Memulai tahun 2013,
suasana mendung dan awan gelap tidak hanya menyertai Jakarta dan
sekitarnya. Industri telekomunikasi bernilai ratusan triliunan pun sedang
dinaungi cuaca buruk, yang disertai geledek menyambar. Ilustrasi geledek
ini rasanya tepat untuk menggambarkan aksi pemberantasan korupsi yang
dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap dua perusahaan telekomunikasi besar
di Indonesia, Indosat dan anak usahanya, Indosat Mega Media (IM2).
Terhitung tanggal 3 Januari 2013, Kejaksaan
Agung mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan bernomor Print :
01/F.2/Fd.1/01/2013 dan Print : 02/F.2/Fd.1/01/2013 untuk melanjutkan
pengusutan dugaan kasus korupsi kerjasama penggunaan frekuensi seluler,
yang diselenggarakan oleh Indosat dan IM2. Berkenaan status pengusutan
dugaan korupsi menjadi penyidikan, otomatis Kejaksaan Agung mengenakan
status tersangka terhadap Indosat dan IM2 secara korporasi.
Frekuensi seluler yang dimaksud adalah
frekuensi 2.1 GHz. Frekuensi ini digunakan untuk implementasi komunikasi
data generasi ketiga atau akrab disebut 3G. Komunikasi data yang
menggunakan jaringan dan teknologi 3G ini menawarkan kecepatan akses
tinggi.
Pengenaan status tersangka ini semakin
mengejutkan para pemerhati telekomunikasi Indonesia. Tentu saja, Indosat
dan IM2 seperti tersambar geledek mendengar informasi tersebut. Status
tersangka untuk korporasi Indosat dan IM2 seakan menemani status tersangka
yang dikenakan Kejaksaan Agung kepada mantan Direktur Utama Indosat, Johnny
Swandi Sjam dan mantan Direktur Utama IM2, Indar Atmanto. Kejaksaan Agung
mengeluarkan status tersangka terhadap Indar Atmanto sesuai Surat Perintah
Penyidikan bernomor Print : 04/F.2/Fd.1/01/2012 dan sejak tanggal 5
Desember 2012 berkasnya dinyatakan lengkap atau P 21 untuk dilimpahkan ke
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta dengan nomor berkas
B-67/F.3/Ft.1/12/2012. Pada tanggal 19 Desember 2012, Indar didampingi
pengacaranya hadir dalam pemeriksaan Kejaksaan Agung. Sehingga sejak
tanggal 19 Desember 2012 ini, status hukum Indar Atmanto telah berubah
menjadi terdakwa dan dikenakan tindakan hukum berupa Penahanan Kota hingga
7 Januari 2013. Sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta untuk Indar
pun sudah dilaksanakan pada hari Senin 14 Januari 2013. Sedangkah untuk
Johnny Swandi Sjam, Kejaksaan Agung mengenakan status tersangka terhitung
sejak tanggal 30 November 2012 melalui Surat Perintah Penyidikan bernomor
Print : 191/F.2/Fd.1/11/2012.
Tidak hanya kalangan pemerhati dan industri
telekomunikasi saja yang terkejut dengan aksi Kejaksaan Agung ini.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI yang merupakan perumus utama
regulasi telekomunikasi, tidak kalah terkejutnya. Melalui Kepala Pusat
Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika, Gatot S. Dewa
Broto, menyebutkan bahwa Indosat dan IM2 sama sekali tidak melanggar
Undang-Undang Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999. Dengan kata lain, proses
kerjasama yang dilakukan tidak melanggar undang-undang. Namun, pihak
Kementerian tetap menghormati langkah-langkah hukum yang diambil oleh
Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung tetap bersikukuh bahwa Indosat dan IM2
melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kerugian negara Kejaksaan Agung anggap
disebabkan oleh kedua perusahaan ini mencapai Rp 1,35 triliun seperti hasil
perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan RI. Walau kemudian
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada akhirnya memutuskan untuk
menangguhkan keputusan audit BPKP tersebut.
Perang
Regulasi
Kisruh regulasi ini diawali dengan laporan
LSM Konsumen Telekomunikasi Indonesia, yang diketuai oleh Denny AK kepada
Kejaksaan Tinggi Jawa Barat tanggal 6 Oktober 2011. Denny melaporkan dugaan
korupsi yang dilakukan oleh Indosat dan IM2 mengenai penyalahgunaan
jaringan bergerak seluler pita frekuensi radio 3G sejak 24 November 2006.
Ironisnya, Denny AK saat ini mendekam di penjara karena dinilai terbukti
melakukan tindakan pemerasan sebesar 30 Milyar Rupiah terhadap Indosat.
Putusan hukum terhadap Denny disahkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada 30 Oktober 2012.
Dikarenakan dugaan pelanggaran hukum Indosat
dan IM2 tidak hanya di lingkup Jawa Barat saja, maka Kejaksaan Agung
mengambil alih penyelidikan tersebut dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat
seperti dikatakan oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Andhi Nirwanto.
Ketidaksepahaman antara regulator
telekomunikasi dengan penegak hukum tentu menjadi pertanyaan besar bagi
pelaku dunia telekomunikasi. Sungguh aneh jika Kejaksaan Agung sebagai
salah satu lembaga penegak hukum di Republik ini melakukan proses hukum
pidana terhadap subjek hukum, dalam hal ini Indosat dan IM2. Mengapa
begitu? Karena Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai regulator telekomunikasi
telah menyampaikan pendapat melalui lisan hingga surat resmi kepada
Kejaksaan Agung dengan isi menyatakan Indosat dan IM2 tidak melanggar
peraturan.
Menurut Denny, kerjasama Indosat dengan IM2
melanggar Pasal 33 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 58
Ayat 3 PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 07/PER/M./KOMINFO/2/2006.
Atas dasar ini, Denny menganggap ada kerugian negara, yang dialami oleh
Indonesia. Kejaksaan Agung menyambut anggapan Denny dan mengaitkannya
dengan undang-undang tindak pidana korupsi.
Jika kita kembali menyimak pernyataan resmi
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, secara jelas Kemenkominfo
menyanggah anggapan Denny tersebut. Tentu pernyataan Kemenkominfo tidak
bisa dianggap angin lalu, karena pernyataan itu berasal dari regulator,
sang penyusun undang- undang dan peraturan yang berlaku di bawahnya. Jika
anggapan Denny yang menjadi dasar Kejaksaan Agung mengusut Indosat dan IM2
sudah dipatahkan oleh regulator, kenapa Kejaksaan Agung tetap ngotot
menyidik kasus ini?
Dampak
Kepada Bisnis dan Konsumen
Terlepas dari kisruh hukum ini, sektor
bisnis telekomunikasi memang menjadi bisnis yang menggiurkan. Mau bukti?
Menurut Laporan Kinerja Keuangan PT. Telkom tahun 2011, BUMN Telekomunikasi
ini mencatatkan pendapatan Rp 71,3 triliun. Di pihak swasta, menurut
Laporan Tahunan Perusahaan, Indosat mencatatkan pendapatan di tahun 2011
sebesar Rp 20,57 triliun dan XL Axiata menorehkan pendapatan Rp 18,92
triliun. Gabungan pendapatan tiga perusahaan ini saja sudah melebihi angka
Rp 100 triliun dan itu belum dihitung pendapatan perusahaan-perusahaan
telekomunikasi lainnya.
Tidak hanya sektor usaha telekomunikasi saja
yang mendapatkan gurihnya bisnis telekomunikasi. Pemerintah Indonesia pun
mendapatkan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP dari sektor
telekomunikasi hingga belasan triliun rupiah. Pada tahun 2009, PNBP
Kementerian Komunikasi dan Informatika mencapai Rp 10,5 triliun. Tahun 2010
tercatat PNBP sebesar Rp 12,8 triliun dan pada tahun 2011, pemerintah
Indonesia menerima pemasukan sebesar Rp 11 triliun. Dengan besarnya PNBP di
tiga tahun tersebut dan semakin bergairahnya bisnis telekomunikasi di
Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring meyakini
bahwa tahun 2012, Indonesia menerima PNBP sebesar Rp 14 triliun. Bagaimana
tahun 2013? Bisa jadi semakin meningkat karena adanya lelang sisa blok
frekuensi untuk komunikasi seluler di frekuensi 2.1 GHz yang akan mencapai
skala triliun rupiah.
Bagaimana dengan konsumen telekomunikasi
Indonesia? Menurut data Masyarakat Telekomunikasi Indonesia atau MASTEL, di
tahun 2012 lalu, penetrasi telepon seluler Indonesia mencapai statistik 85%
atau lebih dari 200 juta penduduk Indonesia sudah melek telepon seluler.
Untuk penetrasi internet, di tahun 2012, hanya 20% dari penduduk Indonesia
yang sudah aktif menggunakan internet. Tentu saja statistik ini menjadi
peluang bagi para pelaku bisnis telekomunikasi untuk semakin serius
memasarkan produk komunikasi data mereka. Hal ini sangat wajar, jika
mengacu penggunaan komunikasi data atau internet di Indonesia dan dunia
saat ini, kurva pertumbuhan menunjukkan tren positif.
Bahkan, menurut survei International
Telecommunication Union (ITU), setiap peningkatan penetrasi internet
sebesar 10% saja akan berdampak terhadap penerimaan domestik bruto (PDB) di
negara tersebut sebesar 1.38%. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut data
Badan Pusat Statistik, pertumbuhan telekomunikasi Indonesia di tahun 2012
menyumbangkan kontribusi terhadap penerimaan domestik bruto sebesar 3.2% !
Sehingga, penyidikan yang dilakukan oleh
Kejaksaan Agung terhadap Indosat dan IM2 memiliki pengaruh tidak kecil
terhadap bisnis telekomunikasi, pertumbuhan penggunaan telekomunikasi oleh
penduduk Indonesia, hingga penerimaan domestik bruto Indonesia. Kalaupun
Kejaksaan Agung tetap bersikukuh melanjutkan penyidikan ini dan berbuah
putusan bersalah di tingkat pengadilan, demi kesetaraan hukum, Kejaksaan
Agung harus mengusut setiap kerjasama yang dilakukan oleh institusi lain
seperti dilakukan oleh Indosat dan IM2. Contohnya adalah kerjasama antara
Bank dengan penyedia layanan telekomunikasi dalam hal penyediaan fasilitas
telekomunikasi untuk anjungan tunai mandiri atau ATM. Kejaksaan Agung harus
memaksa setiap bank untuk mencabut sambungan telekomunikasi itu karena ATM
menggunakan teknologi satelit. Tentu saja, tidak ada bank di Indonesia yang
membayar hak penggunaan frekuensi satelit ke negara.
Contoh di atas harus dilakukan, jika kita
menggunakan jalan berpikir Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus hukum dan
regulasi telekomunikasi ini. Jika Kejaksaan Agung tidak mengusutnya, tentu
akan jadi pertanyaan besar. Kenapa Kejaksaan Agung hanya ngotot mengusut
kasus Indosat dan IM2? Bukankah di tahun 2013, Kejaksaan Agung mencanangkan
prioritas dalam pengembalian dan penyelamatan aset terkait kerugian negara?
Dan bagaimana sikap Kejaksaan Agung dalam memperlakukan seluruh entitas
hukum di Indonesia dengan sama di mata hukum?
Perilaku korupsi tentu saja tidak akan
pernah dibenarkan oleh hukum. Rakyat Indonesia pun sangat menentang
berbagai upaya korupsi dalam segala bentuknya. Sehingga, rakyat Indonesia
sangat mendukung upaya-upaya penegak hukum untuk memberantas korupsi. Namun
seyogianya, upaya- upaya pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara
tendensius dan harus didasari oleh bukti dan fakta hukum yang baik.
Pemahaman yang kuat dalam menerjemahkan regulasi tentu menjadi keharusan.
Dalam hal ini, Kejaksaan Agung diharapkan dapat melangkah lebih bijak
dengan mempelajari lebih lanjut regulasi telekomunikasi atau
mempertimbangkan serius pendapat Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Kalaupun pada akhirnya Kejaksaan Agung
mengusut seluruh proses kerjasama serupa, yang dilakukan Indosat dan IM2
ini, mari kita berdoa secara khusyuk, karena Indonesia berada di ambang
kiamat telekomunikasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar