Selasa, 19 Maret 2013

Fluktuasi Harga Pangan


Fluktuasi Harga Pangan
Dwi Andreas Santosa  ;  Ketua Program Studi S-2 
Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB
KOMPAS, 19 Maret 2013

  
Pada Juli 2012 terjadi lonjakan harga kedelai yang lebih tinggi dibandingkan saat krisis pangan 2007-2008.

Unjuk rasa besar-besaran kalangan pengusaha tahu dan tempe terjadi beberapa kali. Seperti biasa, pemerintah menjawab persoalan ini dengan solusi instan, menghapuskan bea masuk dan mendorong impor besar-besaran. Solusi ini ternyata tak menyelesaikan persoalan dan harga tetap tinggi hingga sekarang. Solusi lain yang ditawarkan, penyusunan harga patokan petani atau harga pembelian pemerintah untuk kedelai yang hampir delapan bulan ini tidak selesai. Krisis kedelai belum terselesaikan. Akhir 2012 muncul krisis daging sapi yang harganya menembus Rp 100.000 per kg, dan menjadi Rp 120.000 pada Februari 2013. Hal ini menjadikan harga daging sapi di Indonesia termahal di dunia. Krisis ini juga membuka tabir gelap permainan kotor partai dan petinggi partai yang menari di atas penderitaan rakyat.

Pada Februari itu juga, harga bawang putih merambat naik dan menembus Rp 28.000 per kg. Hanya dalam tempo singkat, saat ini harganya naik 100 persen menjadi Rp 60.000-Rp 70.000 per kg. Angka yang sangat menggiurkan para pemburu rente karena harga internasional saat ini hanya 518-612 dollar AS per metrik ton (FOB China, 15/3) atau Rp 5.051- Rp 5.968 per kg. Pada 2012, harga bawang putih pernah mencapai rekor tertinggi 1.800 dollar AS, tetapi itu pun kalau dikurskan hanya Rp 17.500 per kg.

Belum selesai krisis bawang putih, harga bawang merah meroket hingga Rp 45.000, dan hari ini Rp 50.000 per kg. Sangat fantastis bagi petani dan konsumen karena beberapa bulan lalu petani Brebes menumpahkan bawang merah ke jalan sebagai bentuk protes karena masuknya bawang merah impor murah yang menyebabkan petani merugi sangat besar.

Belum reda dengan kedelai, daging sapi, bawang merah, dan bawang putih, harga tomat dan cabai juga melonjak. Bulan lalu, harga tomat mencapai Rp 10.000 per kg, dan cabai Rp 18.000-Rp 25.000 per kg. Saat ini, harga tomat bertahan di Rp 10.000 dan cabai Rp 30.000 per kg. Padahal, beberapa bulan lalu (November 2012) harga kedua komoditas ini sangat rendah sehingga banyak petani membiarkan tomat dan cabai tak mereka panen karena ongkos petik lebih mahal daripada harga jual. Pada bulan itu, harga tomat di sentra-sentra produksi hortikultura pernah terjerembap ke Rp 200, dan cabai Rp 1.000 per kg.

Kenaikan harga beberapa komoditas rakyat tersebut membuat marah dan jengkel Presiden SBY. Ia menegur keras menteri terkait, Jumat (15/3), karena ketakbecusan mereka mengatasi masalah ini. Pak Presiden, rakyat dan petani jauh lebih marah dan jengkel terkena dampak fluktuasi harga pangan beberapa tahun terakhir ini. Petani juga sakit hati dengan pernyataan Menteri Pertanian dan beberapa orang yang menyatakan harga yang tinggi menguntungkan petani. Petani sama sekali tidak menikmati karena mereka juga konsumen.

Faktor Penyebab dan Solusi

Terdapat empat penyebab volatilitas harga pangan menurut pemerintah dan pengamat. Pertama, harga energi. Harga minyak bumi berpengaruh langsung pada sejumlah proses produksi di bidang pertanian, seperti harga pupuk dan pestisida, serta pemrosesan dan transportasi. Kenaikan harga minyak lima tahun terakhir menyebabkan harga pangan juga meningkat. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan memperkirakan akan terjadi penurunan produksi pertanian di seluruh dunia pada dekade mendatang karena tingginya harga bahan bakar dan pupuk (Johnson, Council on Foreign Relations). Estimasi itu sangat mengkhawatirkan terutama negara berkembang karena 70 persen negara berkembang importir pangan.

Kedua, stok pangan atau biji-bijian. Stok komoditas pangan nasional, termasuk hortikultura, menurun sehingga harga meningkat. Misalnya, stok global biji-bijian menurun dari 110 hari pasokan menjadi 64 hari pasokan. Hal itu menyebabkan krisis pangan 2007-2008, dan diperkirakan kian menurun pada 2013. Ketiga, kecenderungan peningkatan kelas menengah di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang meningkatkan konsumsi daging. Keempat, bencana dan perubahan iklim yang menurunkan stok pangan.

Keempat hal itu selalu menjadi alasan klasik dalam situasi harga pangan yang tak menentu. Di balik itu, ada hal lain yang diperkirakan menyebabkan volatilitas tinggi lima tahun terakhir. Dari beberapa studi, yang berpengaruh besar terhadap fluktuasi harga bukanlah keempat faktor itu, tetapi spekulasi finansial (Bar-Yam and Lindsay, 2012). Sekitar 40 persen volatilitas, bila dirunut, berakhir di institusi finansial. 

Dalam lima tahun terakhir, uang yang disalurkan bank untuk spekulasi di perdagangan komoditas pangan meningkat dari 65 miliar dollar AS menjadi 126 miliar dollar AS atau Rp 1.228 triliun.
New England Complex Systems Institute membangun model matematis untuk menerangkan penyebab krisis pangan 2007-2008 dan 2010-2011. Bila parameter stok pangan, harga minyak bumi dan iklim dimasukkan, baru mencukupi untuk menerangkan kenaikan harga pangan, tetapi tak bisa menerangkan fluktuasi harga yang sangat tinggi. Jika spekulasi finansial dimasukkan ke dalam model itu, dengan tepat hal itu bisa diterangkan.

Pemerintah dan pengamat sering kali memercayakan diri pada pasar yang dengan sendirinya akan menyelaraskan pasokan dan permintaan pangan pada harga yang menguntungkan petani, dan di sisi lain menjamin sebagian besar masyarakat mampu mengakses harga tersebut.

Kesetimbangan itu hancur dengan adanya spekulasi finansial yang kian diperparah tangan-tangan partai yang korup. Di Indonesia, hal itu tampaknya tidak disadari para perumus kebijakan sehingga dengan mudah harga sejumlah komoditas dipermainkan untuk keuntungan segelintir orang. Hal lain adalah menyangkut data dan perencanaan pertanian di Indonesia. Seorang teman, ketua organisasi tani di Jawa Timur, menanyakan ke penulis, ”Apakah orang-orang yang duduk di pemerintahan ini sedemikian bodoh sehingga mengelola produksi dan permintaan saja tidak sanggup?” Data pertanian kita benar-benar perlu dipertanyakan. Sudah jadi rahasia umum, data produksi, konsumsi, luas tanam, luas panen, dan produktivitas yang dipasok dari daerah ke pusat banyak yang sekadar copy and paste sehingga menghasilkan kebijakan dan perencanaan yang salah.

Solusi

Ada beberapa solusi. Pertama, meretas jaringan spekulan pangan. Baru-baru ini enam bank di Eropa menghilangkan produk pertanian dalam mekanisme pendanaan komoditas karena menyadari bahaya spekulasi pangan. Kedua, menegaskan kembali pentingnya kedaulatan pangan yang kini hanya jadi jargon tanpa arti. Orientasi kebijakan ke arah kesejahteraan petani jadi sangat penting, sedangkan lainnya (produksi) akan ikut dengan sendirinya. Ketiga, pembenahan data pertanian. Keempat, semoga pada kabinet mendatang kementerian pertanian tak lagi dipegang orang-orang yang ”mendua hati” karena hajat hidup sebagian besar rakyat bergantung kinerja kementerian ini. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar