Kamis, 07 Maret 2013

Menyoal Apatisme Publik terhadap Politisi


Menyoal Apatisme Publik terhadap Politisi
David Krisna Alka  ;  Analis Politik Populis Institute,
Peneliti Ma'arif Institute for Culture and Humanity
MEDIA INDONESIA, 07 Maret 2013


SEPERTINYA kian bertambah saja masyarakat yang tak percaya kepada politisi dan organisasi politik. Bagi sebagian besar masyarakat yang apatis terhadap politik itu menganggap politisi acap kali membohongi diri sendiri. Janji mereka tulus, tapi kebohongan mereka lebih tulus lagi.

Dalam politik, biasanya kaidah pertama bagi politisi ialah memperoleh kekuasaan. Kaidah kedua ialah mempertahankan kekuasaan. Namun, dalam perjalanannya, kekuasaan membuat sebagian politisi di negeri ini terbuai dan goyah di tengah jalan ketika meraih kekuasaan atau tatkala berada dalam sebuah kekuasaan.

Kegoyahan tersebut salah satunya akibat terjebak dalam polah politik transaksional, kultur politik uang, dan politik konsumtif. Tak mengherankan, politisi yang ingin menjadi calon anggota legislatif tak cukup punya modal duit hanya ‘sedompet’. Selain itu, korupsi yang melibatkan pimpinan partai atau kader sebuah partai politik (parpol), pelan tapi pasti, akan diprediksi sulit mendapatkan simpati publik.

Ada beberapa definisi politik yang meningkatkan apatisme publik terhadap politisi. Dalam paparan JA Barnes (2005:66) mendefinisikan politik sebagai seni mengatur manusia dengan cara menipu dan seni meyakinkan orangorang dengan kebohongan baik demi tujuan baik. Namun, tetap saja itu bernama kebohongan. Bohong selalu dianggap sebagai sarana yang harus dan bisa diterima, bukan hanya bagi politisi atau demagog, melainkan juga oleh negarawan.

Nah, ihwal kategori politisi, Heinz Eulau (1987:342) mengemukakan ada empat jenis kepribadian politisi, yaitu ritualis, tribunalis, inventor, dan broker. Politisi ritualis menaruh perhatian pada kesopanan dan protokol. Politisi itu berusaha memasukkan semua pesan yang relevan ke dalam kategori-kategori yang dibakukan dan diterima. Politisi tribunalis menganggap dirinya wakil dari ‘forum rakyat’. Ide-ide tribunalis biasanya mendekati kebutuhan rakyat jelata. Ia merupakan ahli dalam menemukan tanggapan rakyat jelata. Itu termasuk peran seorang populis.

Politisi inventor memandang dirinya sebagai seorang pemrakarsa kebijaksanaan, yakni seseorang yang ‘membayangkan’, mencari rumusan, dan strategi-strategi baru. Adapun politisi broker merupakan perantara klasik yang menyeimbangkan semua pokok pandangan, membuat transaksi, dan selalu seolah tampak netral.

Masalahnya, politik Indonesia saat ini masih dalam perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai privilese sekelompok orang.
Pengkastaan politik di tengah-tengah masyarakat yang hanya satu kelompok atau satu kasta yang berhak memegang kekuasaan politik, misalnya penguasaan terhadap parpol.

Monopoli politisi yang memiliki perspektif politik seperti itu dikenal sebagai perspektif politik paling tua dalam sejarah, meski paling tua sampai sekarang masih ada. Akibatnya praktik demokrasi di negeri ini tampak semu. Ketika becermin kelihatan seperti demokratis, tetapi kenyataannya oligarki di tubuh parpol masih cukup kuat.

Membangkitkan Optimisme

Ahmad Syafii Maarif (2004:175) pernah mengingatkan, tugas utama kita adalah mempercepat proses pencerdasan otak dan pencerahan hati seluruh masyarakat agar tak lagi menjadi mangsa retorika politik yang meninabobokan.

Artinya, kebaikan publik dalam berpolitik seharusnya menjadi panglima, bukan hanya retorika yang menyejukkan hati. Keberadaan politisi berguna untuk menjalankan roda pemerintahan agar tidak berjalan di tempat dan kesejahteraan rakyat kian meningkat.
Sebenarnya, tak sulit menemukan keberadaan politisi yang baik di negeri ini.
Seolah kian melulu kelihatan dusta politisi yang tersiar di berbagai media. Akibatnya setiap tahun berganti, tapi berita tentang silat lidah politisi tak kunjung berhenti mewarnai kehidupan seharihari.
Semestinya, kerja politisi berjuang untuk kebaikan publik. Namun, kini terkesan merusak kepercayaan publik. Meski wacana kebajikan politik dan kebajikan publik sudah berserak di berbagai literatur ilmu politik. Karena itulah, kebajikan publik yang otentik dari politisi masih kita cari. Silat lidah poli tisi dalam kebangkrutan logika masih sering ter baca dan terdengar di berbagai media. Seolah sudah tak percaya lagi dengan kebenaran, bahkan mengakui kesalahan saja sangatlah susah.

Kini, harapan terletak ke pada politisi baru. Angkatan baru politisi Indonesia itu tersebar di berbagai parpol. Diharapkan, mereka dapat menjadi penggerak yang membikin politik di republik ini kian beradab.

Kekuatan kolektif politisi baru itu hendaknya mampu mengisi ruang sunyi kepemimpinan politik di negeri ini. Tak terjerembab korupsi politik dan tak terhanyut dalam arena dinasti politik. Yang penting, politisi baru Indonesia itu sadar bahwa harum aroma kekuasaan hanya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, yaitu membawa tujuan politiknya yang terbaik bagi rakyat, bukan malah `dilaknat' rakyat. Wallahu'alam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar