Pada Nyepi tahun ini, yang jatuh pada hari Selasa
(12/3), umat Hindu memasuki Tahun Baru Saka 1935. Namun, Nyepi bukan
sekadar pergantian tahun Saka, tapi juga hari raya yang disucikan,
khususnya bagi hampir tiga juta penganut Hindu Bali dan di berbagai kawasan
di Tanah Air.
Ada beberapa
ritual dalam menyambut Nyepi. Beberapa hari sebelum Nyepi digelar ritual
Melasti, yakni menyucikan arca serta simbol-simbol agama Hindu Dharma guna
mendekatkan diri kepada Tuhan. Ritual ini dimaksudkan untuk menyucikan
seluruh isi dunia dan khususnya untuk mengambil Amerta atau air suci
kehidupan dari laut dan sumber air lainnya. Lalu sehari sebelum Nyepi
digelar ritual Tawur Kesanga, terdiri atas upacara Bhuta Yadnya dan
Ngrupuk.
Bhuta Yadnya
adalah ritual memberi persembahan pada Sang Bhuta Kala agar tidak
mengganggu umat manusia. Dalam ritual ini umat Hindu membuat ogoh-ogohatau
patung raksasa dari bambu yang merupakan simbol roh jahat di sekitar kita
sehingga perlu disingkirkan. Cara penyingkiran adalah dengan ritual ngrupuk
yakni mengarak ogoh-ogoh lalu membakarnya.
Dengan
demikian, roh jahat bisa diusir dan tidak jadi menguasai dunia. Nah, jika
kita hendak mencari relevansi pesan suci Nyepi dengan masalah di negeri
ini, tentu saja ada. Misalnya jika kita bicara tentang roh jahat atau
kejahatan terbesar yang paling menjadi masalah bagi kita harihari ini,
jelas bisa kita lihat pada maraknya praktik korupsi di sini.
Ketua Mahkamah
Konstitusi Moh Mahfud MD menyebut, korupsilah masalah terbesar bangsa kita
saat ini. Memang, bila kita bicara korupsi dan kaitkan dengan agama, kita
menjadi malu. Sungguh menyayat hati manakala perintah Sang Hyang Widhi atau
Tuhan Yang Maha Esa agar tidak mencuri, mengambil milik orang lain, atau
korupsi—seperti tertulis di Kitab Suci semua agama—kini seperti tak punya
pengaruh lagi.
Buktinya, para
koruptor baru justru terus bermunculan. Padahal di negara-negara sekuler,
bahkan mayoritas warganya tidak peduli pada agama, seperti Denmark,
korupsinya justru nihil. Apalagi, jika kita membincangkan korupsi di
Departemen Agama yang konon justru menjadi sarang korupsi, jelas tambah
malu hati ini. Sayang, justru mungkin kita sudah kehilangan hati alias
sudah mati rasa, sehingga korupsi seolah sudah sulit dihentikan.
Kemunafikan
Kenyataan
korupsi yang kian marak ini jelas bisa membuat sebagian dari kita apatis.
Mungkin benar tudingan budayawan dan wartawan senior Mochtar Lubis
(almarhum), betapa munafiknya bangsa ini. Pencucian uang hasil korupsi
lewat tindakan ritual keagamaan, seperti pernah dibeber Profesor Komaruddin
Hidayat, jelas merupakan bentuk kemunafikan.
Pelaksanaan
ritual keagamaan idealnya membuahkan perilaku yang terpuji, bukan perilaku
tidak terpuji seperti korupsi. Sayangnya, ritual keagamaan yang terjadi
tidak menghasilkan buah perubahan hidup secara konkret. Banyak yang
melakukannya hanya untuk mencari pujian dari orang lain sehingga citranya
terdongkrak serta korupsi yang dilakukan jadi tidak ketahuan.
Padahal kita
tidak bisa berpura- pura, apalagi di hadapan Sang Pencipta yang sudah pasti
amat membenci kepura-puraan. Segala topeng yang coba kita pasang tidak akan
bisa menutupi segala perilaku yang tak terpuji. Sebagaimana arti kata
korupsi dari bahasa Latin “corrumpere” yang berarti merusak atau
membusukkan, maka jika tidak hati-hati, kita semua, tak terkecuali tokoh
agama atau institusi agama, juga bisa dibusukkan oleh uang haram hasil
korupsi.
Teten Masduki,
aktivis antikorupsi kawakan, pernah berkisah, betapa dia tak habis mengerti
dengan beberapa tokoh agama dan pengikutnya yang justru membela mati-matian
tersangka korupsi di pengadilan, padahal korupsi merupakan kejahatan yang
luar biasa. Korupsi memang luar biasa jahat karena jelas menyakiti dan
menganiaya banyak pihak, khususnya kaum miskin.
Dengan uang
negara yang terus dirampok dan masuk kantong pribadi, kesempatan menjadi
hilang bagi anak- anak miskin yang menderita gizi buruk untuk mendapatkan
asupan gizi cukup. Akibat dirampok koruptor, banyak anak miskin tidak bisa
masuk ke perguruan tinggi yang biayanya kian mahal.
Jalan-jalan
tambah rusak, karena anggaran pembangunannya sudah disunat dan dibelikan
material yang murah sehingga jalan menjadi cepat rusak, berlubang, dan
rawan kecelakaan. Ada rangkaian dampak buruk dari tindakan para koruptor
sehingga para koruptor sebenarnya harus dihukum seberat-beratnya.
Agama dan Hukum
Namun bila kita
mengaitkan agama dan korupsi, kita harus hati-hati. Jangan sampai
kesimpulan akhirnya menyalahkan agama, untuk tindakan korupsi ini. Karena
untuk mengatasi korupsi, memang bukan tanggung jawab agama saja. Penegakan
hukum, seperti penguatan KPK agar para koruptor dihukum seberat-beratnya,
merupakan solusi utama.
Maka KPK, yang
menjadi tumpuan harapan terakhir, harus terus mendapat dukungan. Apalagi
kabarnya sedang terjadi serangan balik dari para koruptor yang bekerja
dengan mafia hukum di tahun politik kali ini (2013), agar KPK lemah
menjelang 2014 mendatang. Dengan demikian, mereka yang merampok uang negara
bisa terus berpesta-pora di atas kebangkrutan negara dan penderitaan
rakyat, khususnya wong cilik.
Jadi dalam
upaya mengatasi korupsi, upaya ini bukan tanggung jawab agama saja. Agama
hanya berperan sebagai “early warning sistem“ agar orang jangan korupsi.
Tapi bila orang sudah melakukan tindak pidana korupsi, hukum positif kita
yang harus bertindak tegas. Jadi kunci utamanya tetap pada penegakan hukum.
Bagaimanapun, kita tidak boleh apatis atau putus asa.
Gerakan
masyarakat sipil untuk antikorupsi jelas perlu terus didorong, terlebih di
tahun politik, yang jelas akan diwarnai banyak politik uang dan korupsi.
Umat Hindu, meski minoritas, perlu menggelar sinergi dengan semua umat
beragama lain.
Sinergi ini perlu
digalakkan agar kelak negeri ini sungguh bersih dari korupsi. Mari, Nyepi
tahun ini kita jadikan momentum untuk menyepi, membersihkan diri dan berani
mengalahkan roh jahat serta godaan untuk korupsi sehingga Indonesia menjadi
lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar