SEPERTINYA kian bertambah saja masyarakat yang tak
percaya kepada politisi dan organisasi politik. Bagi sebagian besar
masyarakat yang apatis terhadap politik itu menganggap politisi acap kali
membohongi diri sendiri. Janji mereka tulus, tapi kebohongan mereka lebih
tulus lagi.
Dalam politik, biasanya kaidah pertama bagi politisi ialah memperoleh
kekuasaan. Kaidah kedua ialah mempertahankan kekuasaan. Namun, dalam
perjalanannya, kekuasaan membuat sebagian politisi di negeri ini terbuai
dan goyah di tengah jalan ketika meraih kekuasaan atau tatkala berada dalam
sebuah kekuasaan.
Kegoyahan tersebut salah satunya akibat terjebak dalam polah politik
transaksional, kultur politik uang, dan politik konsumtif. Tak
mengherankan, politisi yang ingin menjadi calon anggota legislatif tak
cukup punya modal duit hanya ‘sedompet’. Selain itu, korupsi yang melibatkan
pimpinan partai atau kader sebuah partai politik (parpol), pelan tapi
pasti, akan diprediksi sulit mendapatkan simpati publik.
Ada beberapa definisi politik yang meningkatkan apatisme publik
terhadap politisi. Dalam paparan JA Barnes (2005:66) mendefinisikan politik
sebagai seni mengatur manusia dengan cara menipu dan seni meyakinkan
orangorang dengan kebohongan baik demi tujuan baik. Namun, tetap saja itu
bernama kebohongan. Bohong selalu dianggap sebagai sarana yang harus dan
bisa diterima, bukan hanya bagi politisi atau demagog, melainkan juga oleh
negarawan.
Nah, ihwal kategori politisi, Heinz Eulau (1987:342) mengemukakan ada
empat jenis kepribadian politisi, yaitu ritualis, tribunalis, inventor, dan
broker. Politisi ritualis menaruh perhatian pada kesopanan dan protokol.
Politisi itu berusaha memasukkan semua pesan yang relevan ke dalam
kategori-kategori yang dibakukan dan diterima. Politisi tribunalis
menganggap dirinya wakil dari ‘forum rakyat’. Ide-ide tribunalis biasanya
mendekati kebutuhan rakyat jelata. Ia merupakan ahli dalam menemukan
tanggapan rakyat jelata. Itu termasuk peran seorang populis.
Politisi inventor memandang dirinya sebagai seorang pemrakarsa
kebijaksanaan, yakni seseorang yang ‘membayangkan’, mencari rumusan, dan
strategi-strategi baru. Adapun politisi broker
merupakan perantara klasik yang menyeimbangkan semua pokok pandangan,
membuat transaksi, dan selalu seolah tampak netral.
Masalahnya, politik Indonesia saat ini masih dalam perspektif yang
mengidentikkan kegiatan politik sebagai privilese sekelompok orang.
Pengkastaan politik di tengah-tengah masyarakat yang hanya satu kelompok atau
satu kasta yang berhak memegang kekuasaan politik, misalnya penguasaan
terhadap parpol.
Monopoli politisi yang memiliki perspektif politik seperti itu
dikenal sebagai perspektif politik paling tua dalam sejarah, meski paling
tua sampai sekarang masih ada. Akibatnya praktik demokrasi di negeri ini
tampak semu. Ketika becermin kelihatan seperti demokratis, tetapi
kenyataannya oligarki di tubuh parpol masih cukup kuat.
Membangkitkan Optimisme
Ahmad Syafii Maarif (2004:175) pernah mengingatkan, tugas utama kita
adalah mempercepat proses pencerdasan otak dan pencerahan hati seluruh
masyarakat agar tak lagi menjadi mangsa retorika politik yang meninabobokan.
Artinya, kebaikan publik dalam berpolitik seharusnya menjadi
panglima, bukan hanya retorika yang menyejukkan hati. Keberadaan politisi
berguna untuk menjalankan roda pemerintahan agar tidak berjalan di tempat
dan kesejahteraan rakyat kian meningkat.
Sebenarnya, tak sulit menemukan keberadaan politisi yang baik di
negeri ini.
Seolah kian melulu kelihatan dusta politisi yang tersiar di berbagai media.
Akibatnya setiap tahun berganti, tapi berita tentang silat lidah politisi
tak kunjung berhenti mewarnai kehidupan seharihari.
Semestinya, kerja politisi berjuang untuk kebaikan publik. Namun,
kini terkesan merusak kepercayaan publik. Meski wacana kebajikan politik
dan kebajikan publik sudah berserak di berbagai literatur ilmu politik.
Karena itulah, kebajikan publik yang otentik dari politisi masih kita cari.
Silat lidah poli tisi dalam kebangkrutan logika masih sering ter baca dan
terdengar di berbagai media. Seolah sudah tak percaya lagi dengan
kebenaran, bahkan mengakui kesalahan saja sangatlah susah.
Kini, harapan terletak ke pada politisi baru. Angkatan baru politisi
Indonesia itu tersebar di berbagai parpol. Diharapkan, mereka dapat menjadi
penggerak yang membikin politik di republik ini kian beradab.
Kekuatan kolektif politisi baru itu hendaknya mampu
mengisi ruang sunyi kepemimpinan politik di negeri ini. Tak terjerembab
korupsi politik dan tak terhanyut dalam arena dinasti politik. Yang
penting, politisi baru Indonesia itu sadar bahwa harum aroma kekuasaan hanya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, yaitu membawa tujuan politiknya
yang terbaik bagi rakyat, bukan malah `dilaknat' rakyat. Wallahu'alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar