Kamis, 14 Maret 2013

Keterwujudan “Clean Government”


Keterwujudan “Clean Government”
Ign Ridwan Widyadharma; Advokat, Dosen Mata Kuliah ProfessionalResponsibility di Fakultas Hukum Undip dan Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang    
SUARA MERDEKA, 13 Maret 2013


"Kejujuran dan hati nurani sangat berperan untuk menghentikan proses pembusukan moral dan etika"

TEROBOSAN Meneg BUMN Dahlan Iskan mengungkap permainan beberapa anggota DPR dalam suap BUMN beberapa waktu lalu, memberikan pencerahan untuk dijadikan model, berkait upaya mewujudkan clean government. Praktik suap itu sudah berjalan lama dan membuat banyak pihak mengernyitkan dahi. Benarkah ada praktik semacam itu?

Kongkalingkong anggaran bisa juga dilakukan oleh para pemimpin BUMN dengan cara memanfaatkan anggota parlemen. Keterkaitan kedua belah pihak itu tampak nyata tatkala Dahlan berencana melikuidasi sedikitnya 50 badan usaha milik negara yang terus merugi.

Rencana sang Menteri itu menuai reaksi keras dari sejumlah direktur perusahaan pelat merah itu yang merasa posisinya terancam.

Para direktur BUMN ’’melambung’’ ke sejumlah anggota DPR, meminta tolong untuk menyelamatkan posisi mereka. Jelas, minta tolong itu diikuti dengan pemberian upeti dan uang yang dipakai lagi-lagi dari kas BUMN. Badan usaha milik negara, termasuk milik daerah, semestinya harus bebas dari perahan siapa pun: DPR, partai politik, atau penguasa.

Gebrakan Dahlan telah memosisikan dia menjadi agent of change, sehubungan dengan terbukanya aliran-aliran yang menghambat kepekaan mental dan moralitas bangsa, terutama yang ada sangkut-pautnya dengan perekrutan calon anggota legislatif (caleg) dalam waktu dekat.
Langkah itu juga menjadi transformator arus perubahan sikap mental dari kehidupan berbangsa. Tentu, gebrakan itu butuh peran preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam menjalankan, terutama menyelenggarakan pelayanan yang menyangkut kehidupan, baik dari segi regulasi maupun manusia.

Ketidakpastian Hukum

Sehubungan dengan perekrutan anggota DPR, publik mendapatkan potret buram berkait kenyataan kasus Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, dan para penerima cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Swaray Goeltom, beberapa tahun lalu.  

Majalah Tempo, edisi 13 Januari 2013 halaman 26 juga menuliskan berita berjudul ’’Rekening Gendut DPR’’. Hasil temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut, dari 560 anggota parlemen, 42,71% terindikasi terlibat korupsi. Dibandingkan dengan anggota periode 2009-2014, wakil rakyat periode sekarang makin berani menggerogoti duit negara.’’

Sudah banyak hukum dan perundang-undangan yang dilahirkan, produk bersama DPR dan pemerintah, dan secara aspiratif telah mempersembahkan kepastian hukum dan keadilan, sekaligus ketentraman dan kesejahteraan. Namun fakta berbicara lain mengingat masih terjadi perbuatan yang sulit, bahkan tidak bisa kita pahami karena cenderung berjalan pada alur ketidakadilan, ketidaktentraman, dan ketidakpastian hukum.

Kita dapat menyimpulkan bahwa yang salah bukan institusi atau lembaga, melainkan pelaksana, orang yang mengemban dan menerapkan produk hukum dan perundang-undangan tersebut.
Semua itu seperti ingin memperjelas bahwa peristiwa aktual yang mengakibatkan terjadinya pembusukan moral dan etika karena telah diawali oleh pembiaran.

Pembiaran itu yang mengondisikan terjadinya pembusukan moral dan etika, dapat kita pahami mengingat ada yang tidak beres dalam proses perekrutan kader sebagai calon anggota legislatif (caleg). Tahapan perekrutan itu, selain menggunakan parameter dan variabel politik, juga menggunakan standar uang.

Pola itulah yang kemudian mengakselerasi terjadinya pembusukan oleh organisasi atau kader sendiri sehingga mengganggu, bahkan menghalang-halangi harapan keterwujudan clean government.
Kita bisa membaca di internet bahwa untuk dapat menjadi caleg, di daerah atau pusat, seseorang harus menyiapkan uang antara Rp 300 juta dan Rp 6 miliar (WaspadaOnline, 17/01/13)

Kata kuncinya ada pada honesty and dictates of conscience (kejujuran dan hati nurani), yang sangat berperan untuk menghentikan pembusukan moral dan etika. Sebenarnya keterciptaan itu dapat dilakukan dengan melahirkan kesepakatan antara politikus dan parpol, untuk tidak merekrut kader dengan ukuran uang atau mendasarkan pada besarnya mahar politik yang disumbangkan ke partai.

’’Iklan’’ perekrutan caleg, yang acap memberi kesempatan kepada orang luar yang bukan kader untuk melamar, sangat menyakitkan kader asli. Kita tak bisa berharap banyak dari kader atau politikus lompat pagar tersebut, untuk membesarkan partai karena mereka tak pernah merasa terpanggil atau merasa tak punya kewajiban melakukan hal itu. Termasuk merasa tak punya kewajiban dalam kesantunan berpolitik. 

Seandainya kita semua mau konsisten kembali pada alur hukum, pasanglah ’’pagar’’ atau peraturan tegas bahwa pembiaran atas terjadinya pembusukan itu pun wajib diatur dan diancam dengan pidana. Persoalannya, maukah kita menuju ke sana? Dalam konteks ini pun kita butuh kejujuran dan hati nurani. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar