Harian Kompas, Rabu (6/3), menurunkan tajuk rencana tentang otonomi
perguruan tinggi. Ini seiring uji materi atas UU No 12/2012 tentang
Pendidikan Tinggi oleh Mahkamah Konstitusi.
Beberapa pasal yang digugat di antaranya Pasal 65, 73, 74, 86, dan
87. Isinya seputar otonomi perguruan tinggi (PT) yang dituduh sebagai biang
komersialisasi. Bagaimana kita menyikapinya?
Otonomi
UU No 12 Tahun 2012 merupakan UU baru yang lahir pasca-dibatalkannya
UU Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Memang ada
semangat yang sama untuk terus mengembangkan otonomi PT. Namun, apakah
otonomi PT yang diatur akan menggerus peran sosial PT, dan sebaliknya akan
menguatkan komersialisasi? Kita perlu cermat membaca beberapa pasal yang
terkait dengan hal itu.
Pertama, otonomi mencakup bidang akademik dan non-akademik (Pasal
64). Akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional, serta
pelaksanaan Tridharma PT. Sementara bidang non-akademik mencakup penetapan
norma dan kebijakan operasional, serta pelaksanaan organisasi, keuangan,
kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana. Otonomi harus memegang
prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, efektivitas,
dan efisiensi (Pasal 63).
Kedua, Pasal 65 menjelaskan, penyelenggaraan otonomi PT dapat
diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh menteri kepada
PTN dengan menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum atau
dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi
bermutu. Memang, PTN badan hukum dianggap biang komersialisasi. Namun, Ayat
(4) menegaskan, pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum
untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau masyarakat.
Ketiga, keterjangkauan masyarakat juga ditegaskan lagi pada Pasal 76:
pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau PT wajib memenuhi hak mahasiswa
kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai
peraturan akademik.
Keempat, Pasal 73 semakin menegaskan, penerimaan mahasiswa baru PT
merupakan seleksi akademis, dilarang dikaitkan dengan tujuan komersial.
Kelima, bahkan pada Pasal 74, PTN wajib mencari dan menjaring calon
mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara
ekonomi, dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal
untuk diterima paling sedikit 20 persen dari seluruh mahasiswa yang
diterima dan tersebar pada semua program studi.
Keenam, biaya yang ditanggung mahasiswa harus disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua mahasiswa, atau pihak lain yang
membiayainya (Pasal 88).
Keenam poin di atas merupakan koridor hukum dilarangnya komersialisasi
PT dan sekaligus menjamin akses yang sama bagi semua untuk masuk PT.
Artinya, tidak ada lagi diskriminasi calon mahasiswa berdasarkan tingkat
ekonomi.
Mutu
Otonomi adalah jalan untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi. Amanat
peningkatan mutu ini perlu terus kita dukung karena proses pendidikan
tinggi adalah proses reproduksi ilmu pengetahuan. PT yang akan eksis adalah
yang paling produktif menghasilkan inovasi baru dan lulusan yang mampu
memberikan solusi. Ini seiring dengan tingkat persaingan antar-PT di dunia.
Akhirnya, predikat PT berkelas dunia bukanlah target utama, tetapi
implikasi langsung dari PT yang bermutu tersebut.
Jadi, otonomi adalah isu mutu, bukan isu pembiayaan yang mengarah
komersialisasi. Sering disalahartikan, dengan adanya otonomi PT, tanggung
jawab negara dalam pendidikan makin berkurang, lalu PT menaikkan biaya
kuliah. Padahal, pemerintah masih bertanggung jawab, bahkan makin meningkat
jumlah bantuannya.
Sebagai contoh, IPB pada 2008-2012 memiliki proporsi rata-rata pendapatan
yang bersumber dari mahasiswa sebesar 26,75 persen, APBN 41,06 persen, dan
sumber dana lainnya 32,19 persen. Artinya, negara tak lepas tangan, bahkan
masih dominan dalam pembiayaan IPB. Apalagi, kini pemerintah memiliki
program biaya operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) kepada PTN.
Dengan adanya BOPTN ini, tak boleh lagi ada ”uang pangkal” atau sumbangan
untuk masuk PTN yang selama ini menjadi biang komersialisasi. Bahkan, tahun
ini PTN wajib menerapkan uang kuliah tunggal.
Karena itu, pengawasan dan penegakan aturan ini harus tegas sehingga
PTN tak lagi ”mengakali” aturan anti-komersialisasi. Kearifan para hakim MK
sangat menentukan nasib PT ke depan. Jangan sampai hanya karena praktik
sebagian kecil PTN yang menerapkan komersialisasi, UU yang sangat kondusif
untuk kemajuan ini dibatalkan. Ini sama saja menangkap tikus dengan cara
membakar lumbung padi. ●
|
Terimakasih banyak atas informasinya
BalasHapusTerimakasih banyak atas informasinya
BalasHapus