Jumat, 15 Maret 2013

KUT : Quo Vadis?


KUT : Quo Vadis?
Teguh Boediyana  ;   Pengamat Agribisnis,
Koordinator Majelis Pakar Dewan Koperasi Indonesia
SINAR HARAPAN, 15 Maret 2013
  

Telah menjadi informasi masyarakat bahwa saat ini terdapat sekitar Rp 5,7 triliun tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) yang dikucurkan di masa krisis moneter 1998/1999. Pada 2012, Menteri Koperasi dan UKM melontarkan wacana bahwa kasus tunggakan KUT akan diselesaikan secara politik.
Kita belum tahu apa yang dimaksud oleh Menteri Koperasi dan UKM tentang bentuk penyelesaian secara politik itu. Tetapi minimal ada tiga pihak yang harap-harap cemas dengan keputusan politik tersebut. Pihak pertama adalah mereka yang saat ini menunggak KUT dan tentunya mereka menginginkan ada pemutihan atas tunggakan kredit.

Pihak kedua adalah para debitur yang baik yang telah memenuhi kewajiban mengembalikan kredit yang mereka ambil. Dengan alasan aspek keadilan, mereka akan menuntut dikembalikannya kredit yang telah mereka bayarkan. Pihak ketiga adalah orang-orang yang secara moral ikut bertanggung jawab atas terjadinya tunggakan KUT dan berharap segera ada solusi.

Kasus KUT menjadi isu menarik karena selama lebih dari 10 tahun tidak ada solusi dan tetap menggantung. Dari sumber yang dapat dipercaya, tunggakan KUT melibatkan sekitar 13.400 unit koperasi (termasuk Koperasi Unit Desa yang dikenal dengan KUD) dan 826 lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Berbagai langkah dan kebijakan sudah dilakukan oleh pemerintah, namun sampai saat ini masih belum ada kepastian dalam penyelesaian. Tidak dipungkiri bahwa tunggakan KUT ini telah menyandera KUD yang sebelumnya telah berjalan dengan bagus. Akibat tunggakan KUT, baik yang dipakai sendiri atau disalurkan kepada anggota, KUD yang bersangkutan tidak dapat mengakses kredit ke lembaga keuangan, khususnya bank. Akibatnya, lembaga perekonomian di pedesaan yang pernah eksis di waktu lalu menjadi lumpuh dan tidak memberi kontribusi dalam pembangunan di pedesaan.

Sebelum dan Sesudah 1998

KUT merupakan kebijakan pemerintah di era Orde Baru berupa modal kerja yang diberikan bank kepada KUD atau melalui KUD untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija, dan hortikultura.

Sebelum tahun 1998, terdapat dua pola penyaluran, yaitu pola umum di mana melalui KUD, dan pola khusus yang disalurkan melalui kelompok tani. Bank pemberi kredit berfungsi sebagai pelaksana di mana kredit yang disalurkan menggunakan dana bank pelaksana dan dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Plafon kredit juga terbatas hanya Rp 185 miliar untuk musim tanam tahun 1997/1998. Bunga KUT ditetapkan sebesar 14 persen per tahun.

Pada dan sesudah 1998, terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam pemberian KUT. Di era krisis moneter yang melanda negara kita, KUD tidak lagi sebagai satu-satunya koperasi yang diizinkan di daerah pedesaan seperti tersebut dalam Instruksi Presiden No 4/1984 tentang Koperasi Unit Desa. Melalui Instruksi Presiden No 18/1998 yang ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie, di pedesaan dapat didirikan koperasi selain KUD.

Dilandasi Inpres No 18/1998 inilah kemudian banyak dibentuk Koperasi Tani. Keputusan Direksi Bank Indonesia No 31/164/KEP/DIR tanggal 8 Desember 1998 tentang KUT menyebutkan bahwa pemberian dan penyaluran kredit dari bank pemberi kredit tidak kepada KUD tetapi kepada koperasi primer dan LSM.

Didasarkan SK Bank Indonesia inilah maka LSM selain sebagai pendamping juga dapat berperan sebagai penerima dan penyalur KUT. Selain itu plafon dana KUT juga dinaikkan menjadi sekitar Rp 9 triliun. Bank Pelaksana hanya berperan sebagai channeling dan dana yang disalurkan sepenuhnya dari KLBI. Bunga KUT diturunkan menjadi 10,5 persen per tahun.

Didasarkan keputusan dari Departemen Pertanian besaran plafon KUT untuk setiap jenis komoditas antara lain padi Rp 2 juta/hektare (ha), bawang merah Rp 9,3 juta/ha, jahe Rp 10 juta/ha, bawang putih Rp 8,4 juta/ha, jagung Rp 1,7 juta/ha, cabai merah Rp 5,4 juta/ha Yang paling rendah adalah plafon untuk ubi jalar, yakni Rp 895.000/ha.

Instansi yang Terlibat

Penyaluran KUT dalam jumlah sangat besar pada 1998/1999 melibatkan sekurang-kurangnya empat lembaga waktu itu. Pertama adalah Bank Indonesia sebagai penyedia dana KLBI. Kedua, Departemen Koperasi dan UKM; ketiga, Departemen Pertanian; dan keempat, Bank Penyalur.
Departemen Pertanian memiliki peran yang sangat besar dalam pemberian dan penyaluran KUT karena selain yang menetapkan besaran plafon kredit, juga terkait dengan penetapan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK).

Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) yang adalah pegawai negeri sipil Departemen Pertanian adalah pihak yang sangat menentukan dalam pemberian dan penyaluran KUT. Sesuai dengan ketentuan, PPL inilah yang bertanggung jawab atas kebenaran RDKK yang memuat nama petani, luas areal, dan kebutuhan nyata kredit.

Untuk jerih payahnya ini PPL mendapatkan imbalan 1 persen dari kredit yang diberikan. Jadi kalau ada ketidakbenaran atas luasan lahan dalam kaitan pengucuran KUT sejatinya yang bertanggung jawab adalah Departemen Pertanian dan jajaran yang terkait di waktu itu.

Di era sebelum 1998, bank pemberi KUT berperan sebagai executing (pelaksana). Oleh karena melibatkan sebagian dana kredit dari bank yang bersangkutan maka pada posisi sebagai pelaksana, bank sangat hati-hati dalam memberikan KUT.

Namun dalam posisi sebagai penyalur (channeling), bank pemberi kredit tidak memiliki beban risiko dan berapapun kebutuhan kredit mereka akan salurkan karena sumber dana seluruhnya dari KLBI. Untuk pekerjaan sebagai penyalur KUT Bank memperoleh imbalan 2 persen dari komponen bunga yang besarnya 10,5 persen.

Penyelesaian

Masalah tunggakan KUT telah mendapat perhatian pemerintah sejak mulai terjadi tunggakan. Melalui SK Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No 07A/M.EKON/02/2001 tentang Kebijakan Restrukturisasi Kredit Petani dan Reformasi Koperasi, ditetapkan antara lain penghapusan bunga tunggakan kredit sebesar 100 persen. Selanjutnya penghapusan atas pokok tunggakan ditetapkan. 

Pertama, petani gagal panen sebesar 50 persen. Kedua, petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 ha sebesar 50 persen. Ketiga, petani dengan luas lahan 0,5 – 1 ha sebesar 35 persen. Keempat, petani dengan lahan lebih dari 1 ha sebesar 25 persen. Namun ketentuan penghapusan pokok adalah bagi tunggakan KUT yang bersih dari penyimpangan. Selanjutnya ditetapkan pula bahwa bagi petani atau lembaga lain yang tidak dapat menyelesaikan tunggakan kreditnya akan diproses melalui jalur hukum. 
Namun Keputusan Menko Bidang Perekonomian yang saat itu dijabat oleh Dr Rizal Ramli tidak ada realisasinya. DPR pun pada 2004 sepertinya pernah membahas kasus tunggakan KUT.

Saat ini sudah lebih dari 10 tahun kasus tunggakan KUT terkatung-katung dengan berbagai implikasinya.

Perlu Kehati-hatian

Ada baiknya pemerintah lebih hati-hati dalam mengambil keputusan penyelesaian tunggakan KUT. Perlu ada telaah yang mendalam untung ruginya kalau tunggakan KUT diputihkan. Diperkirakan apabila pemutihan dilakukan, akan berdampak pada beberapa hal. Pertama, ada aspek ketidakadilan karena ada kesan justru petani yang taat dan baik dirugikan.

Dipastikan petani yang disiplin membayar KUT akan meminta pemerintah mengembalikan pembayaran kredit mereka. Kedua, akan menimbulkan preseden negatif. Pemerintah berpeluang untuk kehilangan dana kredit lebih dari Rp 100 triliun yang telah dikucurkan.

Tidak menutup kemungkinan para nasabah Kredit Untuk Rakyat (KUR) atau skim kredit lain seperti KKPE atau bersumber dari skim kredit lain akan “ngemplang” dengan harapan pada suatu hari akan diputihkan. Ketiga, akan terjadi perusakan mental sebagian petani dan mereka beranggapan bahwa semua kredit ataupun bantuan yang selama ini diberikan tidak perlu untuk dikembalikan.

Memang cukup pelik. Kasus tunggakan KUT ini memang ibarat buah simalakama. Namun pemerintah harus memilih jalan terbaik. Mungkin salah satu jalan adalah mengacu kepada Keputusan Menko Ekuin pada 2001. Koperasi yang masih berpotensi untuk bangkit dan berkembang diberi kesempatan untuk melakukan restrukturisasi di bawah binaan Kementerian Koperasi dan UKM.

Dalam struktur organisasi terdapat Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha yang mungkin tepat untuk melakukan pembenahan atas KUD yang berpotensi tersebut. Ditambah dengan berbagai program pemerintah dan perlindungan kepada bidang usaha yang diprioritaskan dilakukan oleh Koperasi dan UKM, maka secara bertahap koperasi-koperasi khususnya KUD dapat menyelesaikan kewajibannya.

Demikian juga anggota koperasi yang menerima KUT juga akan dapat menyelesaikan kewajiban mereka. Akan lebih efektif apabila berbagai dana Bansos (Bantuan Sosial) dan berbagai program seperti subsidi pupuk, benih, dan sebagainya yang saat ini banyak dikucurkan melalui APBN berbagai kementerian, utamanya—Kementerian Pertanian—dimanfaatkan untuk program restrukturisasi usaha KUD atau koperasi tani.

Diyakini bahwa data tentang koperasi tani, LSM, KUD, maupun perorangan penunggak KUT masih ada baik di instansi terkait ataupun bank yang menyalurkan. Sudah masanya pemerintah segera menyelesaikan kasus tunggakan KUT dengan mengacu pada aspek hukum dan ketentuan yang berlaku serta tetap memperhatikan asas keadilan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar