"Kejujuran
dan hati nurani sangat berperan untuk menghentikan proses pembusukan moral
dan etika"
TEROBOSAN Meneg BUMN Dahlan Iskan
mengungkap permainan beberapa anggota DPR dalam suap BUMN beberapa waktu
lalu, memberikan pencerahan untuk dijadikan model, berkait upaya mewujudkan
clean government. Praktik suap
itu sudah berjalan lama dan membuat banyak pihak mengernyitkan dahi.
Benarkah ada praktik semacam itu?
Kongkalingkong anggaran bisa juga dilakukan
oleh para pemimpin BUMN dengan cara memanfaatkan anggota parlemen.
Keterkaitan kedua belah pihak itu tampak nyata tatkala Dahlan berencana
melikuidasi sedikitnya 50 badan usaha milik negara yang terus merugi.
Rencana sang Menteri itu menuai reaksi
keras dari sejumlah direktur perusahaan pelat merah itu yang merasa
posisinya terancam.
Para direktur BUMN ’’melambung’’ ke
sejumlah anggota DPR, meminta tolong untuk menyelamatkan posisi mereka.
Jelas, minta tolong itu diikuti dengan pemberian upeti dan uang yang
dipakai lagi-lagi dari kas BUMN. Badan usaha milik negara, termasuk milik
daerah, semestinya harus bebas dari perahan siapa pun: DPR, partai politik,
atau penguasa.
Gebrakan Dahlan telah memosisikan dia
menjadi agent of change,
sehubungan dengan terbukanya aliran-aliran yang menghambat kepekaan mental
dan moralitas bangsa, terutama yang ada sangkut-pautnya dengan perekrutan
calon anggota legislatif (caleg) dalam waktu dekat.
Langkah itu juga menjadi transformator arus
perubahan sikap mental dari kehidupan berbangsa. Tentu, gebrakan itu butuh
peran preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam menjalankan, terutama
menyelenggarakan pelayanan yang menyangkut kehidupan, baik dari segi
regulasi maupun manusia.
Ketidakpastian
Hukum
Sehubungan dengan perekrutan anggota DPR,
publik mendapatkan potret buram berkait kenyataan kasus Angelina Sondakh,
Wa Ode Nurhayati, dan para penerima cek perjalanan dalam pemilihan Deputi
Senior Gubernur BI Miranda Swaray Goeltom, beberapa tahun lalu.
Majalah Tempo, edisi 13 Januari 2013
halaman 26 juga menuliskan berita berjudul ’’Rekening Gendut DPR’’. Hasil
temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut,
dari 560 anggota parlemen, 42,71% terindikasi terlibat korupsi.
Dibandingkan dengan anggota periode 2009-2014, wakil rakyat periode
sekarang makin berani menggerogoti duit negara.’’
Sudah banyak hukum dan perundang-undangan
yang dilahirkan, produk bersama DPR dan pemerintah, dan secara aspiratif
telah mempersembahkan kepastian hukum dan keadilan, sekaligus ketentraman
dan kesejahteraan. Namun fakta berbicara lain mengingat masih terjadi
perbuatan yang sulit, bahkan tidak bisa kita pahami karena cenderung
berjalan pada alur ketidakadilan, ketidaktentraman, dan ketidakpastian
hukum.
Kita dapat menyimpulkan bahwa yang salah
bukan institusi atau lembaga, melainkan pelaksana, orang yang mengemban dan
menerapkan produk hukum dan perundang-undangan tersebut.
Semua itu seperti ingin memperjelas bahwa
peristiwa aktual yang mengakibatkan terjadinya pembusukan moral dan etika
karena telah diawali oleh pembiaran.
Pembiaran itu yang mengondisikan terjadinya
pembusukan moral dan etika, dapat kita pahami mengingat ada yang tidak
beres dalam proses perekrutan kader sebagai calon anggota legislatif
(caleg). Tahapan perekrutan itu, selain menggunakan parameter dan variabel
politik, juga menggunakan standar uang.
Pola itulah yang kemudian mengakselerasi
terjadinya pembusukan oleh organisasi atau kader sendiri sehingga
mengganggu, bahkan menghalang-halangi harapan keterwujudan clean government.
Kita bisa membaca di internet bahwa untuk
dapat menjadi caleg, di daerah atau pusat, seseorang harus menyiapkan uang
antara Rp 300 juta dan Rp 6 miliar (WaspadaOnline, 17/01/13)
Kata kuncinya ada pada honesty and dictates of conscience (kejujuran dan hati nurani),
yang sangat berperan untuk menghentikan pembusukan moral dan etika.
Sebenarnya keterciptaan itu dapat dilakukan dengan melahirkan kesepakatan
antara politikus dan parpol, untuk tidak merekrut kader dengan ukuran uang
atau mendasarkan pada besarnya mahar politik yang disumbangkan ke partai.
’’Iklan’’ perekrutan caleg, yang acap
memberi kesempatan kepada orang luar yang bukan kader untuk melamar, sangat
menyakitkan kader asli. Kita tak bisa berharap banyak dari kader atau politikus
lompat pagar tersebut, untuk membesarkan partai karena mereka tak pernah
merasa terpanggil atau merasa tak punya kewajiban melakukan hal itu.
Termasuk merasa tak punya kewajiban dalam kesantunan berpolitik.
Seandainya kita semua mau konsisten kembali
pada alur hukum, pasanglah ’’pagar’’ atau peraturan tegas bahwa pembiaran
atas terjadinya pembusukan itu pun wajib diatur dan diancam dengan pidana.
Persoalannya, maukah kita menuju ke sana? Dalam konteks ini pun kita butuh
kejujuran dan hati nurani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar