Jumat, 08 Maret 2013

Indonesia di Ambang Kiamat Telekomunikasi


Indonesia di Ambang Kiamat Telekomunikasi
Willy Sakareza  ;  Mahasiswa Masters ICT in Business, Leiden University, Belanda dan Penerima Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
DETIKNEWS, 06 Maret 2013


Memulai tahun 2013, suasana mendung dan awan gelap tidak hanya menyertai Jakarta dan sekitarnya. Industri telekomunikasi bernilai ratusan triliunan pun sedang dinaungi cuaca buruk, yang disertai geledek menyambar. Ilustrasi geledek ini rasanya tepat untuk menggambarkan aksi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap dua perusahaan telekomunikasi besar di Indonesia, Indosat dan anak usahanya, Indosat Mega Media (IM2). 

Terhitung tanggal 3 Januari 2013, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan bernomor Print : 01/F.2/Fd.1/01/2013 dan Print : 02/F.2/Fd.1/01/2013 untuk melanjutkan pengusutan dugaan kasus korupsi kerjasama penggunaan frekuensi seluler, yang diselenggarakan oleh Indosat dan IM2. Berkenaan status pengusutan dugaan korupsi menjadi penyidikan, otomatis Kejaksaan Agung mengenakan status tersangka terhadap Indosat dan IM2 secara korporasi. 

Frekuensi seluler yang dimaksud adalah frekuensi 2.1 GHz. Frekuensi ini digunakan untuk implementasi komunikasi data generasi ketiga atau akrab disebut 3G. Komunikasi data yang menggunakan jaringan dan teknologi 3G ini menawarkan kecepatan akses tinggi. 

Pengenaan status tersangka ini semakin mengejutkan para pemerhati telekomunikasi Indonesia. Tentu saja, Indosat dan IM2 seperti tersambar geledek mendengar informasi tersebut. Status tersangka untuk korporasi Indosat dan IM2 seakan menemani status tersangka yang dikenakan Kejaksaan Agung kepada mantan Direktur Utama Indosat, Johnny Swandi Sjam dan mantan Direktur Utama IM2, Indar Atmanto. Kejaksaan Agung mengeluarkan status tersangka terhadap Indar Atmanto sesuai Surat Perintah Penyidikan bernomor Print : 04/F.2/Fd.1/01/2012 dan sejak tanggal 5 Desember 2012 berkasnya dinyatakan lengkap atau P 21 untuk dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta dengan nomor berkas B-67/F.3/Ft.1/12/2012. Pada tanggal 19 Desember 2012, Indar didampingi pengacaranya hadir dalam pemeriksaan Kejaksaan Agung. Sehingga sejak tanggal 19 Desember 2012 ini, status hukum Indar Atmanto telah berubah menjadi terdakwa dan dikenakan tindakan hukum berupa Penahanan Kota hingga 7 Januari 2013. Sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta untuk Indar pun sudah dilaksanakan pada hari Senin 14 Januari 2013. Sedangkah untuk Johnny Swandi Sjam, Kejaksaan Agung mengenakan status tersangka terhitung sejak tanggal 30 November 2012 melalui Surat Perintah Penyidikan bernomor Print : 191/F.2/Fd.1/11/2012. 

Tidak hanya kalangan pemerhati dan industri telekomunikasi saja yang terkejut dengan aksi Kejaksaan Agung ini. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI yang merupakan perumus utama regulasi telekomunikasi, tidak kalah terkejutnya. Melalui Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika, Gatot S. Dewa Broto, menyebutkan bahwa Indosat dan IM2 sama sekali tidak melanggar Undang-Undang Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999. Dengan kata lain, proses kerjasama yang dilakukan tidak melanggar undang-undang. Namun, pihak Kementerian tetap menghormati langkah-langkah hukum yang diambil oleh Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung tetap bersikukuh bahwa Indosat dan IM2 melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kerugian negara Kejaksaan Agung anggap disebabkan oleh kedua perusahaan ini mencapai Rp 1,35 triliun seperti hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan RI. Walau kemudian Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada akhirnya memutuskan untuk menangguhkan keputusan audit BPKP tersebut. 

Perang Regulasi 

Kisruh regulasi ini diawali dengan laporan LSM Konsumen Telekomunikasi Indonesia, yang diketuai oleh Denny AK kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Barat tanggal 6 Oktober 2011. Denny melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Indosat dan IM2 mengenai penyalahgunaan jaringan bergerak seluler pita frekuensi radio 3G sejak 24 November 2006. Ironisnya, Denny AK saat ini mendekam di penjara karena dinilai terbukti melakukan tindakan pemerasan sebesar 30 Milyar Rupiah terhadap Indosat. Putusan hukum terhadap Denny disahkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 30 Oktober 2012. 

Dikarenakan dugaan pelanggaran hukum Indosat dan IM2 tidak hanya di lingkup Jawa Barat saja, maka Kejaksaan Agung mengambil alih penyelidikan tersebut dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat seperti dikatakan oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Andhi Nirwanto. 

Ketidaksepahaman antara regulator telekomunikasi dengan penegak hukum tentu menjadi pertanyaan besar bagi pelaku dunia telekomunikasi. Sungguh aneh jika Kejaksaan Agung sebagai salah satu lembaga penegak hukum di Republik ini melakukan proses hukum pidana terhadap subjek hukum, dalam hal ini Indosat dan IM2. Mengapa begitu? Karena Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai regulator telekomunikasi telah menyampaikan pendapat melalui lisan hingga surat resmi kepada Kejaksaan Agung dengan isi menyatakan Indosat dan IM2 tidak melanggar peraturan. 

Menurut Denny, kerjasama Indosat dengan IM2 melanggar Pasal 33 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 58 Ayat 3 PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 07/PER/M./KOMINFO/2/2006. Atas dasar ini, Denny menganggap ada kerugian negara, yang dialami oleh Indonesia. Kejaksaan Agung menyambut anggapan Denny dan mengaitkannya dengan undang-undang tindak pidana korupsi. 

Jika kita kembali menyimak pernyataan resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, secara jelas Kemenkominfo menyanggah anggapan Denny tersebut. Tentu pernyataan Kemenkominfo tidak bisa dianggap angin lalu, karena pernyataan itu berasal dari regulator, sang penyusun undang- undang dan peraturan yang berlaku di bawahnya. Jika anggapan Denny yang menjadi dasar Kejaksaan Agung mengusut Indosat dan IM2 sudah dipatahkan oleh regulator, kenapa Kejaksaan Agung tetap ngotot menyidik kasus ini? 

Dampak Kepada Bisnis dan Konsumen 

Terlepas dari kisruh hukum ini, sektor bisnis telekomunikasi memang menjadi bisnis yang menggiurkan. Mau bukti? Menurut Laporan Kinerja Keuangan PT. Telkom tahun 2011, BUMN Telekomunikasi ini mencatatkan pendapatan Rp 71,3 triliun. Di pihak swasta, menurut Laporan Tahunan Perusahaan, Indosat mencatatkan pendapatan di tahun 2011 sebesar Rp 20,57 triliun dan XL Axiata menorehkan pendapatan Rp 18,92 triliun. Gabungan pendapatan tiga perusahaan ini saja sudah melebihi angka Rp 100 triliun dan itu belum dihitung pendapatan perusahaan-perusahaan telekomunikasi lainnya. 

Tidak hanya sektor usaha telekomunikasi saja yang mendapatkan gurihnya bisnis telekomunikasi. Pemerintah Indonesia pun mendapatkan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP dari sektor telekomunikasi hingga belasan triliun rupiah. Pada tahun 2009, PNBP Kementerian Komunikasi dan Informatika mencapai Rp 10,5 triliun. Tahun 2010 tercatat PNBP sebesar Rp 12,8 triliun dan pada tahun 2011, pemerintah Indonesia menerima pemasukan sebesar Rp 11 triliun. Dengan besarnya PNBP di tiga tahun tersebut dan semakin bergairahnya bisnis telekomunikasi di Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring meyakini bahwa tahun 2012, Indonesia menerima PNBP sebesar Rp 14 triliun. Bagaimana tahun 2013? Bisa jadi semakin meningkat karena adanya lelang sisa blok frekuensi untuk komunikasi seluler di frekuensi 2.1 GHz yang akan mencapai skala triliun rupiah. 

Bagaimana dengan konsumen telekomunikasi Indonesia? Menurut data Masyarakat Telekomunikasi Indonesia atau MASTEL, di tahun 2012 lalu, penetrasi telepon seluler Indonesia mencapai statistik 85% atau lebih dari 200 juta penduduk Indonesia sudah melek telepon seluler. Untuk penetrasi internet, di tahun 2012, hanya 20% dari penduduk Indonesia yang sudah aktif menggunakan internet. Tentu saja statistik ini menjadi peluang bagi para pelaku bisnis telekomunikasi untuk semakin serius memasarkan produk komunikasi data mereka. Hal ini sangat wajar, jika mengacu penggunaan komunikasi data atau internet di Indonesia dan dunia saat ini, kurva pertumbuhan menunjukkan tren positif. 

Bahkan, menurut survei International Telecommunication Union (ITU), setiap peningkatan penetrasi internet sebesar 10% saja akan berdampak terhadap penerimaan domestik bruto (PDB) di negara tersebut sebesar 1.38%. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan telekomunikasi Indonesia di tahun 2012 menyumbangkan kontribusi terhadap penerimaan domestik bruto sebesar 3.2% ! 

Sehingga, penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap Indosat dan IM2 memiliki pengaruh tidak kecil terhadap bisnis telekomunikasi, pertumbuhan penggunaan telekomunikasi oleh penduduk Indonesia, hingga penerimaan domestik bruto Indonesia. Kalaupun Kejaksaan Agung tetap bersikukuh melanjutkan penyidikan ini dan berbuah putusan bersalah di tingkat pengadilan, demi kesetaraan hukum, Kejaksaan Agung harus mengusut setiap kerjasama yang dilakukan oleh institusi lain seperti dilakukan oleh Indosat dan IM2. Contohnya adalah kerjasama antara Bank dengan penyedia layanan telekomunikasi dalam hal penyediaan fasilitas telekomunikasi untuk anjungan tunai mandiri atau ATM. Kejaksaan Agung harus memaksa setiap bank untuk mencabut sambungan telekomunikasi itu karena ATM menggunakan teknologi satelit. Tentu saja, tidak ada bank di Indonesia yang membayar hak penggunaan frekuensi satelit ke negara. 

Contoh di atas harus dilakukan, jika kita menggunakan jalan berpikir Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus hukum dan regulasi telekomunikasi ini. Jika Kejaksaan Agung tidak mengusutnya, tentu akan jadi pertanyaan besar. Kenapa Kejaksaan Agung hanya ngotot mengusut kasus Indosat dan IM2? Bukankah di tahun 2013, Kejaksaan Agung mencanangkan prioritas dalam pengembalian dan penyelamatan aset terkait kerugian negara? Dan bagaimana sikap Kejaksaan Agung dalam memperlakukan seluruh entitas hukum di Indonesia dengan sama di mata hukum? 

Perilaku korupsi tentu saja tidak akan pernah dibenarkan oleh hukum. Rakyat Indonesia pun sangat menentang berbagai upaya korupsi dalam segala bentuknya. Sehingga, rakyat Indonesia sangat mendukung upaya-upaya penegak hukum untuk memberantas korupsi. Namun seyogianya, upaya- upaya pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara tendensius dan harus didasari oleh bukti dan fakta hukum yang baik. Pemahaman yang kuat dalam menerjemahkan regulasi tentu menjadi keharusan. Dalam hal ini, Kejaksaan Agung diharapkan dapat melangkah lebih bijak dengan mempelajari lebih lanjut regulasi telekomunikasi atau mempertimbangkan serius pendapat Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. 

Kalaupun pada akhirnya Kejaksaan Agung mengusut seluruh proses kerjasama serupa, yang dilakukan Indosat dan IM2 ini, mari kita berdoa secara khusyuk, karena Indonesia berada di ambang kiamat telekomunikasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar