PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) Kota Malang dihelat pada 23 Mei
2013. Tapi, sejak pertengahan 2012, ''gegernya'' mulai terasa. Sebagai
salah seorang pelaku politik di Kota Malang, saya ikut merasakan kontraksi
politik yang dimainkan para calon beserta partai pengusungnya.
Setahun memimpin Partai Hanura atau sejak 2011, rupanya, dianggap sebagai
modal -oleh sebagian orang- untuk maju dalam pencalonan. Sudah ada yang
meminta dan mendorong agar saya ikut meramaikan pilkada dengan segala macam
tawaran dan konsesi politiknya (plus intrik). Dari proses singkat tersebut,
saya sudah bisa menemukan banyak masalah, sehingga membenarkan asumsi bahwa
politik itu kotor.
Sejak itu, saya memutuskan untuk tidak ambil bagian sebagai salah seorang
calon. Saya hanya ingin berfokus membesarkan partai dengan berusaha
mengubah paradigma politik yang kotor, jahat, dan curang. Sampai akhir masa
pendaftaran calon wali Kota Malang 23 Februari lalu, komitmen saya tetap
terjaga. Saya tidak maju sebagai N-1 (wali kota) maupun N-2 (Wawali), meski
ada empat calon yang sempat ''meminang'' saya.
Di tengah godaan, bagi politikus, memang berat untuk menjaga komitmen bahwa
pikiran, hati, omongan, dan tindakan bisa sejalan. Walk the talk. Membangun lagi rasa percaya
masyarakat pada dunia politik, bagi saya, tidak mustahil, meski harus
dengan perjuangan ekstrakeras.
Memang, faktanya, banyak politikus yang belok mendadak demi kekuasaan.
Sikut kanan sikut kiri, telikung sana-sini. Segala cara seolah tak ada yang
haram. Setidaknya, itulah yang saya alami selama ini. Banyak di antara kita
yang tidak percaya lagi pada politik karena cara-cara ''hitam'' yang
dilakukan ''oknum'' (tapi banyak) politikus. Bukan hanya politikus Senayan,
tapi juga politikus-politikus daerah yang melakukan aksi-aksi yang melawan
moral dan akal sehat.
Tak bisa disalahkan jika masyarakat kita sama sekali tak peduli terhadap
siapa pemimpin yang lahir nanti. Tapi, tidak berarti sikap apatis tersebut
tak bisa disembuhkan. Para politikus harus serius mengobati penyakit apatis
itu dengan langkah konkret. Zaman melakukan praktik-praktik busuk harus
diakhiri.
Serapi apa pun kebusukan itu disimpan, pasti suatu saat akan tercium juga.
Bau busuk itulah yang saat ini merebak dan masyarakat sudah tahu sumber
kebusukannya, politis. Sangat mengenaskan kalau kebusukan tersebut terkuak
ketika era berkuasa sudah selesai. Alangkah banyak yang pensiun ''gratis''
di bui.
Kondisi itu tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan menimbulkan banyak
korban, para politikus dan terutama rakyat. Wajib dibangun paradigma
politik yang lebih bersih. Apalagi, sebentar lagi masuk 2014. Akan tersaji
hajat demokrasi akbar, pemilihan calon legislatif dan pemilihan presiden.
Pada era itu, diharapkan lahir politikus-politikus muda yang bisa mengambil
alih peran menggantikan era lama yang lengket dengan cap kotornya. Inilah
momen yang tepat untuk mengakhiri era politik ''riting'' kanan belok kiri.
Saya berharap muncul politisi generasi baru yang diharapkan bisa menjadi ''vacuum
cleaner'' atas dosa-dosa pendahulunya. Mereka harus punya pijakan moral
yang kuat agar tidak terkontaminasi saat masuk ke dalam komunitas yang
sudah dicitrakan jelek. Mereka harus mampu membawa misi perubahan
menjadikan lembaga itu lebih baik.
Caranya, menjadi calon legislatif. Dengan terjun langsung, mereka bisa
merasakan keluhan masyarakat dan membawanya menjadi sebuah aspirasi arus
bawah. Dari sana, kebijakan politis bisa diambil dan dilaksanakan. Ingat
bahwa parlemen adalah pelaksana kebijakan partai. Tapi, jangan sekali-kali
banting setir mendadak dari tujuan semula. Sebab, langkah seperti itu hanya
akan mengiris borok lama.
Namun, memang butuh proses lama untuk mencapai sebuah kondisi waras
tersebut. Apalagi, menurut Socrates, bapak filosofi dunia, demokrasi belum
bisa dijalankan di negara yang kondisi ekonomi dan pendidikannya rendah.
Tapi, karena Indonesia sudah memulai pada era reformasi bergulir 1998 dan
kita sudah berada di point of no return, titik tidak bisa kembali lagi
ke awal, proses ini harus berjalan. Pendapatan per kapita kita sudah USD
3.500 per tahun, tanda ekonomi kita tidak jelek-jelek amat. Saya pun
optimistis akal sehat masyarakat akan tergugah. Memilih demi kebajikan
bersama dan tidak tergoda duit receh.
Karena itu, saya menyerukan, jika ada peluang untuk terjun ke politik dan
bergabung dengan parlemen, masuklah dan ambil bagian untuk memperbaiki.
Pihak-pihak yang selama ini gencar mengkritik politisi dengan segala macam
tingkahnya sebaiknya masuk ke dalam parpol apa pun yang condong di hati
untuk melakukan perubahan. Jadilah caleg, rebut hati rakyat, dan laksanakan
ide-ide dalam keputusan politik parlemen.
Salah satu penyebab rendahnya kualitas wakil rakyat adalah terbatasnya SDM
berkualitas yang mau masuk ke dalamnya. Para pengamat, para intelektual di
perguruan tinggi, dan para aktivis yang biasanya kritis perlu masuk ke
dunia menarik itu. Kalau tidak, jangan banyak komplain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar