Investasi
bodong bagai arus banjir ibukota yang sulit dibendung. Setelah kasus
Koperasi Langit Biru yang mencuat di permukaan pada akhir Juli 2012, kini
meledak kasus penipuan dengan investasi emas oleh PT Golden Traders
Indonesia Syariah (GTIS).
Investasi bodong bagai arus banjir ibukota
yang sulit dibendung. Setelah kasus Koperasi Langit Biru yang mencuat di
permukaan pada akhir Juli 2012, kini meledak kasus penipuan dengan
investasi emas oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS).
Bagaimana melakukan mitigasi risiko investasi bodong? Penipuan demi
penipuan berkedok investasi amat manis seolah tiada putus. Coba tengok ke
belakang sejenak. Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), investasi keuangan dengan
kerugian Rp800 miliar pada 2002, Adess Sumber Hidup Dinamika (investasi
peternakan itik, Rp200 miliar, 2003), Medical (multilevel marketing/MLM,
Rp50 miliar, 2004),
Berlian Artha Sejahtera (arisan berantai, Rp200 miliar, 2005), Futurista
International Paradana (MLM, puluhan miliar rupiah, 2005), Platinum Invesment
(valas, Rp500 miliar, 2005), Interbanking Bisnis Terencana (penyertaan
modal, Rp42 miliar, 2006), Mitra Wira Usaha Mandiri (MLM, puluhan miliar
rupiah, 2006), Java Lintas Niaga (MLM, Rp70 miliar, 2006), Wahyu Sejahtera
Mandiri (MLM, Rp30 miliar, 2006). Disusul Wahana Bersama Globalindo (WBG)
(valas, Rp3,5 triliun, 2007),
Gama Smart Karya Utama (valas, Rp12 triliun, 2007), Sarana Perdana
Indoglobal (valas, Rp2,1 triliun, 2007), PT Gradasi Anak Negeri (MLM, Rp390
miliar, 2012), Koperasi Langit Biru (bisnis daging, Rp6 triliun, 2012) dan
PT Gemilang Reksa Jaya (MLM, ratusan miliar rupiah, 2012) (Harian Kontan,
25 Juli 2012). Pertanyaan nakalnya, mengapa penipuan model investasi
semacam itu begitu menarik sehingga laku keras? Sudah barang tentu karena tawarannya
begitu gurih melebihi madu asli.
Bagaimana kiatnya? GTIS membuat tawaran sedemikian rupa sehingga menawan
hati calon investor dengan imbal hasil (yield) minimal 2% per bulan atau
24% per tahun. Bagaimana tidak menarik? Imbal hasil tersebut jauh lebih
tinggi daripada suku bunga deposito bank yang saat ini hanya sekitar 4–5%
per tahun. Tawaran semacam inilah yang membuat calon investor mabuk
kepayang untuk langsung menanamkan modal sekian puluh atau ratus juta atau
bahkan miliar dalam investasi. Hebatnya lagi, investasi abal-abal itu
terkadang berkedok koperasi.
Mitigasi Risiko
Lantas, bagaimana melakukan mitigasi risiko terhadap aneka investasi bodong
yang berselimut investasi emas atau syariah supaya laris manis? Pertama,
menyatukan izin operasional. Selama ini, izin investasi dapat diterbitkan
oleh berbagai instansi. Katakanlah, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam- LK) yang sudah melebur ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
efektif 1 Januari 2013,
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan instansi
lainnya. Oleh karena itu, kini sudah saatnya menyatukan penerbitan izin
operasional menjadi satu atap. Sudah seharusnya semua izin investasi apa
pun bentuknya menjadikewenanganOJKuntuk menerbitkannya. Penyatuan izin
operasional itu bertujuan untuk memudahkan pengawasan lebih lanjut.
Mengapa harus OJK? Karena salah satu fungsi utama OJK adalah melakukan
pengawasan dan sekaligus menekan serendah mungkin tindak kriminal yang
bersifat keuangan (financial crime). Kedua, memperkukuh pengawasan. Tentu
saja hal ini menjadi tantangan berat bagi OJK untuk lebih memperkuat fungsi
pengawasan ke depan. Mengapa demikian?
Karena penipuan berkedok investasi manis itu bagai maling di siang bolong
yang menyaru sebagai orang baik-baik, sehingga (calon) investor tidak cukup
waspada. Pertanyaan lanjutannya, mengapa investasi imitasi terus bernyanyi
dengan lagu-lagu nan merdu sehingga mampu meninabobokan (calon) investor
hijau alias junior dalam pengalaman dan bahkan investor senior?
Salah satu alasannya karena masyarakat kita (investor) tidak mau banyak
belajar. Tetapi maunya hanya mereguk madu alias profit setinggi langit
tanpa memikirkan racun alias potensi risiko. Bahkan mereka lupa rumus bahwa
imbal hasil tinggi pasti pula menyimpan risiko tinggi (high risk high return). Kementerian Koperasi dan UKM pun sudah
sepatutnya terus semakin membuka telinga lebar-lebar dan mempertajam daya
penciuman, agar mampu mencium aneka potensi risiko dari investasi yang
bertopi koperasi.
Ingat bahwa koperasi simpan pinjam dapat menghimpun dana masyarakat. Banyak
koperasi di Kalimantan sudah sanggup menjadi sokoguru ekonomi rakyat di
sana dan bahkan mampu menghimpun dana pihak ketiga triliunan. Aktivitas
koperasi yang begitu tinggi dengan syarat pinjaman yang relatif lebih mudah
menjadi pesaing berat bagi bank nasional dengan syarat pinjaman yang
rumit.
Sungguh ini menjadi tantangan tersendiri bagi bank nasional dalam
menjalankan program inklusi keuangan (financial inclusion). Agaknya
pemerintah menyadari keterbatasan bank nasional dalam mendorong masyarakat
luas untuk menikmati layanan operasional perbankan. Oleh karena itu,
inklusi keuangan juga diupayakan untuk dapat dilakukan oleh koperasi dan
lembaga keuangan mikro (LKM).
Untuk lebih mendorong LKM supaya makin maju dan berkembang, pemerintah
telah mengajukan rancangan undangundang (RUU) LKM yang sudah disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro. Ketiga, edukasi publik. Data menunjukkan bahwa anggota
koperasi naik 20,68% dari 24.135.868 orang pada 1993 menjadi 29.124.067
orang pada 2010. Hal itu menegaskan bahwa koperasi memiliki potensi tinggi
untuk menjadi ujung tombak inklusi keuangan.
Namun, jangan melupakan untuk melakukan edukasi publik. Sejatinya, edukasi
publik menjadi kunci untuk mitigasi risiko investasi bodong. Lalu siapa
yang layak untuk memberikan edukasi publik? Bank Indonesia (BI), OJK,
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Kementerian Koperasi dan UKM serta
perhimpunan bank nasional (Perbanas, Himbara, Asbanda, Perbarindo) dituntut
untuk melaksanakan edukasi publik.
Publik sebagai calon nasabah atau investor wajib dibekali dengan
pengetahuan praktis mengenai seluk-beluk investasi dalam aneka bidang
seperti koperasi simpan pinjam, emas, syariah, perdagangan saham, arisan
berantai. Selain itu, publik pun patut dibekali dengan manajemen risiko
kredit, risiko pasar, risiko likuiditas dan risiko operasional perbankan
dan nonperbankan secara sederhana.
Dengan demikian, publik sebelum melakukan investasi sudah lebih dahulu
mengerti dan memahami potensi risiko yang bakal dihadapi. Dengan bahasa
lebih bening, publik tidak hanya mempertimbangkan madu alias manfaat
investasi yang selalu tampak menarik. Sesungguhnya, investasi itu bagaikan
sebuah koin yang bermuka dua yakni madu dan racun.
Nah, untuk itu, publik sebagai (calon) nasabah atau investor wajib
menguasai dua muka sekaligus. Ini mutlak. Alhasil, penipuan bertopeng
investasi emas, syariah atau komoditas cantik lainnya dapat ditekan
sedemikian rupa. Investor pun bakal meraih keuntungan yang legit bukan
justru buntung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar