Sabtu, 02 Maret 2013

Dicari, Politisi Vacuum Cleaner


Dicari, Politisi Vacuum Cleaner
Ya’qud Ananda Gudban  ;  Ketua DPC Hanura Kota Malang,
Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia Malang
JAWA POS, 01 Maret 2013


PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) Kota Malang dihelat pada 23 Mei 2013. Tapi, sejak pertengahan 2012, ''gegernya'' mulai terasa. Sebagai salah seorang pelaku politik di Kota Malang, saya ikut merasakan kontraksi politik yang dimainkan para calon beserta partai pengusungnya. 

Setahun memimpin Partai Hanura atau sejak 2011, rupanya, dianggap sebagai modal -oleh sebagian orang- untuk maju dalam pencalonan. Sudah ada yang meminta dan mendorong agar saya ikut meramaikan pilkada dengan segala macam tawaran dan konsesi politiknya (plus intrik). Dari proses singkat tersebut, saya sudah bisa menemukan banyak masalah, sehingga membenarkan asumsi bahwa politik itu kotor.

Sejak itu, saya memutuskan untuk tidak ambil bagian sebagai salah seorang calon. Saya hanya ingin berfokus membesarkan partai dengan berusaha mengubah paradigma politik yang kotor, jahat, dan curang. Sampai akhir masa pendaftaran calon wali Kota Malang 23 Februari lalu, komitmen saya tetap terjaga. Saya tidak maju sebagai N-1 (wali kota) maupun N-2 (Wawali), meski ada empat calon yang sempat ''meminang'' saya.

Di tengah godaan, bagi politikus, memang berat untuk menjaga komitmen bahwa pikiran, hati, omongan, dan tindakan bisa sejalan. Walk the talk. Membangun lagi rasa percaya masyarakat pada dunia politik, bagi saya, tidak mustahil, meski harus dengan perjuangan ekstrakeras.

Memang, faktanya, banyak politikus yang belok mendadak demi kekuasaan. Sikut kanan sikut kiri, telikung sana-sini. Segala cara seolah tak ada yang haram. Setidaknya, itulah yang saya alami selama ini. Banyak di antara kita yang tidak percaya lagi pada politik karena cara-cara ''hitam'' yang dilakukan ''oknum'' (tapi banyak) politikus. Bukan hanya politikus Senayan, tapi juga politikus-politikus daerah yang melakukan aksi-aksi yang melawan moral dan akal sehat. 

Tak bisa disalahkan jika masyarakat kita sama sekali tak peduli terhadap siapa pemimpin yang lahir nanti. Tapi, tidak berarti sikap apatis tersebut tak bisa disembuhkan. Para politikus harus serius mengobati penyakit apatis itu dengan langkah konkret. Zaman melakukan praktik-praktik busuk harus diakhiri. 

Serapi apa pun kebusukan itu disimpan, pasti suatu saat akan tercium juga. Bau busuk itulah yang saat ini merebak dan masyarakat sudah tahu sumber kebusukannya, politis. Sangat mengenaskan kalau kebusukan tersebut terkuak ketika era berkuasa sudah selesai. Alangkah banyak yang pensiun ''gratis'' di bui.

Kondisi itu tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan menimbulkan banyak korban, para politikus dan terutama rakyat. Wajib dibangun paradigma politik yang lebih bersih. Apalagi, sebentar lagi masuk 2014. Akan tersaji hajat demokrasi akbar, pemilihan calon legislatif dan pemilihan presiden. Pada era itu, diharapkan lahir politikus-politikus muda yang bisa mengambil alih peran menggantikan era lama yang lengket dengan cap kotornya. Inilah momen yang tepat untuk mengakhiri era politik ''riting'' kanan belok kiri. 

Saya berharap muncul politisi generasi baru yang diharapkan bisa menjadi ''vacuum cleaner'' atas dosa-dosa pendahulunya. Mereka harus punya pijakan moral yang kuat agar tidak terkontaminasi saat masuk ke dalam komunitas yang sudah dicitrakan jelek. Mereka harus mampu membawa misi perubahan menjadikan lembaga itu lebih baik.

Caranya, menjadi calon legislatif. Dengan terjun langsung, mereka bisa merasakan keluhan masyarakat dan membawanya menjadi sebuah aspirasi arus bawah. Dari sana, kebijakan politis bisa diambil dan dilaksanakan. Ingat bahwa parlemen adalah pelaksana kebijakan partai. Tapi, jangan sekali-kali banting setir mendadak dari tujuan semula. Sebab, langkah seperti itu hanya akan mengiris borok lama.

Namun, memang butuh proses lama untuk mencapai sebuah kondisi waras tersebut. Apalagi, menurut Socrates, bapak filosofi dunia, demokrasi belum bisa dijalankan di negara yang kondisi ekonomi dan pendidikannya rendah. Tapi, karena Indonesia sudah memulai pada era reformasi bergulir 1998 dan kita sudah berada di point of no return, titik tidak bisa kembali lagi ke awal, proses ini harus berjalan. Pendapatan per kapita kita sudah USD 3.500 per tahun, tanda ekonomi kita tidak jelek-jelek amat. Saya pun optimistis akal sehat masyarakat akan tergugah. Memilih demi kebajikan bersama dan tidak tergoda duit receh. 

Karena itu, saya menyerukan, jika ada peluang untuk terjun ke politik dan bergabung dengan parlemen, masuklah dan ambil bagian untuk memperbaiki. Pihak-pihak yang selama ini gencar mengkritik politisi dengan segala macam tingkahnya sebaiknya masuk ke dalam parpol apa pun yang condong di hati untuk melakukan perubahan. Jadilah caleg, rebut hati rakyat, dan laksanakan ide-ide dalam keputusan politik parlemen.

Salah satu penyebab rendahnya kualitas wakil rakyat adalah terbatasnya SDM berkualitas yang mau masuk ke dalamnya. Para pengamat, para intelektual di perguruan tinggi, dan para aktivis yang biasanya kritis perlu masuk ke dunia menarik itu. Kalau tidak, jangan banyak komplain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar