dimaksud berupa pasal tentang kewajiban pemerintah dalam
mengalokasikan anggaran publik (pemerintah) dalam skema asuransi dan
pembiayaan bagi petani. Agaknya petani masih harus bersabar untuk dapat
menikmati realisasi institusi keuangan semacam bank, asuransi, dan lembaga
pembiayaan yang diperuntukkan khusus bagi mereka.
Alotnya pembahasan pasal kewajiban
penyertaan anggaran publik dalam skema program pada beberapa RUU bukan
cerita baru. Perbedaan paradigma antara berbagai pihak ditengarai jadi
penyebab hal ini. Bukan hanya antara pemerintah dan DPR, tetapi juga
antarkementerian di lingkup pemerintahan sendiri.
Terkait RUU Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani, Kementerian Pertanian yang sejak 2010 memulai Lembaga
keuangan Mikro Agribisnis dalam skala kabupaten/kota dan merencanakan
berdirinya sebuah bank pertanian berskala nasional dalam renstra 2009-2014
ternyata sampai hari ini ”belum mampu meyakinkan” Kementerian Keuangan akan
urgennya peranan pemerintah bagi eksistensi institusi keuangan khusus
petani.
Menjelmakan sebuah institusi
keuangan khusus bagi petani dan sektor pertanian memang tak mudah. Program
ini merupakan pekerjaan besar. Di satu sisi, tidak ada satu pihak pun yang
tidak menyadari pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian
bangsa. Namun, di sisi lain, terkait kewajiban alokasi anggaran publik bagi
sebuah institusi keuangan khusus petani ceritanya menjadi lain. Semangat
prudent fiscal policy sebagai wujud reformasi tata kelola keuangan negara
yang diusung Kementerian Keuangan—tidak dapat disangkal—telah mengerem laju
semangat menggebu dari beberapa pihak yang peduli dalam menyuarakan hal ini.
Imbasnya, Kementerian Keuangan dituding sebagai salah satu institusi yang
paling kekeuh menolak pasal-pasal dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani tersebut.
Inkonsistensi Pemerintah
Dari sisi kredo akuntabilitas
program, kapasitas pengelola, dan efisiensi pengeluaran, sikap Kementerian
Keuangan wajar. Teramat riskan menggelontorkan triliunan rupiah untuk
sebuah sektor berisiko ekonomi tinggi melalui skema (institusi keuangan
khusus) yang juga masih dipertanyakan efektivitasnya.
Namun, dari sisi kewajiban
perlindungan pemerintah, baik dari sisi praktis maupun strategis, sikap
Kementerian Keuangan ini menyiratkan inkonsistensi. Pemerintah yang
visioner dan konsisten merupakan syarat mutlak bagi pemerintahan yang baik.
Visi dan konsistensi pemerintah adalah stimulus bagi kepercayaan dan
partisipasi berbagai pihak dalam mewujudkan program yang telah dirancangnya
sendiri. Inilah poin paling utama.
Setelah itu diperoleh, berbagai
opsi dan penyesuaian dengan kondisi lapangan, pembentukan institusi keuangan
khusus petani itu, pun layak dikontestasi untuk jadi salah satu opsi
solusi. Pengalaman sejumlah negara di Asia Selatan menunjukkan, pangsa
pasar petani gurem dan sektor informal sekalipun—terkategori bottom of pyramid—telah dikelola
dengan baik oleh institusi keuangan global sekelas AIG dan Grameen Bank.
Eksisnya institusi keuangan khusus
bagi petani memang bukan jaminan pasti akan membaiknya nasib petani kita.
Namun, kita juga harus merujuk pada Amartya Sen yang mengatakan,
pembangunan berarti memberikan kemerdekaan dan kebebasan seluasnya bagi
warga untuk memilih posisi dan bentuk kontribusi dalam proses pembangunan.
Hal ini hanya akan tercipta jika
pemerintah memberikan akses yang sama bagi semua aktor perekonomian. Akses
petani terhadap lembaga keuangan formal merupakan keharusan guna perbaikan
taraf hidup mereka yang berkait-berkelindan dengan keberlanjutan
pertumbuhan ekonomi bangsa.
Mengherankan jika Kementerian
Keuangan sebagai institusi tempat berkumpulnya para aparatur sipil
pemerintah terbaik di negeri ini tidak mampu (tidak mau?) memberi
alternatif konsep institusi keuangan khusus petani. Akan tetapi, agaknya
lagi-lagi upaya perlindungan petani kita berakhir di jalan buntu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar