Jumat, 01 Maret 2013

Ilmu di Negeri China


Ilmu di Negeri China
Djamaluddin Darwis Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus)
SUARA MERDEKA, 28 Februari 2013


TIAP Februari selalu ada perayaan Tahun Baru Imlek. Hari itu telah menjadi hari libur resmi secara nasional dan merupakan khazanah bangsa yang mengakomodasi kebersamaan dalam perbedaan. Tahun Baru Imlek tidak lepas dari keberadaan etnis Tionghoa yang sudah ratusan tahun, dari generasi ke generasi, bermukim di Nusantara.
Negeri China dengan populasi terbesar penduduk, tersebar di seluruh belahan dunia, mempunyai sejarah panjang dan peradaban maju. Salah satu peninggalan peradaban fisik adalah Tembok Raksasa (The Great Wall), yang sangat monumental, yang dibangun Kaisar Chi Hwang-ti, 246 SM. 

Dalam dunia pendidikan, selain guru, murid, dan materi ajar, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu tempat belajar dan waktu belajar. Dari sisi ini, anak-anak rela meninggalkan rumah ke sekolah karena yang akan mereka pelajari tidak terdapat di rumah atau kampung halaman. 

Mahasiswa meninggalkan tempat kelahiran menuju ke kota lain, bahkan ke luar negeri. Ribuan mahasiswa dari berbagai negara belajar ke Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan Australia dengan tujuan sama, supaya bisa mencapai kemajuan. 

Bagaimana kita menerjemahkan sabda Nabi Muhammad saw, ’’Carilah ilmu walaupun sampai ke Negeri China’’. Sabda Nabi merupakan pernyataan visioner yang luar biasa. Kemenarikannya, pernyataan diserukan di tengah masyarakat Baduwi yang sebagian besar masih buta huruf dan terbelakang di jazirah Arabia, negara padang pasir yang tandus kering. 

Kesadaran tentang arti penting belajar, mencari ilmu pengetahuan, masih merupakan barang langka, dan pengetahuan tentang negeri China pun masih gelap.  Seruan Nabi memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah saat itu negeri China sudah dikenal masyarakat Arab? Apakah sudah ada hubungan antara masyarakat Arab di Mekkah dan etnis Tionghoa/ bangsa China di Negeri Tirai Bambu? Kelebihan apa yang dimiliki negeri China sehingga menjadi ’’rujukan’’ menimba ilmu? Apakah makna dari seruan Nabi?

Ada beberapa pemaknaan berkait mencari ilmu sampai ke negeri China. Perlu pemahaman komprehensif menerjemahkan seruan Nabi, dan mengaitkannya dengan kekinian. Bisa saja perintah Nabi secara umum merupakan jawaban guna memenuhi sebagian kebutuhan dasar manusia, terutama kebutuhan fisik semisal sandang, pangan, papan, dan kesehatan yang akan lebih mudah dipenuhi jika manusia mau belajar. 

Ada beberapa kemungkinan dalam memaknai perintah Nabi. Pertama; makna jarak geografis, yaitu tempat keberadaan sumber ilmu itu sendiri. Kita dapat memaknai sebagai perintah mencari ilmu di negara mana saja walaupun harus menempuh perjalanan jauh. Pemahaman seperti itu sudah dilakukan oleh banyak mahasiswa Indonesia yang menuntut pendidikan di Timur Tengah, Eropa, Australia, Jepang, dan Amerika. 

Seumur Hidup

Kedua; kata China dimaknai sebagai kelompok bangsa. Pemaknaan ini mengandung pengertian ada kelebihan tertentu yang dimiliki oleh satu etnis/ bangsa dibanding etnis/ bangsa lain. Untuk bidang tertentu etnis Tionghoa (bangsa China) memiliki kelebihan ketimbang etnis/ bangsa lain sehingga etnis non-Tionghoa/ bangsa non-China dapat belajar kepada mereka. 

Ketiga; makna kultural, yaitu konteks perbedaan budaya dan bahasa. Pengertian ini mengandung makna bahwa latar belakang perbedaan budaya bukan penghalang dalam usaha menuntut ilmu. Hal ini  untuk mengembangkan wawasan, menambah ilmu pengetahuan, meningkatkan keterampilan, sekaligus memupuk kebersamaan dalam memajukan tatanan kehidupan dunia yang majemuk. 

Di antara implikasi dari seruan ini adalah perlunya penguasaan bahasa asing sebagai alat komunikasi. Dalam konteks sekarang kita bisa mengartikan perlu belajar Bahasa Inggris karena merupakan bahasa yang paling banyak dipakai dalam forum internasional. Implikasi lain adalah perlu sikap keterbukaan, kebersamaan dalam keragamaan (pluralitas), serta saling memberi dan menerima demi kemajuan bersama. 

Dalam kaitannya dengan waktu belajar, Nabi saw mengajarkan, ’’Carilah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat’’. Seruan ini mengandung arti bahwa kewajiban mencari limu itu berlangsung seumur hidup, sejak lahir sampai maut menjemput. Dengan demikian sepanjang hidup, selama itu pula manusia dalam proses belajar. Permasalahannya adalah apakah manusia memahami bahwa semua yang diamati, didengar, dan dirasakan itu dapat dijadikan sumber dan bahan belajar

Tak tertutup kemungkinan tiap bangsa memiliki kelebihan dan kekurangan tapi kita dapat belajar dari kelebihan bangsa lain untuk meminimalisasi kelemahan kita, selain belajar dari kekurangan bangsa lain supaya ke depan kita dapat lebih berhati-hati untuk tidak memiliki kekurangan yang sama. 

Amien Rais, mantan ketua MPR, ketika berkunjung ke China bertanya kepada pemimpin negeri itu, apa yang dilakukan sehingga China dengan penduduk terbanyak di dunia, lebih dari 1 miliar jiwa, berhasil mengatasi kritis multidimensional. Jawabannya cukup singkat tetapi mengandung muatan yang sangat bermakna, ’’Berhentilah bertengkar dan mulailah membangun’’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar