Pada Juli 2012 terjadi lonjakan harga kedelai yang lebih tinggi
dibandingkan saat krisis pangan 2007-2008.
Unjuk rasa besar-besaran kalangan pengusaha tahu dan tempe terjadi
beberapa kali. Seperti biasa, pemerintah menjawab persoalan ini dengan
solusi instan, menghapuskan bea masuk dan mendorong impor besar-besaran.
Solusi ini ternyata tak menyelesaikan persoalan dan harga tetap tinggi
hingga sekarang. Solusi lain yang ditawarkan, penyusunan harga patokan
petani atau harga pembelian pemerintah untuk kedelai yang hampir delapan
bulan ini tidak selesai. Krisis kedelai belum terselesaikan. Akhir 2012
muncul krisis daging sapi yang harganya menembus Rp 100.000 per kg, dan
menjadi Rp 120.000 pada Februari 2013. Hal ini menjadikan harga daging sapi
di Indonesia termahal di dunia. Krisis ini juga membuka tabir gelap
permainan kotor partai dan petinggi partai yang menari di atas penderitaan
rakyat.
Pada Februari itu juga, harga bawang putih merambat naik dan
menembus Rp 28.000 per kg. Hanya dalam tempo singkat, saat ini
harganya naik 100 persen menjadi Rp 60.000-Rp 70.000 per kg. Angka yang
sangat menggiurkan para pemburu rente karena harga internasional saat ini
hanya 518-612 dollar AS per metrik ton (FOB China, 15/3) atau Rp
5.051- Rp 5.968 per kg. Pada 2012, harga bawang putih pernah mencapai
rekor tertinggi 1.800 dollar AS, tetapi itu pun kalau dikurskan hanya Rp
17.500 per kg.
Belum selesai krisis bawang putih, harga bawang merah meroket
hingga Rp 45.000, dan hari ini Rp 50.000 per kg. Sangat fantastis bagi
petani dan konsumen karena beberapa bulan lalu petani Brebes menumpahkan
bawang merah ke jalan sebagai bentuk protes karena masuknya bawang merah
impor murah yang menyebabkan petani merugi sangat besar.
Belum reda dengan kedelai, daging sapi, bawang merah, dan bawang
putih, harga tomat dan cabai juga melonjak. Bulan lalu, harga tomat
mencapai Rp 10.000 per kg, dan cabai Rp 18.000-Rp 25.000 per kg. Saat ini,
harga tomat bertahan di Rp 10.000 dan cabai Rp 30.000 per kg. Padahal,
beberapa bulan lalu (November 2012) harga kedua komoditas ini sangat rendah
sehingga banyak petani membiarkan tomat dan cabai tak mereka panen karena
ongkos petik lebih mahal daripada harga jual. Pada bulan itu, harga tomat
di sentra-sentra produksi hortikultura pernah terjerembap ke Rp 200,
dan cabai Rp 1.000 per kg.
Kenaikan harga beberapa komoditas rakyat tersebut membuat marah dan
jengkel Presiden SBY. Ia menegur keras menteri terkait, Jumat (15/3),
karena ketakbecusan mereka mengatasi masalah ini. Pak Presiden, rakyat dan
petani jauh lebih marah dan jengkel terkena dampak fluktuasi harga pangan
beberapa tahun terakhir ini. Petani juga sakit hati dengan pernyataan
Menteri Pertanian dan beberapa orang yang menyatakan harga yang tinggi
menguntungkan petani. Petani sama sekali tidak menikmati karena mereka juga
konsumen.
Faktor Penyebab dan Solusi
Terdapat empat penyebab volatilitas harga pangan menurut pemerintah
dan pengamat. Pertama, harga energi. Harga minyak bumi berpengaruh langsung
pada sejumlah proses produksi di bidang pertanian, seperti harga pupuk dan
pestisida, serta pemrosesan dan transportasi. Kenaikan harga minyak lima
tahun terakhir menyebabkan harga pangan juga meningkat. Organisasi Kerja
Sama Ekonomi dan Pembangunan memperkirakan akan terjadi penurunan produksi
pertanian di seluruh dunia pada dekade mendatang karena tingginya harga
bahan bakar dan pupuk (Johnson,
Council on Foreign Relations). Estimasi itu sangat mengkhawatirkan
terutama negara berkembang karena 70 persen negara berkembang importir
pangan.
Kedua, stok pangan atau biji-bijian. Stok komoditas pangan nasional,
termasuk hortikultura, menurun sehingga harga meningkat. Misalnya, stok
global biji-bijian menurun dari 110 hari pasokan menjadi 64 hari pasokan.
Hal itu menyebabkan krisis pangan 2007-2008, dan diperkirakan kian menurun
pada 2013. Ketiga, kecenderungan peningkatan kelas menengah di negara
berkembang, termasuk Indonesia, yang meningkatkan konsumsi daging. Keempat,
bencana dan perubahan iklim yang menurunkan stok pangan.
Keempat hal itu selalu menjadi alasan klasik dalam situasi harga
pangan yang tak menentu. Di balik itu, ada hal lain yang diperkirakan
menyebabkan volatilitas tinggi lima tahun terakhir. Dari beberapa studi,
yang berpengaruh besar terhadap fluktuasi harga bukanlah keempat faktor
itu, tetapi spekulasi finansial (Bar-Yam
and Lindsay, 2012). Sekitar 40 persen volatilitas, bila dirunut,
berakhir di institusi finansial.
Dalam lima tahun terakhir, uang yang
disalurkan bank untuk spekulasi di perdagangan komoditas pangan meningkat
dari 65 miliar dollar AS menjadi 126 miliar dollar AS atau Rp 1.228 triliun.
New England Complex Systems
Institute membangun model matematis untuk menerangkan penyebab krisis
pangan 2007-2008 dan 2010-2011. Bila parameter stok pangan, harga minyak
bumi dan iklim dimasukkan, baru mencukupi untuk menerangkan kenaikan harga
pangan, tetapi tak bisa menerangkan fluktuasi harga yang sangat tinggi.
Jika spekulasi finansial dimasukkan ke dalam model itu, dengan tepat hal
itu bisa diterangkan.
Pemerintah dan pengamat sering kali memercayakan diri pada pasar yang
dengan sendirinya akan menyelaraskan pasokan dan permintaan pangan pada
harga yang menguntungkan petani, dan di sisi lain menjamin sebagian besar
masyarakat mampu mengakses harga tersebut.
Kesetimbangan itu hancur dengan adanya spekulasi finansial yang kian
diperparah tangan-tangan partai yang korup. Di Indonesia, hal itu tampaknya
tidak disadari para perumus kebijakan sehingga dengan mudah harga sejumlah
komoditas dipermainkan untuk keuntungan segelintir orang. Hal lain adalah
menyangkut data dan perencanaan pertanian di Indonesia. Seorang teman,
ketua organisasi tani di Jawa Timur, menanyakan ke penulis, ”Apakah orang-orang yang duduk di
pemerintahan ini sedemikian bodoh sehingga mengelola produksi dan
permintaan saja tidak sanggup?” Data pertanian kita benar-benar perlu
dipertanyakan. Sudah jadi rahasia umum, data produksi, konsumsi, luas
tanam, luas panen, dan produktivitas yang dipasok dari daerah ke pusat
banyak yang sekadar copy and paste
sehingga menghasilkan kebijakan dan perencanaan yang salah.
Solusi
Ada beberapa solusi. Pertama, meretas jaringan spekulan pangan.
Baru-baru ini enam bank di Eropa menghilangkan produk pertanian dalam
mekanisme pendanaan komoditas karena menyadari bahaya spekulasi pangan.
Kedua, menegaskan kembali pentingnya kedaulatan pangan yang kini hanya jadi
jargon tanpa arti. Orientasi kebijakan ke arah kesejahteraan petani jadi
sangat penting, sedangkan lainnya (produksi) akan ikut dengan sendirinya.
Ketiga, pembenahan data pertanian. Keempat, semoga pada kabinet mendatang
kementerian pertanian tak lagi dipegang orang-orang yang ”mendua hati”
karena hajat hidup sebagian besar rakyat bergantung kinerja kementerian
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar