Selasa, 19 Maret 2013

Mitigasi Risiko Investasi Bodong


Mitigasi Risiko Investasi Bodong
Paul Sutaryono ;  Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI & 
Anggota Pengurus Yayasan Bina Swadaya
   
KORAN SINDO, 19 Maret 2013
  

Investasi bodong bagai arus banjir ibukota yang sulit dibendung. Setelah kasus Koperasi Langit Biru yang mencuat di permukaan pada akhir Juli 2012, kini meledak kasus penipuan dengan investasi emas oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS).
Investasi bodong bagai arus banjir ibukota yang sulit dibendung. Setelah kasus Koperasi Langit Biru yang mencuat di permukaan pada akhir Juli 2012, kini meledak kasus penipuan dengan investasi emas oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS).

Bagaimana melakukan mitigasi risiko investasi bodong? Penipuan demi penipuan berkedok investasi amat manis seolah tiada putus. Coba tengok ke belakang sejenak. Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), investasi keuangan dengan kerugian Rp800 miliar pada 2002, Adess Sumber Hidup Dinamika (investasi peternakan itik, Rp200 miliar, 2003), Medical (multilevel marketing/MLM, Rp50 miliar, 2004),

Berlian Artha Sejahtera (arisan berantai, Rp200 miliar, 2005), Futurista International Paradana (MLM, puluhan miliar rupiah, 2005), Platinum Invesment (valas, Rp500 miliar, 2005), Interbanking Bisnis Terencana (penyertaan modal, Rp42 miliar, 2006), Mitra Wira Usaha Mandiri (MLM, puluhan miliar rupiah, 2006), Java Lintas Niaga (MLM, Rp70 miliar, 2006), Wahyu Sejahtera Mandiri (MLM, Rp30 miliar, 2006). Disusul Wahana Bersama Globalindo (WBG) (valas, Rp3,5 triliun, 2007),

Gama Smart Karya Utama (valas, Rp12 triliun, 2007), Sarana Perdana Indoglobal (valas, Rp2,1 triliun, 2007), PT Gradasi Anak Negeri (MLM, Rp390 miliar, 2012), Koperasi Langit Biru (bisnis daging, Rp6 triliun, 2012) dan PT Gemilang Reksa Jaya (MLM, ratusan miliar rupiah, 2012) (Harian Kontan, 25 Juli 2012). Pertanyaan nakalnya, mengapa penipuan model investasi semacam itu begitu menarik sehingga laku keras? Sudah barang tentu karena tawarannya begitu gurih melebihi madu asli.

Bagaimana kiatnya? GTIS membuat tawaran sedemikian rupa sehingga menawan hati calon investor dengan imbal hasil (yield) minimal 2% per bulan atau 24% per tahun. Bagaimana tidak menarik? Imbal hasil tersebut jauh lebih tinggi daripada suku bunga deposito bank yang saat ini hanya sekitar 4–5% per tahun. Tawaran semacam inilah yang membuat calon investor mabuk kepayang untuk langsung menanamkan modal sekian puluh atau ratus juta atau bahkan miliar dalam investasi. Hebatnya lagi, investasi abal-abal itu terkadang berkedok koperasi.

Mitigasi Risiko 

Lantas, bagaimana melakukan mitigasi risiko terhadap aneka investasi bodong yang berselimut investasi emas atau syariah supaya laris manis? Pertama, menyatukan izin operasional. Selama ini, izin investasi dapat diterbitkan oleh berbagai instansi. Katakanlah, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam- LK) yang sudah melebur ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) efektif 1 Januari 2013,

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan instansi lainnya. Oleh karena itu, kini sudah saatnya menyatukan penerbitan izin operasional menjadi satu atap. Sudah seharusnya semua izin investasi apa pun bentuknya menjadikewenanganOJKuntuk menerbitkannya. Penyatuan izin operasional itu bertujuan untuk memudahkan pengawasan lebih lanjut.

Mengapa harus OJK? Karena salah satu fungsi utama OJK adalah melakukan pengawasan dan sekaligus menekan serendah mungkin tindak kriminal yang bersifat keuangan (financial crime). Kedua, memperkukuh pengawasan. Tentu saja hal ini menjadi tantangan berat bagi OJK untuk lebih memperkuat fungsi pengawasan ke depan. Mengapa demikian?

Karena penipuan berkedok investasi manis itu bagai maling di siang bolong yang menyaru sebagai orang baik-baik, sehingga (calon) investor tidak cukup waspada. Pertanyaan lanjutannya, mengapa investasi imitasi terus bernyanyi dengan lagu-lagu nan merdu sehingga mampu meninabobokan (calon) investor hijau alias junior dalam pengalaman dan bahkan investor senior?

Salah satu alasannya karena masyarakat kita (investor) tidak mau banyak belajar. Tetapi maunya hanya mereguk madu alias profit setinggi langit tanpa memikirkan racun alias potensi risiko. Bahkan mereka lupa rumus bahwa imbal hasil tinggi pasti pula menyimpan risiko tinggi (high risk high return). Kementerian Koperasi dan UKM pun sudah sepatutnya terus semakin membuka telinga lebar-lebar dan mempertajam daya penciuman, agar mampu mencium aneka potensi risiko dari investasi yang bertopi koperasi.

Ingat bahwa koperasi simpan pinjam dapat menghimpun dana masyarakat. Banyak koperasi di Kalimantan sudah sanggup menjadi sokoguru ekonomi rakyat di sana dan bahkan mampu menghimpun dana pihak ketiga triliunan. Aktivitas koperasi yang begitu tinggi dengan syarat pinjaman yang relatif lebih mudah menjadi pesaing berat bagi bank nasional dengan syarat pinjaman yang rumit.

Sungguh ini menjadi tantangan tersendiri bagi bank nasional dalam menjalankan program inklusi keuangan (financial inclusion). Agaknya pemerintah menyadari keterbatasan bank nasional dalam mendorong masyarakat luas untuk menikmati layanan operasional perbankan. Oleh karena itu, inklusi keuangan juga diupayakan untuk dapat dilakukan oleh koperasi dan lembaga keuangan mikro (LKM).

Untuk lebih mendorong LKM supaya makin maju dan berkembang, pemerintah telah mengajukan rancangan undangundang (RUU) LKM yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Ketiga, edukasi publik. Data menunjukkan bahwa anggota koperasi naik 20,68% dari 24.135.868 orang pada 1993 menjadi 29.124.067 orang pada 2010. Hal itu menegaskan bahwa koperasi memiliki potensi tinggi untuk menjadi ujung tombak inklusi keuangan.

Namun, jangan melupakan untuk melakukan edukasi publik. Sejatinya, edukasi publik menjadi kunci untuk mitigasi risiko investasi bodong. Lalu siapa yang layak untuk memberikan edukasi publik? Bank Indonesia (BI), OJK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Kementerian Koperasi dan UKM serta perhimpunan bank nasional (Perbanas, Himbara, Asbanda, Perbarindo) dituntut untuk melaksanakan edukasi publik.

Publik sebagai calon nasabah atau investor wajib dibekali dengan pengetahuan praktis mengenai seluk-beluk investasi dalam aneka bidang seperti koperasi simpan pinjam, emas, syariah, perdagangan saham, arisan berantai. Selain itu, publik pun patut dibekali dengan manajemen risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas dan risiko operasional perbankan dan nonperbankan secara sederhana.

Dengan demikian, publik sebelum melakukan investasi sudah lebih dahulu mengerti dan memahami potensi risiko yang bakal dihadapi. Dengan bahasa lebih bening, publik tidak hanya mempertimbangkan madu alias manfaat investasi yang selalu tampak menarik. Sesungguhnya, investasi itu bagaikan sebuah koin yang bermuka dua yakni madu dan racun.

Nah, untuk itu, publik sebagai (calon) nasabah atau investor wajib menguasai dua muka sekaligus. Ini mutlak. Alhasil, penipuan bertopeng investasi emas, syariah atau komoditas cantik lainnya dapat ditekan sedemikian rupa. Investor pun bakal meraih keuntungan yang legit bukan justru buntung. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar