TIDAK bisa dimungkiri, guru
mempunyai peran khusus di sekolah. Guru berperan mengajar sambil mendidik
atau olehnya pendidikan dilakukan melalui pengajaran. Pengakuan itu
diperkuat saat pelaksanaan usaha pengembangan atau perubahan kurikulum;
sudah seyogianya pengembangan kurikulum senantiasa memperhitungkan
keberadaan dan peran guru. Pengalaman masa lalu yang masih dengan mudah
diingat menjelaskan hal itu. Sewaktu kurikulum 2004 yang disebut kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) diresmikan, sangat kentara bahwa guru mendambakan
ataupun diharapkan berperan aktif dalam mengembangkannya untuk menjawab
kebutuhan peserta didik.
Lantas sebagai jawaban untuk memberdayakan
guru, muncullah kurikulum 2006 yang dinamai kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP). Kurikulum itu sangat istimewa, yakni memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada guru untuk mengembangkannya sesuai dengan
kekhasan dan kebutuhan sekolah masing-masing. Kurikulum 2006 sangat
menantang guru yang, bagaimanapun, harus dan bersedia belajar untuk
mengembangkannya. Maka tak jarang terdengar cemoohan (semoga tidak dari
pemerintah dalam hal ini Kemendikbud) `dulu minta berperan, sekarang
sesudah diberi kesempatan ternyata tidak becus'.
Dugaan kuat muncul, kurikulum 2013
merupakan jawaban atas tuduhan ketidakbecusan guru dalam mengelaborasi kurikulum
bagi sekolah masing-masing. Guru dinilai gagal memanfaatkan KTSP. Guru
diperdaya.
Perubahan
Bukan Demi Perubahan
Atas diskurus perihal kuri kulum 2013,
beberapa guru besar dengan semangat menyatakan pendapat mereka bahwa
perubahan kurikulum diperlukan. Ya, itu semua bisa dimengerti dan memang
sebaiknya demikian. Setuju bahwa pendidikan mesti mengedepankan hasrat
untuk berubah bila mau berkembang maju. Namun, dalam kasus kurikulum 2013,
tidak atau belum tampak ada tanda-tanda kurikulum yang akan diberlakukan
itu akan membawa kemajuan atau menjawab kebutuhan peserta didik.
Yang lebih menonjol ialah kesan kuat bahwa
ketergesaan dan pemaksaan lebih dikedepankan Kemendikbud dan jajaran
mereka. Contohnya, bukankah hingga saat ini tidak didapatkan sebuah telaah
akademik-evaluatif atas kurikulum yang lama? Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila di antara para pemerhati pendidikan yang kritis atas
kurikulum 2013, muncul pendapat yang terjadi ialah perubahan demi
perubahan. Pokoknya berubah!
Itu jauh dari kultur akademik
yang semestinya mengedepankan hasrat dan kesediaan untuk cermat dalam
menata perubahan termasuk memperhitungkan catatancatatan kritis.
Sosialisasi kurikulum 2013 dan Rembuk Nasional 11 Februari 2013 (yang sama
sekali tidak ada rem buknya, yang berarti tanpa dialog secara terbuka dan
mendalam) yang digelar pun tidak menampakkan makna partisipatif-kritis;
lagi-lagi disampaikan sebuah penegasan yang bernada pemaksaan diri bahwa
pelaksanaan kuriku lum 2013 harus terjadi, jangan ditunda-tunda, demikian
pesan Wapres Boediono.
Kebijakan akademik dikemas dengan jargon
`dilaksanakan secara bertahap' (untuk menepis suara sumbang?) yang
sebenarnya untuk menandaskan lagi bahwa pokoknya kurikulum 2013 harus dilaksanakan.
Respons yang pas atas pelbagai catatan
kritis terhadap perubahan kurikulum semestinya diupayakan untuk memperjelas
perubahan dilakukan bukan demi perubahan, melainkan perbaikan yang terarah
jelas. Apalagi respons dari pejabat Kemendikbud yang menyiratkan
ketidakbijakan; sekadar contoh, keputusan MK dalam judicial review untuk memberhentikan RSBI/SBI
ditanggapi dengan ungkapan yang kurang lebih berbunyi `kerepotan muncul
lagi'.
Atas kritikan atau kekhawatiran terhadap
kurikulum 2013 ditepis dengan `jangan khawatir, semuanya sudah disiapkan,
tidak usah repot-repot, guru tinggal melaksanakan saja'. Apa yang
sesungguhnya mau disampaikan?
Manakah respons yang pedagogis? Respons yang tidak pas akan menambah kesan
kuat bahwa perubahan dilakukan demi perubahan.
Untuk
Apa Memperdaya Guru?
Sekolah adalah lembaga pendidikan. Artinya,
yang paling berperan di dalamnya para pendidik atau guru. Mereka ialah
pribadi-pribadi yang terpanggil untuk mengajar sambil mendidik. Oleh karena
itu, maju-mundurnya mutu peserta didik ditentukan guru. Jadi, gurulah yang
berperan di garis paling depan untuk melaksanakan apa saja di sekolah demi
perkembangan peserta didik.
Nah, berkaitan dengan kurikulum 2013 yang
diharuskan berlaku mulai Juli 2013, di manakah peran guru? Bagaimana guru
bisa berperan aktif untuk menjalankan kurikulum, yang sama sekali tidak
diketahui asal-usulnya, dan apalagi dengan sebutan penyempurnaan dari
kurikulum sebelumnya, serta diminta untuk menjalankan begitu saja? Guru
ialah pribadi yang semestinya diundang atau diajak berperan aktif alias
berpikir dan bertanggung jawab untuk mewujudkan proses pencerdasan.
Guru adalah pribadi yang berharkat, punya
passion dan akal budi untuk berperan aktif agar berkembang. Guru bukan
sekadar tukang atau pesuruh untuk mengajar dan mendidik, terlebih atas
dasar apa yang tidak dimengerti dan atau diyakininya; demikian pula halnya
terhadap master-teacher yang akan
diciptakan demi keharusan pemberlakuan kurikulum 2013. Jadi, semestinya
gurulah yang harus diberdayakan demi terselenggaranya proses
mengajar-belajar (teaching-learning)
yang bermutu; itulah yang paling utama harus diusahakan Kemendikbud.
Tanpa bermaksud menggerogoti
harapan penanggung jawab pendidikan nasional, yang akan terjadi ialah guru
akan menjalankan kurikulum baru 2013 dengan begitu saja, sekadar mengikuti
petunjuk atau arahan, ABS; tanpa passion, tidak ada pilihan lain. Secara
tidak langsung, yang dihidupkan adalah roh sekadar untuk menuruti atau
mengikuti petunjuk demi terlaksananya kurikulum 2013. Roh itulah yang
bergentayangan selama berlangsungnya proses pembuatan kurikulum yang baru
itu.
Tampaknya, tidaklah salah
sebut bahwa yang sedang dan akan berlangsung ialah proses pemerdayaan,
bukan pemberdayaan guru. Maka, bila nanti tidak terjadi perbaikan mutu peserta
didik, jangan salahkan guru! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar