TIAP Februari selalu ada
perayaan Tahun Baru Imlek. Hari itu telah menjadi hari libur resmi secara
nasional dan merupakan khazanah bangsa yang mengakomodasi kebersamaan dalam
perbedaan. Tahun Baru Imlek tidak lepas dari keberadaan etnis Tionghoa yang
sudah ratusan tahun, dari generasi ke generasi, bermukim di Nusantara.
Negeri China dengan populasi
terbesar penduduk, tersebar di seluruh belahan dunia, mempunyai sejarah
panjang dan peradaban maju. Salah satu peninggalan peradaban fisik adalah
Tembok Raksasa (The Great Wall),
yang sangat monumental, yang dibangun Kaisar Chi Hwang-ti, 246 SM.
Dalam dunia
pendidikan, selain guru, murid, dan materi ajar, ada dua hal yang perlu
mendapat perhatian, yaitu tempat belajar dan waktu belajar. Dari sisi ini,
anak-anak rela meninggalkan rumah ke sekolah karena yang akan mereka
pelajari tidak terdapat di rumah atau kampung halaman.
Mahasiswa
meninggalkan tempat kelahiran menuju ke kota lain, bahkan ke luar negeri.
Ribuan mahasiswa dari berbagai negara belajar ke Amerika Serikat, Eropa,
Jepang, dan Australia dengan tujuan sama, supaya bisa mencapai kemajuan.
Bagaimana kita
menerjemahkan sabda Nabi Muhammad saw, ’’Carilah
ilmu walaupun sampai ke Negeri China’’. Sabda Nabi merupakan pernyataan
visioner yang luar biasa. Kemenarikannya, pernyataan diserukan di tengah
masyarakat Baduwi yang sebagian besar masih buta huruf dan terbelakang di
jazirah Arabia, negara padang pasir yang tandus kering.
Kesadaran
tentang arti penting belajar, mencari ilmu pengetahuan, masih merupakan
barang langka, dan pengetahuan tentang negeri China pun masih gelap. Seruan Nabi memunculkan
beberapa pertanyaan. Apakah saat itu negeri China sudah dikenal masyarakat
Arab? Apakah sudah ada hubungan antara masyarakat Arab di Mekkah dan etnis
Tionghoa/ bangsa China di Negeri Tirai Bambu? Kelebihan apa yang dimiliki
negeri China sehingga menjadi ’’rujukan’’ menimba ilmu? Apakah makna dari
seruan Nabi?
Ada beberapa
pemaknaan berkait mencari ilmu sampai ke negeri China. Perlu pemahaman
komprehensif menerjemahkan seruan Nabi, dan mengaitkannya dengan kekinian.
Bisa saja perintah Nabi secara umum merupakan jawaban guna memenuhi
sebagian kebutuhan dasar manusia, terutama kebutuhan fisik semisal sandang,
pangan, papan, dan kesehatan yang akan lebih mudah dipenuhi jika manusia
mau belajar.
Ada beberapa
kemungkinan dalam memaknai perintah Nabi. Pertama; makna jarak geografis,
yaitu tempat keberadaan sumber ilmu itu sendiri. Kita dapat memaknai
sebagai perintah mencari ilmu di negara mana saja walaupun harus menempuh
perjalanan jauh. Pemahaman seperti itu sudah dilakukan oleh banyak
mahasiswa Indonesia yang menuntut pendidikan di Timur Tengah, Eropa,
Australia, Jepang, dan Amerika.
Seumur Hidup
Kedua; kata
China dimaknai sebagai kelompok bangsa. Pemaknaan ini mengandung pengertian
ada kelebihan tertentu yang dimiliki oleh satu etnis/ bangsa dibanding
etnis/ bangsa lain. Untuk bidang tertentu etnis Tionghoa (bangsa China)
memiliki kelebihan ketimbang etnis/ bangsa lain sehingga etnis
non-Tionghoa/ bangsa non-China dapat belajar kepada mereka.
Ketiga; makna
kultural, yaitu konteks perbedaan budaya dan bahasa. Pengertian ini
mengandung makna bahwa latar belakang perbedaan budaya bukan penghalang
dalam usaha menuntut ilmu. Hal ini untuk mengembangkan wawasan,
menambah ilmu pengetahuan, meningkatkan keterampilan, sekaligus memupuk
kebersamaan dalam memajukan tatanan kehidupan dunia yang majemuk.
Di antara
implikasi dari seruan ini adalah perlunya penguasaan bahasa asing sebagai
alat komunikasi. Dalam konteks sekarang kita bisa mengartikan perlu belajar
Bahasa Inggris karena merupakan bahasa yang paling banyak dipakai dalam
forum internasional. Implikasi lain adalah perlu sikap keterbukaan,
kebersamaan dalam keragamaan (pluralitas), serta saling memberi dan
menerima demi kemajuan bersama.
Dalam kaitannya
dengan waktu belajar, Nabi saw mengajarkan, ’’Carilah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat’’. Seruan ini
mengandung arti bahwa kewajiban mencari limu itu berlangsung seumur hidup,
sejak lahir sampai maut menjemput. Dengan demikian sepanjang hidup, selama
itu pula manusia dalam proses belajar. Permasalahannya adalah apakah
manusia memahami bahwa semua yang diamati, didengar, dan dirasakan itu
dapat dijadikan sumber dan bahan belajar
Tak tertutup
kemungkinan tiap bangsa memiliki kelebihan dan kekurangan tapi kita dapat
belajar dari kelebihan bangsa lain untuk meminimalisasi kelemahan kita,
selain belajar dari kekurangan bangsa lain supaya ke depan kita dapat lebih
berhati-hati untuk tidak memiliki kekurangan yang sama.
Amien Rais,
mantan ketua MPR, ketika berkunjung ke China bertanya kepada pemimpin
negeri itu, apa yang dilakukan sehingga China dengan penduduk terbanyak di
dunia, lebih dari 1 miliar jiwa, berhasil mengatasi kritis
multidimensional. Jawabannya cukup singkat tetapi mengandung muatan yang
sangat bermakna, ’’Berhentilah
bertengkar dan mulailah membangun’’ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar