Telah
menjadi informasi masyarakat bahwa saat ini terdapat sekitar Rp 5,7 triliun
tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) yang dikucurkan di masa krisis moneter
1998/1999. Pada 2012, Menteri Koperasi dan UKM melontarkan wacana bahwa
kasus tunggakan KUT akan diselesaikan secara politik.
Kita
belum tahu apa yang dimaksud oleh Menteri Koperasi dan UKM tentang bentuk
penyelesaian secara politik itu. Tetapi minimal ada tiga pihak yang
harap-harap cemas dengan keputusan politik tersebut. Pihak pertama adalah
mereka yang saat ini menunggak KUT dan tentunya mereka menginginkan ada
pemutihan atas tunggakan kredit.
Pihak
kedua adalah para debitur yang baik yang telah memenuhi kewajiban
mengembalikan kredit yang mereka ambil. Dengan alasan aspek keadilan,
mereka akan menuntut dikembalikannya kredit yang telah mereka bayarkan.
Pihak ketiga adalah orang-orang yang secara moral ikut bertanggung jawab
atas terjadinya tunggakan KUT dan berharap segera ada solusi.
Kasus
KUT menjadi isu menarik karena selama lebih dari 10 tahun tidak ada solusi
dan tetap menggantung. Dari sumber yang dapat dipercaya, tunggakan KUT
melibatkan sekitar 13.400 unit koperasi (termasuk Koperasi Unit Desa yang
dikenal dengan KUD) dan 826 lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Berbagai
langkah dan kebijakan sudah dilakukan oleh pemerintah, namun sampai saat
ini masih belum ada kepastian dalam penyelesaian. Tidak dipungkiri bahwa
tunggakan KUT ini telah menyandera KUD yang sebelumnya telah berjalan
dengan bagus. Akibat tunggakan KUT, baik yang dipakai sendiri atau
disalurkan kepada anggota, KUD yang bersangkutan tidak dapat mengakses
kredit ke lembaga keuangan, khususnya bank. Akibatnya, lembaga perekonomian
di pedesaan yang pernah eksis di waktu lalu menjadi lumpuh dan tidak memberi
kontribusi dalam pembangunan di pedesaan.
Sebelum dan Sesudah 1998
KUT
merupakan kebijakan pemerintah di era Orde Baru berupa modal kerja yang
diberikan bank kepada KUD atau melalui KUD untuk keperluan petani yang
tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka
intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura.
Sebelum
tahun 1998, terdapat dua pola penyaluran, yaitu pola umum di mana melalui
KUD, dan pola khusus yang disalurkan melalui kelompok tani. Bank pemberi
kredit berfungsi sebagai pelaksana di mana kredit yang disalurkan
menggunakan dana bank pelaksana dan dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI). Plafon kredit juga terbatas hanya Rp 185 miliar untuk musim tanam
tahun 1997/1998. Bunga KUT ditetapkan sebesar 14 persen per tahun.
Pada
dan sesudah 1998, terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam pemberian
KUT. Di era krisis moneter yang melanda negara kita, KUD tidak lagi sebagai
satu-satunya koperasi yang diizinkan di daerah pedesaan seperti tersebut
dalam Instruksi Presiden No 4/1984 tentang Koperasi Unit Desa. Melalui
Instruksi Presiden No 18/1998 yang ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie,
di pedesaan dapat didirikan koperasi selain KUD.
Dilandasi
Inpres No 18/1998 inilah kemudian banyak dibentuk Koperasi Tani. Keputusan
Direksi Bank Indonesia No 31/164/KEP/DIR tanggal 8 Desember 1998 tentang
KUT menyebutkan bahwa pemberian dan penyaluran kredit dari bank pemberi
kredit tidak kepada KUD tetapi kepada koperasi primer dan LSM.
Didasarkan
SK Bank Indonesia inilah maka LSM selain sebagai pendamping juga dapat
berperan sebagai penerima dan penyalur KUT. Selain itu plafon dana KUT juga
dinaikkan menjadi sekitar Rp 9 triliun. Bank Pelaksana hanya berperan
sebagai channeling dan dana yang disalurkan sepenuhnya dari KLBI. Bunga KUT
diturunkan menjadi 10,5 persen per tahun.
Didasarkan
keputusan dari Departemen Pertanian besaran plafon KUT untuk setiap jenis
komoditas antara lain padi Rp 2 juta/hektare (ha), bawang merah Rp 9,3
juta/ha, jahe Rp 10 juta/ha, bawang putih Rp 8,4 juta/ha, jagung Rp 1,7
juta/ha, cabai merah Rp 5,4 juta/ha Yang paling rendah adalah plafon untuk
ubi jalar, yakni Rp 895.000/ha.
Instansi yang Terlibat
Penyaluran
KUT dalam jumlah sangat besar pada 1998/1999 melibatkan sekurang-kurangnya
empat lembaga waktu itu. Pertama adalah Bank Indonesia sebagai
penyedia dana KLBI. Kedua, Departemen Koperasi dan UKM; ketiga, Departemen
Pertanian; dan keempat, Bank Penyalur.
Departemen
Pertanian memiliki peran yang sangat besar dalam pemberian dan penyaluran
KUT karena selain yang menetapkan besaran plafon kredit, juga terkait
dengan penetapan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK).
Petugas
Penyuluh Lapangan (PPL) yang adalah pegawai negeri sipil Departemen
Pertanian adalah pihak yang sangat menentukan dalam pemberian dan
penyaluran KUT. Sesuai dengan ketentuan, PPL inilah yang bertanggung jawab
atas kebenaran RDKK yang memuat nama petani, luas areal, dan kebutuhan
nyata kredit.
Untuk
jerih payahnya ini PPL mendapatkan imbalan 1 persen dari kredit yang
diberikan. Jadi kalau ada ketidakbenaran atas luasan lahan dalam kaitan
pengucuran KUT sejatinya yang bertanggung jawab adalah Departemen Pertanian
dan jajaran yang terkait di waktu itu.
Di
era sebelum 1998, bank pemberi KUT berperan sebagai executing (pelaksana).
Oleh karena melibatkan sebagian dana kredit dari bank yang bersangkutan
maka pada posisi sebagai pelaksana, bank sangat hati-hati dalam memberikan
KUT.
Namun
dalam posisi sebagai penyalur (channeling), bank pemberi kredit tidak
memiliki beban risiko dan berapapun kebutuhan kredit mereka akan salurkan
karena sumber dana seluruhnya dari KLBI. Untuk pekerjaan sebagai penyalur
KUT Bank memperoleh imbalan 2 persen dari komponen bunga yang besarnya 10,5
persen.
Penyelesaian
Masalah
tunggakan KUT telah mendapat perhatian pemerintah sejak mulai terjadi
tunggakan. Melalui SK Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No
07A/M.EKON/02/2001 tentang Kebijakan Restrukturisasi Kredit Petani dan
Reformasi Koperasi, ditetapkan antara lain penghapusan bunga tunggakan
kredit sebesar 100 persen. Selanjutnya penghapusan atas pokok tunggakan
ditetapkan.
Pertama, petani gagal panen sebesar 50 persen. Kedua,
petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 ha sebesar 50 persen. Ketiga,
petani dengan luas lahan 0,5 – 1 ha sebesar 35 persen. Keempat, petani
dengan lahan lebih dari 1 ha sebesar 25 persen. Namun ketentuan penghapusan
pokok adalah bagi tunggakan KUT yang bersih dari penyimpangan. Selanjutnya
ditetapkan pula bahwa bagi petani atau lembaga lain yang tidak dapat
menyelesaikan tunggakan kreditnya akan diproses melalui jalur hukum.
Namun
Keputusan Menko Bidang Perekonomian yang saat itu dijabat oleh Dr Rizal
Ramli tidak ada realisasinya. DPR pun pada 2004 sepertinya pernah membahas
kasus tunggakan KUT.
Saat
ini sudah lebih dari 10 tahun kasus tunggakan KUT terkatung-katung dengan
berbagai implikasinya.
Perlu Kehati-hatian
Ada
baiknya pemerintah lebih hati-hati dalam mengambil keputusan penyelesaian
tunggakan KUT. Perlu ada telaah yang mendalam untung ruginya kalau
tunggakan KUT diputihkan. Diperkirakan apabila pemutihan dilakukan, akan
berdampak pada beberapa hal. Pertama, ada aspek ketidakadilan karena
ada kesan justru petani yang taat dan baik dirugikan.
Dipastikan
petani yang disiplin membayar KUT akan meminta pemerintah mengembalikan
pembayaran kredit mereka. Kedua, akan menimbulkan preseden negatif.
Pemerintah berpeluang untuk kehilangan dana kredit lebih dari Rp 100
triliun yang telah dikucurkan.
Tidak
menutup kemungkinan para nasabah Kredit Untuk Rakyat (KUR) atau skim kredit
lain seperti KKPE atau bersumber dari skim kredit lain akan “ngemplang”
dengan harapan pada suatu hari akan diputihkan. Ketiga, akan terjadi
perusakan mental sebagian petani dan mereka beranggapan bahwa semua kredit
ataupun bantuan yang selama ini diberikan tidak perlu untuk dikembalikan.
Memang
cukup pelik. Kasus tunggakan KUT ini memang ibarat buah simalakama. Namun
pemerintah harus memilih jalan terbaik. Mungkin salah satu jalan adalah
mengacu kepada Keputusan Menko Ekuin pada 2001. Koperasi yang masih
berpotensi untuk bangkit dan berkembang diberi kesempatan untuk melakukan
restrukturisasi di bawah binaan Kementerian Koperasi dan UKM.
Dalam
struktur organisasi terdapat Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi
Usaha yang mungkin tepat untuk melakukan pembenahan atas KUD yang
berpotensi tersebut. Ditambah dengan berbagai program pemerintah dan
perlindungan kepada bidang usaha yang diprioritaskan dilakukan oleh
Koperasi dan UKM, maka secara bertahap koperasi-koperasi khususnya KUD
dapat menyelesaikan kewajibannya.
Demikian
juga anggota koperasi yang menerima KUT juga akan dapat menyelesaikan
kewajiban mereka. Akan lebih efektif apabila berbagai dana Bansos (Bantuan
Sosial) dan berbagai program seperti subsidi pupuk, benih, dan sebagainya
yang saat ini banyak dikucurkan melalui APBN berbagai kementerian,
utamanya—Kementerian Pertanian—dimanfaatkan untuk program restrukturisasi
usaha KUD atau koperasi tani.
Diyakini
bahwa data tentang koperasi tani, LSM, KUD, maupun perorangan penunggak KUT
masih ada baik di instansi terkait ataupun bank yang menyalurkan. Sudah
masanya pemerintah segera menyelesaikan kasus tunggakan KUT dengan mengacu
pada aspek hukum dan ketentuan yang berlaku serta tetap memperhatikan asas
keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar